TIDAK ADA DIKHOTOMI ILMU PENGETAHUAN
Di dalam acara peresmian Gedung Aula KH. Syarkowi, STIKA Guluk-Guluk An Nuqayah, Sumenep, 31/07/2010, yang dihadiri oleh Menteri Agama Republik Indonesia, maka beliau menyatakan bahwa tidak ada dikhotomi ilmu pengetahuan, ilmu Islam dan ilmu non Islam. Hakikat ilmu pengetahuan sesungguhnya berasal dari Allah swt. Karena sumber ilmu itu hanyalah Dzat yang Maha Esa, maka dapat dipastikan bahwa pembagian ilmu dengan sebutan ilmu umum dan ilmu agama atau ilmu Islam dan ilmu non Islam tentunya dianggap tidak relevan.
Namun demikian, hingga sekarang pemikiran mengenai dikhotomi ilmu itu masih sangat kuat di negeri ini. Tentu perlu dikaji apakah pemikiran ilmu yang dikhotomis ini merupakan peninggalan penjajahan atau lainnya, akan tetapi hingga sekarang masih terdapat cara orang melakukan pembidangan ilmu secara dikhotomik tersebut.
Pembidangan ilmu secara dikhotomik tersebut tidak hanya mewarnai pikiran masyarakat akademis Indonesia akan tetapi juga berpengaruh terhadap pengembangan institusi pengelola akademiknya. Makanya dikenal ada institusi pendidikan umum dan ada institusi pendidikan agama. Ada institusi yang memiliki kewenangan untuk mengembangkan khusus ilmu keagamaan dan ada institusi yang khusus mengembangkan ilmu umum.
Universitas dalam banyak hal bisa menyelenggarakan pendidikan umum, sedangkan institute keagamaan yang hanya mengelola pendidikan agama. Di sini ada proses untuk tidak saling menyapa antara ilmu umum dan ilmu agama. Kedunya merupakan dua entitas yang tidak bisa saling disinergikan. Seakan-akan menempati dua dunia yang berbeda.
Makanya, selalu ada kecenderungan untuk membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum atau antara ilmu islam dan ilmu non Islam. Ilmu umum berbasis pada penjelasan-penjelasan empiris rasional, empiris sensual dan sejauh-jauhnya empiris etis. Sedangkan ilmu agama berdasar atas wahyu yang tidak empiris rasional atau empiris sensual.
Kebenaran wahyu merupakan kebenaran yang bersumber dari dunia keyakinan yang tidak bisa diukur melalui alat ukur ilmu empiris. Jadi kebenaran agama yang bersumber dari wahyu pastilah tidak ilmiah. Pandangan seperti ini tentu berangkat dari pandangan kaum positivistic yang selalu berpikiran bahwa kebenaran ilmu pengetahuan harus bisa diukur melalui alat ukur yang empiris.
Melalui program saling menyapa antara ilmu agama dan ilmu non agama, maka sesungguhnya bisa diperoleh pemahaman yang lebih baik. Melalui penguatan program saling menyapa antara ilmu agama dan sains, maka tentunya akan diperoleh pemahaman yang jauh lebih produktif, dalam arti bahwa agama yang memiliki seperangkat keyakinan ternyata memiliki kesempatan berdialog dengan sains.
Jika menggunakan konsepsi al-Qur’an, maka banyak dijumpai ayat-ayat kauniyah yang menjelaskan tentang fenomena alam yang memang bisa dikaji secara empiric. Misalnya tentang perjalanan ke ruang angkasa, di masa lalu tentu hanya dianggap sebagai mitos. Akan tetapi melalui kemampuan akal manusia untuk menemukan pesawat ruang angkasa, maka perjalanan ke ruang angkasa pun bisa dilakukan.
Kemudian mengenai percakapan jarak jauh, maka dahulu juga dianggap hanya sebagai mitos, akan tetapi melalui kemampuan akal manusia untuk menemukan teknologi informasi, maka percakapan jarak jauh pun sudah menjadi kenyataan. Jika di masa lalu masih harus dihubungkan dengan kabel, maka sekarang dengan ditemukannya gelombang suara, maka orang bisa melakukan wawancara dan percakapan jarak jauh cukup dengan hand phone atau teknologi informasi lainnya.
Selain itu juga banyak ayat-ayat biologis di dalam Al-Qur’an yang menggambarkan tentang fenomena alam dan proses terbentuknya. Tentang padi, tentang samodra, tentang lebah, tentang ternak, tentang gunung, tentang api dan sebagainya. Semua ini sesungguhnya bisa dinegosiasikan dengan alam dan sains.
Perjumpaan sains dan agama inilah yang sekarang sedang menjadi tema-tema kajian di berbagai sudut perbincangan akademis. Jika dahulu ada anggapan bahwa menafsirkan Al-Qur’an hanya bisa dilakukan oleh ahli agama, maka dewasa ini menuntut lintas disiplin untuk menafsirkan Al-Qur’an. Ada ayat biologis yang harus melibatkan ahli biologi untuk menafsirkan. Ada ayat astronomi yang mengharuskan keterlibatan astronom untuk menafsirkannya. Ada ahli fisika, kimia dan lainnya untuk terlibat di dalam penafsiran.
Di dalam hal ini, lalu kita teringat salah satu firman Allah: “inna ma khalaqta hadza bathila” bahwa sesungguhnya tidak sia-sia penciptaan segala sesuatu ini. Ayat ini tentu memberikan sinyal bagi kita semua bahwa semua ciptaan Allah memiliki maksud yang jelas andaikan dikaji secara memadai. Hanya karena kemampuan akal kita yang terbatas saja, sehingga akal kita belum sampai. Saya nyatakan belum dan bukan tidak.
Oleh karena itulah mendirikan institusi yang kemudian bisa menjadi instrumen untuk mendialogkan antara ilmu agama dan ilmu umum rasanya memang sangat diperlukan. Jika proyek ini berhasil, maka jawaban akan keraguan mendialogkan antara ilmu agama dan umum akan bisa terjawab.
Wallahu a’lam bi al shawab.