Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGEDEPANKAN NURANI DALAM PILPRES

Sebagai sebuah negara demokrasi, maka Pemilihan Presiden (pilpres) adalah suatu keniscayaan. Hampir semua negara di dunia yang mengembangkan sistem demokrasi, pastilah di dalamnya terdapat pemilihan umum (pemilu) dalam berbagai levelnya. Setiap pelaksanaan pemilu, maka hal yang selalu krusial adalah bagaimana menyelenggarakan kampanye damai namun dinamis dan tetap memiliki greget sebagai sebuah pesta demokrasi.

Kampanye merupakan ritual penting di dalam kehidupan politik. Sebagai sebuah ritual, setiap kampanye tentunya melibatkan pelaku, simbol, dan keyakinan yang kuat. Itulah sebabnya setiap kampanye pastilah terdapat simbol partai atau simbol calon yang akan berkompetisi, keyakinan bahwa calonnya yang akan menang dan juga seperangkat ide atau gagasan yang dijadikan sebagai conten kampanye.

Kian Dewasa

Masyarakat Indonesia dalam hitungan hari akan menyelenggarakan pilihan presiden (pilpres). Maka, hingar bingar kampanye juga sedang semarak di negeri ini. Masing-masing calon telah mengerahkan segala daya dan upaya. Bisa uang, tenaga dan pikiran yang semuanya diarahkan agar calon tersebut menjadi pemenang. Tak ayal jika di dalam kampanye kemudian terjadilah berbagai rivalitas, pertentangan bahkan konflik.

Jika disimak tentang pelaksanaan kampanye hingga menjelang masa berakhirnya, maka betapa kelihatan bahwa kampanye sebagai medium untuk unjuk kekuatan (show of force) ternyata tidak mengedepan. Hampir tidak dijumpai menumpuknya massa dalam jumlah yang sangat besar dan kemudian berimbas pada berbagai tindakan yang brutal. Jika dibandingkan dengan pemilu di tahun 90-an, maka amat jauh perbedaannya. Apalagi jika dibandingkan dengan pemilu di tahun 80-an. Masa itu merupakan masa di mana proses koersi dilakukan secara massal. Pada zaman pemerintahan Orde Baru, maka pengerahan massa menjadi salah satu indikator keberhasilan kampanye. Bukan kontestasi program tetapi kontestasi kuantitas massa yang mengikuti kampanye tersebut.

Seirama dengan perubahan kontestasi politik yang terjadi akhir-akhir ini, maka perubahan signifikan tersebut dapat dilihat secara nyata. Masyarakat Indonesia semakin dewasa. Berkali-kali menyelenggarakan pemilihan apakah di level kota, kabupaten, provinsi dan bahkan nasional telah menjadikan masyarakat Indonesia kian dewasa berpolitik. Meskipun di sana-sini terjadi kontestasi, pertentangan, rivalitas dan bahkan konflik ternyata tidak mengoyak “rasa” kebersamaan sebagai bangsa. Jika kita melihat ulang terhadap pilihan legislative yang baru lalu, maka kekhawatiran akan terjadinya benturan antar golongan masyarakat ternyata tidak terjadi. Ini menandakan bahwa masyarakat semakin menyadari bahwa perbedaan dalam pilihan politik bukan halangan untuk merajut kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat.

Sebagai bentuk candidate marketing dalam gagasan besar visi dan misi kebangsaan dan kemasyarakatan, maka kampanye untuk pilpres sudah berada di jalur yang benar atau on the right track. Memang di sana-sini pastilah terjadi gesekan, seperti materi kampanye yang menyinggung terhadap dimensi individu atau kepribadian individu capres/cawapres. Namun demikian sejauh yang bisa dinyatakan bahwa kampanye pilpres sekarang ini telah mengarah kepada “pemaparan fakta” ketimbang mengumbar janji yang utopis.

