MASIH CERITA TENTANG DPR
Kali ini saya masih ingin bercerita tentang DPR. Saya ingin mengungkapkan sesuatu yang rasanya agak bertentangan dengan arus utama pemberitaan tentang kinerja para anggota dewan. Jika saya menulis tentang hal ini, bukan karena apa-apa, tetapi saya baru saja bertemu dengan Komisi VIII DPR RI ketika mereka melakukan kunjungan ke Propinsi Jawa Timur. Di dalam hal ini, maka saya ingin mengungkapkan tentang hal-hal positif tentang kinerja dewan. Boleh juga kan?
Pemberitaan tentang dewan memang hampir tidak ada yang positif. Bisa dibayangkan pemberitaan di stasiun televisi tentang anggota dewan yang tidur di dalam sidang, ada yang bergurauan dengan sesama anggota dewan, atau sms-an, sehingga tidak konsern terhadap masalah yang sedang dibicarakan. Sayangnya bahwa pemberitaan itu tidak disertakan mengenai cover both side-nya. Sehingga di dalam penilaian audience, maka hal itulah yang dianggap benar.
Pemberitaan tersebut selalu menyudutkan anggota dewan sebagai tidak efektif, tidak produktif dan tidak bertanggungjawab dan sebagainya. Makanya, banyak cercaan terhadap tindakan anggota dewan di dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat. Memang sebagai representasi rakyat pastilah jika rakyat menuntut lebih terhadap anggota dewan. Sehingga jika ada anggota dewan yang “kurang” serius, maka akan muncul pikiran yang menganggap bahwa dewan tidak bertanggungjawab.
Menurut saya bahwa apa yang dilakukan oleh anggota DPR tentu masih harus ada yang diapresiasi. Sebagai lembaga yang memiliki tanggungjawab legislasi, maka yang diperhitungkan adalah seberapa banyak legislasi yang berhasil dirumuskan. Suatu contoh tentang legislasi yang dihasilkan di dalam era reformasi. Sebagai orang yang berkecimpung di dalam dunia pendidikan, maka menurut saya yang sangat menonjol adalah tentang legal draft tentang UU di bidang pendidikan.
Yang sangat mendasar adalah UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kemudian UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan UU lainnya yang memiliki makna penting di dalam proses pendidikan. Tentu saja masih ada capaian lain yang bisa dianggap penting di dalam proses pembangunan masyarakat. Misalnya tentang pengawasan pembangunan yang sungguh sangat dikenal misalnya tentang Kasus Bank Century.
Saya sungguh percaya bahwa masih ada anggota dewan yang memiliki nurani yang sangat memadai, yang tetap memiliki kemauan untuk membela kepentingan rakyat. Bahkan juga tidak hanya untuk kepentingan partai atau kelompoknya, akan tetapi juga untuk kepentingan masyarakat. Di tengah sorotan tentang kinerja dewan yang kurang baik, maka ada di antara mereka yang sungguh-sungguh memikirkan tentang pembangunan masyarakat.
Kerja dewan memang bukan seperti kerja kantoran. Jika pegawai kantor memiliki jam dinas yang tetap, misalnya jam 7.30-16.00 setiap hari kecuali hari libur, maka anggota dewan tidaklah memiliki jam tetap. Jika harus merumuskan undang-undang atau peraturan lainnya, maka jam kerja bukan menjadi ukuran. Banyak rapat yang harus diselesaikan hingga larut malam. Apalagi jika legal drafting itu harus segera diselesaikan.
Rapat marathon inilah yang tentu tidak hanya menguras tenaga tetapi juga menguras pikiran. Bukankah pekerjaan mereka adalah berdebat untuk menemukan kompromi dan kesepakatan. Akibatnya, perdebatan itu terjadi berlarut-larut. Dan penyelesaiannya terkadang juga harus melalui lobi-lobi yang tidak sederhana.
Agar tidak terjadi kenyataan anggota dewan yang tertidur saat sidang, maka jika dianggap penting maka jam kerja DPR itu harus sama dengan jam kerja lainnya. Akan tetapi hal ini tentu tidak mungkin. Sebab banyak hal mendasar yang harus diselesaikan dalam waktu marathon.
Saya pernah mengikuti hearing dengan anggota DPR Komisi VIII tentang pendidikan Indonesia dan sekaligus melakukan evaluasi terhadap pendidikan di PTAIN. Rapat itu harus dilaksanakan malam hari setelah siang harinya juga menerima pimpinan PTAIN lainnya. Rapat itu diselenggarakan jam 21.00 dan baru selesai jam 24.00 WIB. Padahal besuknya di antara mereka ada yang harus kunjungan ke daerah atau harus rapat lagi.
Saya bahkan membayangkan bahwa rasanya saya tidak kuat menjadi anggota dewan itu. Bukan karena apa-apa, sebab saya ini orang yang tidak kuat berjaga sampai larut malam. Jika jam 24.00 belum tidur, maka besuk paginya terasa akan sangat lemas.
Jadi saya harus mensyukuri menjadi dosen yang jam kerjanya jelas dan yang dikerjakannya juga jelas. Apalagi setelah profesi dosen diakui oleh undang-undang dan kesejahteraan dosen juga membaik. Bersyukur adalah cara terbaik.
Wallahu a’lam bi al shawab.