MENDONGKRAK PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN
Berdasarkan laporan Jawa Pos, 25/07/2010, bahwa Indonesia masih kekurangan tenaga entrepreneur sebanyak 4,5 juta orang. Hingga hari ini, Indonesia baru memiliki entrepreneur sebanyak 500 ribu orang atau sebesar 0,18 persen dari total penduduk Indonesia sekitar 250 juta orang. Sementara itu Singapura sudah memiliki 4,24 juta wirausahawan dalam berbagai usahanya.
Mengingat hal ini, maka sesungguhnya Indonesia sudah kalah dari negara kecil Singapura dalam hal mendorong warganya untuk memasuki dunia kewirausahaan. Tentu saja ada factor geografis tentang mengapa Singapura menjadi bangsa entrepreneur. Kondiri Negara Singapura yang merupakan city state tentu mendorong warganya untuk memaksimalkan unit-unit usaha yang memang menjadi andalan perekonomiannya. Makanya, Singapura lalu memproklamirkan diri sebagai negara wisata belanja. Trade mark inilah yang kemudian dipompa sedemikian kuat, sehingga menghasilkan brand image bahwa Singapura identik sebagai negara tujuan wisata belanja.
Indonesia yang semula adalah negara agraris tentu menjadi agak tertatih-tatih ketika harus memasuki dunia entrepreneurship. Sebab di dunia agraris tidak dijumpai kompetisi dan berkejaran mencari peluang dan mengaktualkan peluang meskipun kecil. Dunia pertanian adalah dunia yang stagnan dan kalaupun berubah menjadi sangat lamban.
Namun di era global seperti ini, maka perubahan mindset tentu harus dilakukan. Misalnya meskipun basisnya pertanian akan tetapi harus diubah menjadi pertanian agrobisnis. Jadi core usahanya adalah tetap di bidang pertanian akan tetapi disentuh dengan pendekatan pertanian agrobisnis yang bisa jadi sangat menguntungkan.
Guberbur Jawa Timur, Dr. Soekarwo, dalam kesempatan sarasehan tentang pendagangan antar daerah menyatakan bahwa para petani harus memperoleh keuntungan. Misalnya, tomat satu kilogram di Batu bernilai Rp 500,-. Ketika sampai di pasar Surabaya menjadi Rp. 1500,- dan ketika masuk di Supermarket harganya menjadi Rp. 6000,-. Kenapa menjadi mahal di tangan pengusaha? Karena ada pasca produk yang disentuh oleh pengusaha, misalnya pemberian label, kemasan dan sebagainya. Oleh karena itu yang mendapatkan keuntungan besar adalah para pengusaha. Di sinilah makna menjadi entrepreneur di tengah kehidupan yang semakin kompetitif.
Perguruan tinggi semestinya bisa memainkan peran penting untuk mendorong semangat kewirausahaan. Di ITS, misalnya dikembangkan konsep teknopreneurship. Yaitu pendidikan yang menyeimbangkan atau merelevansikan antara dunia teknologi dengan dunia kewirausahaan. Melalui pendidikan ini, maka mahasiswa ITS tidak hanya diperkenalkan dengan kemampuan teknologi akan tetapi juga bagaimana menjual teknologi.
Bagaimana dengan PTAIN? Menurut saya bahwa core keilmuan PTAIN adalah tetap ilmu keislaman. Maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana bisa menjual “ilmu agama” itu kepada khalayak. Pernyataan ini tentu agak bombastis. Tetapi yang saya maksudkan dengan “menjual” ilmu agama adalah bagaimana mengemas ilmu agama dalam karakter yang bisa “dibeli” orang.
Akan tetapi yang juga penting adalah bagaimana membekali para mahasiswa dengan semangat kewirausahaan, sehingga akan memunculkan etos kewirausahaan. Bukankah kenyataannya banyak alumni PTAIN yang memasuki dunia usaha dan berhasil.
Makanya, dirasakan penting untuk menghadirkan mereka para usahawan dari PTAIN dimaksud untuk kepentinganmemberikan bekal kepada mahasiswa dalam paket-paket pendidikan kewirausahaan yang integrated.
Jadi, meskipun menjadi PTAIN tidak lalu harus tersingkir di dalam percaturan dunia kewirausahaan. Sebab alumni PTAIN pun banyak yang berhasil menjadi wirausahawan yang sukses.
Wallahu a’lam bi al shawab.