INDONESIA DI TENGAH GERAKAN TERORISME
Saya terkadang juga bertanya, kenapa Indonesia dijadikan sebagai markas gerakan terorisme. Mengapa Indonesia yang sebenarnya menjadi lahan yang paling subur di dalam mengembangkan Islam garis moderat, ternyata justru menjadi wilayah yang sering diacak-acak oleh gerakan terorisme. Pertanyaan inilah yang kiranya menyelinapi pikiran masyarakat Indonesia yang mencintai perdamaian.
Beberapa kali Indonesia menjadi sasaran gerakan terorisme. Bahkan buronan internasional yang terkait dengan gerakan terorisme juga banyak yang berada di Indonesia. Dr. Azahari, Noordin M Top, Dulmatin, Umar Patek dan nama-nama lain hampir seluruhnya berada di Indonesia. Mereka yang menjadi inspirator gerakan teror di Indonesia dan di tempat lain.
Sesungguhnya gerakan teror atas nama apapun adalah sebuah kejahatan bahkan kejahatan yang luas biasa atau extra ordinary crime. Bisa dibayangkan bahwa melalui gerakan teror tersebut, maka banyak nyawa melayang. Dalam kasus teror bom Bali, maka ratusan nyawa melayang. Demikian pula kasus Hotel Rizt Carlton, dan lainnya. Semua menggambarkan bahwa gerakan teror adalah against humanity.
Tetapi pertanyaan tentang mengapa Indonesia menjadi sarang teror ternyata memperoleh jawaban dari ungkapan Nashir Abbas, mantan anggota Jamaah Islamiyah (JI) yang pernah menjadi bagian dari gerakan perang di Afghanistan dan belajar banyak tentang gerakan terorisme di Malaysia dan juga Filipina. Dia menyatakan di dalam salah satu acara di TVone bahwa gerakan terorisme di Indonesia ada kaitannya dengan gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang pernah diproklamirkan oleh Sekarmaji Marijan Kartosoewirjo. Di dalam kesaksiannya, bahwa gerakan teror yang dilakukan di Indonesia adalah gerakan yang bisa dirunut dari ideology Negara Islam Indonesia (NII).
Semua eksponen gerakan Islam radikal, khususnya yang mengusung semangat jihad ofensif dapat dikaitkan dengan gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Jadi semuanya memiliki ideology mendirikan Negara Islam Indonesia. Menurut pengakuannya, bahwa setelah seseorang menjadi bagian dari gerakan Islam garis keras yang ditandai dengan kepemilikan ideologi yang sangat kuat, maka mereka perlu pengalaman lapangan di dalam peperangan . Maka dipilihlah medan perang Afghanistan untuk kepentingan tersebut.
Maka, seluruh eksponen gerakan pengusung berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) memiliki pengalaman perang di Afghanistan. Selain memberikan bekal pengetahuan tentang strategi perang juga diharapkan belajar langsung dari medan peperangan di Afghanistan tersebut. Apalagi mereka yang berperang tersebut meyakini bahwa tindakannya adalah jihad fi sabilillah.
Menurut Nasir Abbas, maka Gerakan Jamaah Islamiyah (JI) adalah kepanjangan secara tidak langsung dari Gerakan Negara Islam Indonesia (NII). JI memang didirikan oleh Abdullah Sungkar dan setelah kematiannya, maka JI dilanjutkan oleh Abu Bakar Ba’asyir. Keterlibatan Abu Bakar Ba’asyir di dalam JI dapat dilihat dibukunya Nasir Abbas, “Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Anggota JI (2005)”.
Setelah perpecahan di tubuh JI tentang strategi mendirikan Negara Islam, maka Abu Bakar Ba’asyir lalu mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan sekaligus menjadi amirnya. Kita tidak tahu apakah kemudian juga terdapat perpecahan di dalamnya, sehingga kemudian lahir gerakan baru yang didirikan oleh Abu Bakar Ba’asyir yang diberi nama, Jamaah Anshorut Tauhid (JAT). Jamaah ini kemudian juga memperoleh simpati dan anggota yang tidak mengikat dan melangsungkan kegiatan pengajian secara terstruktur. Dan sebagaimana kelompok Islam garis keras lainnya, maka tema-tema pengajiannya tentu tentang penerapan syari’ah Islam kaffah, khilafah Islamiyah dan pentingnya mengikuti ulama salaf yang saleh.
Namun jika catatan polisi benar, maka kebanyakan mereka yang terlibat di dalam berbagai gerakan teror adalah anggota JAT ini. Misalnya ketua JAT DKI, Haris Amir Falah, adalah donator gerakan teror Aceh. Kemudian Luthfi Haedaroh adalah pengurus JAT dan bendahara pelatihan militer di Aceh.
Jika mengamati terhadap serangkaian gambaran ini, maka kiranya pantas jika ada dugaan bahwa terdapat relasi antara ideologi NII dengan JI dan kemudian dengan JAT. Memang harus disadari bahwa keterkaitan tersebut baru sebatas hipotesis, sehingga diperlukan penelitian yang mendalam tentang keterkaitan tersebut.
Wallahu a’lam bi al shawab.