MENANG TANPO NGASORAKE
Menang tanpo ngasorake di dalam bahasa Indonesia adalah menang tanpa mengalahkan. Ungkapan ini dahulu sering dibicarakan oleh Pak Harto sewaktu beliau menjadi Presiden Republik Indonesia. Menang tanpo ngasorake adalah konsep Jawa yang sering digunakan di dalam terminologi orang Jawa tentang bagaimana memenangkan sebuah pertempuran, akan tetapi tanpa melalui pertarungan yang berdarah-darah. Menang tidak selalu berkonotasi melalui pertempuran, akan tetapi bisa juga menang melalui proses diplomasi atau perdebatan dan sebagainya.
Menang tanpo ngasorake ternyata memang bisa terjadi bukan hanya di dalam dunia diplomasi, akan tetapi juga di dalam dunia kompetisi ekonomi. Menang tanpa mengalahkan akan terjadi, ketika seseorang bisa memenangkan kompetisi di suatu usaha tetapi bukan dengan cara saling berusaha untuk berkompetisi dalam suatu produk, akan tetapi melalui mencari dan menemukan potensi ekonomi baru yang ternyata juga potensial untuk dikembangkan.
Buku Blue Ocean Strategy, Ciptakan Ruang Pasar Tanpa Pesaing dan Biarkan Kompetisi Tak lagi Relevan oleh W. Chan Kim dan Rene Mauborgne, secara tegas menyatakan stop kompetisi atau Jangan Ladeni Para Pesaing. Yang dimaksudkan adalah berhenti melakukan kompetisi ekonomi dalam suatu produk yang sama. Akan tetapi melakukan diversifikasi produk sehingga bukan kompetisi yang terjadi akan tetapi saling menemukan brandingnya masing-masing.
Rhenald Kasali bahkan memberikan contoh tentang bagaimana memenangkan kompetisi dengan cara menemukan keunikan. Selama ini, tarian balet selalu dimainkan oleh orang yang sempurna dari sisi fisik dan psikhis. Tidak ada kecacatan fisik yang dialami oleh seluruh penari balet. Akan tetapi melalui kreativitas yang luar biasa, maka bisa terjadi tarian balet justru dimainkan oleh orang yang justru cacat kaki. Yang lelaki cacat kaki kanan dan yang perempuan cacat kaki kiri, misalnya. Justru dengan kecacatan itulah yang potensial. Melalui proses latihan yang sangat serius, maka dua orang yang cacat ini kemudian bisa menjadi penari balet professional dan memperoleh penghargaan serta animo penonton yang luar biasa.
Jadi, di dalam dunia balet tidak lagi terdapat kompetisi antara sesama penari balet yang memiliki fisik sempurna, akan tetapi menemukan keunikan yang kemudian menjadi potensi yang luar biasa. Jika kompetisi dilakukan oleh penari balet yang sama fisiknya, maka akan terjadi kalah dan menang. Akan tetapi dengan menggunakan keunikan fisik penari balet, maka tidak ada pertarungan yang berdarah-darah.
Saya selama ini sering mencemooh dalam tanda kutip terhadap pitutur Jawa ini. Bagaimana orang bisa menang tanpa mengalahkan. Kemenangan pastilah berasal dari proses memenangkan pertarungan. Tidak ada kemenangan yang dilakukan dengan diam. Semua kemenangan diperoleh dengan berdarah-darah. Inilah semula pandangan saya tentang sebuah kemenangan.
Ternyata pandangan ini seluruhnya keliru. Memenangkan pertarungan ternyata tidak harus dengan melakukan tindakan berdarah-darah. Memenangkan pertarungan tidak harus melalui kompetisi yang sangat kuat.
Bagaimana dengan kompetisi di dunia pendidikan tinggi? Di dunia pendidikan tinggi, dewasa ini juga terjadi pertarungan di dalam menarik sumber potensi mahasiswa. Bahkan di dalam kerangka kompetisi tersebut, sebuah perguruan tinggi harus mengiklankan seluruh program studinya dan bahkan mengiklankan seluruh alumni program doctoral dan magisternya. Jika di masa lalu, PT seperti UGM, Unair, UI, ITB dan ITS tidak perlu untuk membuat iklan di Koran untuk memperkenalkan prodi-prodinya, maka sekarang seluruhnya perlu dilakukan.
Kompetisi di dunia pendidikan tinggi sudah sangat lazim dikenal dan didengar. Hal ini tentu saja disebabkan oleh ketatnya persaingan untuk memperoleh mahasiswa. Ada banyak prodi yang sama di PT. Oleh karena itu, maka persaingan menjadi sangat ketat.
Makanya, yang sesungguhnya dibutuhkan untuk pengembangan pendidikan tinggi adalah merumuskan prodi yang kemudian memiliki ketidaksamaan dengan prodi-prodi lain. Prodi Sosiologi di IAIN Sunan Ampel akan sangat sulit bersaing dengan prodi Sosiologi di Unair. Hal ini tentu terkait dengan sejarah dan imaje masyarakat tentang keduanya.
Oleh karena itu, prodi sosiologi di IAIN SA tidak mungkin bersaing dengan prodi Sosiologi di Unair. Makanya yang diperlukan adalah memberi ciri khas prodi Sosiologi di IAIN itu, sehingga tidak sama dengan prodi sosiologi di Unair.
Salah satu yang membedakannya adalah wawasan keagamaan. Melalui pengembangan wawasan keagamaan yang memadai, maka diharapkan inilah yang kelak akan membedakan alumninya. Jika hal ini bisa dilakukan secara maksimal, maka kelak tidak perlu ada kompetisi, sebab masing-masing akan memiliki pasarnya sendiri-sendiri.
Wallahu a’lam bi al shawab.