TERORISME MASIH DI SEKITAR KITA
Berita yang menarik untuk pekan ini adalah tentang penangkapan Abu Bakar Ba’asyir oleh Densus 88 Anti Teror. Dia ditangkap terkait dengan dugaan menjadi jaringan terorisme Aceh beberapa saat yang lalu. Pengasuh Pondok Pesantren Ngruki tersebut ditangkap di Banjar Patroman, Ciamis, Jawa Barat, Senin, 09/08/2010. Kala itu Abu Bakar Baasyir baru saja mengisi pengajian di daerah Ciamis. Turut serta ditangkap adalah Aisyah Baraja, Istri Abu bakar baasyir, meskipun kemudian dilepas dan dipulangkan ke Cimahi.
Abu Bakar Ba’asyir ditangkap secara paksa di dalam mobilnya. Bahkan kabarnya, kaca mobil dipecah karena yang bersangkutan tidak mau keluar dari mobilnya. Maka banyak yang menyesalkan penangkapan yang cenderung kasar tersebut. Namun demikian, Densus 88 Anti teror juga memiliki alasan, bahwa keinginan untuk menangkap Abu Bakar Ba’asyir sebenarnya sudah ada beberapa saat yang lalu. Namun untuk menangkapnya harus dikuntit sampai ada kesempatan yang memungkinkan.
Berdasarkan pengalaman Densus 88 Anti Teror, untuk menangkap Abu Bakar Ba’asyir selalu menuai kendala, sebab selalu terjadi perlawanan dari jamaahnya. Itulah sebabnya dia ditangkap dengan cara menyergap di perjalanan agar tidak terjadi kekacauan. Misalnya, ketika menangkap di Solo, maka terjadi perlawanan yang sangat keras. Maka tidak menangkap di Solo atau tempat lain yang terdapat jamaahnya.
Penangkapan ini memang menjadi pemberitaan yang hangat di media dan juga masyarakat. Hal ini tentu saja terkait dengan gerakan terorisme yang rasanya tidak mau beranjak dari bumi Indonesia. Pro kontra pun terjadi. Ada sebagian masyarakat yang mempercayai bahwa polisi memang memiliki kewenangan untuk menangkap terhadap orang yang diduga melanggar aturan pemerintah dan sebagian mempercayai bahwa Abu Bakar Ba’asyir tidak terlibat di dalam berbagai teror di Indonesia.
Abu Bakar Ba’asyir diduga mengetahui jaringan Terorisme di Indonesia. Menurut Densus 88 Anti Teror, bahwa ada beberapa bukti yang menjadi indikasi yang terkait dengan penangkapan Abu Bakar Ba’asyir. Misalnya, Abu Bakar Ba’asyir selalu disebut di dalam kaitan penangkapan kaum teroris. Ketika terjadi pengeboman terhadap Hotel Ritz Carlton, maka Aris-Indra yang terlibat di dalam pengeboman tersebut, sebagai kurir Ibrohim, adalah anggota Jamaah Anshorut Tauhid (JAT). Keduanya ditangkap tanggal 09/08/2009.
Kemudian, ketika Densus 88 Anti Teror menangkap Ubeid alias Luthfi, 12/04/2010, bendahara teroris Aceh, maka juga diketahui dia adalah murid Abu Bakar Ba’asyir dan anggota JAT. Ketika polisi menangkap Haris Amir Falah, Amir JAT Jakarta, maka dia diduga ikut mendanai teroris Aceh. Hampir seluruh yang ditangkap polisi di dalam kasus terorisme akhir-akhir ini adalah anggota JAT dan menyebut nama Abu Bakar Ba’asyir di dalam pemeriksaan.
Jaringan Abu Bakar Baasyir menurut pelacakan JP, 11/08/2010 adalah Dulmatin, Abdullah Sonata, Mustakim, Luthfi Haedaroh dan Haris Amir Falah. Semua nama ini tentu sudah sangat dikenal karena tindakannya dan kiprahnya di dalam gerakan terorisme di Indonesia. Siapa yang tidak mengenal nama beken, Dulmatin. Dia terlibat Bom Bali dan alumnus pelatihan militer di Afghanistan dan instruktur di Mindanao.
Berdasarkan atas penyebutan namanya di dalam berbagai pemeriksaan terhadap pelaku tindakan teroris, maka bukti awal atau dugaan polisi mengarah bahwa Abu Bakar Ba’asyir memang terlibat di dalam kasus terorisme di Indonesia. Apapun juga yang dijadikan alasan oleh Densus 88 Anti terror untuk menangkap Abu Bakar Ba’asyir adalah dugaan dan keterkaitan. Sehingga yang berhak untuk membuktikan adalah pengadilan.
Perkara apakah yang bersangkutan terlibat atau tidak tentu pengadilanlah yang akan menentukan. Hanya sayangnya bahwa para pendukung gerakan Islam yang dikomandani oleh Abu Bakar Ba’asyir selalu menggunakan kekuatan memaksa untuk memencapai tujuannya. Begitu Abu Bakar ditangkap, maka sejumlah pendukungnya langsung berdemo. Melalui kekuatan demo inilah maka mereka berkehendak untuk mempengaruhi massa untuk menyatakan bahwa Abu Bakar Ba’asyir tidak bersalah.
Polisi memang memiliki hak untuk menangkap orang yang diduga melakukan tindakan melawan hukum, kapan dan di manapun. Sebab polisi tentu dianggap lalai jika kemudian membiarkan terhadap adanya kecenderungan tindakan kejahatan dan tidak melakukan penangkapan.
Maka, ketika polisi melakukan penangkapan terhadap Abu Bakar Ba’asyir tentu sudah melalui proses dan prosedur yang sangat ketat. Sedangkan pembuktian apakah yang bersangkutan terlibat atau tidak, maka yang menentukan adalah pengadilan.
Di dalam sistem pemerintahan yang mempercayakan pengadilan sebagai pemutus perkara tindakan kejahatan, maka sudah selayaknya jika kewenangan membuktikan seseorang bersalah atau tidak adalah pengadilan.
Tentu kita berharap agar di dalamnya terdapat keadilan.
Wallahu a’lam bi al shawab.