PROBLEM KAWIN SIRRI SECARA SOSIOLOGIS
Nikah sirri sebenarnya adalah pernikahan yang dilakukan secara diam-diam yang tidak dicatatkan di badan pencatatan pernikahan atau Kantor Urusan Agama (KUA). Di dalam praktik kehidupan social, ternyata nikah sirri banyak dilakukan oleh masyarakat. Tentu tidak diperoleh data yang pasti berapa jumlahnya. Sebab tentu tidak akan terungkap data tersebut secara kuantitatif.
Di dalam forum acara interaktif Ramadlan yang diselennggarakan oleh TV9 –milik NU Jawa Timur—terungkap sebuah pertanyaan tentang nikah sirri ini. Pertanyaan tersebut diungkapkan oleh seseorang dari Sidoarjo, yang menanyakan: bagaimana hukum nikah sirri dan bagaimanakah status wali kakek ketika ayah mempelai putrinya tidak bersedia menjadi wali?.
Sebagaimana diketahui bahwa saya bukanlah ahli fiqih –kecuali sedikit tahu tentang hukum perkawinan–, maka saya akan menjawab justru dari dimensi sosiologis terhadap pertanyaan ini. Pernikahan sesungguhnya bisa dilakukan selama syarat dan rukun perkawinan sudah terpenuhi, yaitu ada kedua mempelai, ada wali, ada saksi dan ada mahar untuk perkawinan tersebut. Sedangkan apakah perkawinan tersebut harus dicatat atau tidak adalah urusan administrasi negara yang memang aturannya mengharuskan seperti itu.
Jika wali ayahnya tidak bersedia, melalui alasan syar’i, maka bisa saja menggunakan wali hakim atau bahkan wali yang diperbolehkan oleh agama, termasuk kakeknya. Tentang hal ini sepertinya tidak ada perbedaan di antara ahli fiqih. Tetapi yang problematic adalah ketika perkawinan sirri tersebut dilaksanakan dalam relasinya dengan Undang-Undang Perkawinan, No. 1 tahun 1973.
Di dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1973 tidak dikenal konsep pernikahan sirri. Hal ini tentu disadari betul ketika terjadi proses legal drafting, maka istilah ini sudah dikenal dan memang di dalam sebuah negara yang memiliki aturan terkait dengan status perkawinan yang berakibat terhadap status anak dan juga status kewarisan, maka hal itu memang tidak diperbolehkan.
Dampak ikutan nikah sirri memang banyak dan sistemik. Perkawinan yang tercatat secara hukum tentu bisa memberi perlindungan kepada kaum perempuan tentang status perkawinannya dan juga anak-anak keturunannya. Bukankah di dalam kehidupan yang semakin materialistis ini ada banyak gugatan terkait dengan waris dan peninggalan orang tua kepada anak-anaknya.
Dan jika ini terjadi, maka status hukum perkawinan menjadi penting. Orang yang lahir dari perkawinan sirri tidak bisa menjadi subyek hukum. Dia justru menjadi korban hukum. Perkawinan ini menjadi sangat rentan masalah. Sebagaimana diketahui bahwa dari masalah hukum akan melahirkan masalah social.
Ketidakjelasan status hukum akan menyebabkan terjadinya masalah social, seperti ketidakjelasan status anaknya, dan kemudian ketidakjelasan status kewarisannya. Akibat jauhnya juga kemudian bisa terjadi konflik antar keluarga karena kasus perkawinan ini.
Di dalam paktik perkawinan sirri justru banyak dilakukan oleh orang yang sudah memiliki istri. Hal ini dilakukan karena ketiadaan persetujuan istri pertama atau kedua. Jika kemudian diketahui kasus ini, maka bukan tidak mungkin akan terjadi konflik antar keluarga yang akan berakibat terhadap perceraian atau broken home.
Konsekuensinya adalah terjadinya ketegangan di dalam rumah tangga yang menyebabkan kehidupan anak-anak menjadi bermasalah. Akibat broken home dalam berbagai kajian adalah kemudian akan memunculkan tindakan penyimpangan perilaku.
Terjadinya kasus keterlibatan anak pada narkotika, kehidupan bebas dan berbagai tindakan penyimpangan perilaku lainnya dalam banyak hal difasilitasi oleh kehidupan keluarga yang broken home.
Mengamati terhadap kenyataan ini, maka sebaiknya perkawinan sirri yang memang tidak diperkenankan oleh hukum positif di Indonesia, seharusnya memang tidak dilakukan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