Masyarakat memang semakin dewasa sehingga masyarakat telah bisa menilai terhadap track record masing-masing calon. Apa yang telah dilakukan calon itulah yang kiranya akan menjadi ukuran bagi para pemilih untuk menentukan pilihannya. Siapa yang bisa mengemas perjalanan atau rekam jejak politiknya, maka dialah yang akan memperoleh simpati masyarakat. Dalam masyarakat yang modern, maka ukuran yang digunakan adalah rasio. Oleh karena itu yang menjadi pertimbangan utama dalam melakukan tindakan adalah rasionalitas. Secara proposisional dapat dinyatakan bahwa semakin rasional masyarakat, maka semakin kuat pertimbangan rasio tersebut digunakan dalam melakukan tindakan. Hanya saja yang tidak boleh terjadi adalah rasionalitas pragmatis. Yaitu mengedepankan kepentingan materi. Padahal yang juga perlu dikembangkan adalah pilihan rasional berbasis etika atau moralitas.

Mengedepankan Nurani

Di dalam kehidupan yang semakin pragmatis, maka sesungguhnya yang seringkali menjadi persoalan adalah bagaimana artikulasi kepentingan individu menjadi nyata. Orang akan memperjuangkan keberhasilan kepentingannya itu dalam batas-batas yang terkadang tidak mampu dinalar. Kasus politik uang yang menyeruak akhir-akhir ini adalah suatu contoh bagaimana individu mengedepankan kepentingannya jauh melebihi kapasitas moralitas politik yang seharusnya menjadi frame of reference di dalam kehidupan sosial dan politiknya.

Orientasi kehidupan yang lebih bersearah kepada pemenuhan kebutuhan duniawi bisa jadi akan membuat manusia menghalalkan cara-cara yang tidak etis. Machiavelli seringkali dituduh sebagai orang yang mengembangkan gagasan tentang ”tujuan menghalalkan segala cara”. Padahal apa yang dikemukakannya adalah refleksi tentang masyarakatnya yang kala itu memang –terutama dalam hal politik—menggunakan berbagai macam cara yang penting tujuan politiknya tercapai. Rivalitas bahkan konflik seringkali dipicu oleh ide tujuan menghalalkan semuanya itu. Gagasan Machiavelli ”rasanya” sangat relevan untuk membaca berbagai praktik politik yang tidak berbasis etika.

Akibatnya, tentu akan menyebabkan berbagai pergunjingan tentang rendahnya nilai moralitas yang bersangkutan. Memang harus dipahami jika dalam pemilu macam apapun, maka kampanye merupakan aspek yang sangat vital. Sebagai prosesi menjual kandidat dalam pileg atau pilpres, maka kampanye menjadi ajang yang tepat. Namun demikian, penyelenggaraan kampanye yang ramah terhadap kemanusiaan dan sarat dengan moralitas politik dirasakan tetap sangat mendasar.

Makanya yang perlu dikembangkan di saat sekarang atau bahkan di masa depan adalah bagaimana melaksanakan kampanye yang berbasis nurani. Kampanye berkoridor nurani kiranya adalah kampanye yang menggunakan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan intelektual diwujudkan dalam ungkapan-ungkapan logis berdasarkan atas realitas yang telah dan akan diperjuangkan. Ada sejumlah premis yang diungkap berbadarkan relasi-relasi yang logis atau masuk akal. Berbasis emosional artinya kampanye tersebut dikemas dalam bahasa hati yaitu ungkapan yang membuat competitor dan masyarakat audience-nya merasakan ketenangan dan saling menghargai. Berbasis spiritual bahwa kampanye tersebut tidak hanya mengusung tanggungjawab individu dan sosial tetapi juga tanggungjawan ketuhanan.

Kehidupan adalah sebuah sistem organisme, yang satu membutuhkan atau menguatkan lainnya. Keteraturan sosial dibangun di atas nilai saling membutuhkan dan menguatkan tersebut. Organisme sosial dibangun di atas pilar persaudaraan atau ukhuwah. Makanya, dalam pilpres juga hendaknya dibangun di atas pilar persaudaraan kemanusiaan.

Jika seperti ini, maka kampanye semestinya juga tetap berada di dalam koridor keagamaan, yaitu persaudaraan kemanusiaan atau ukhuwah insaniyah. Bahwa manusia itu berada di dalam ranah persaudaraan. Di dalam konsep Islam, bahwa sesama umat Islam itu bersaudara, yang satu menguatkan lainnya. Maka, kampanye yang baik adalah jika kampanye tersebut tetap mengedepankan persaudaraan sebagai pesan universal kemanusiaan.

Categories: Makalah