Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DARI FUNDAMENTALISME MENUJU KEBANGSAAN

Pendahuluan

Dunia kita ini sesungguhnya dilanda kepanikan. Ada sejumlah krisis yang terjadi di belahan dunia sana dan dampaknya dirasakan oleh orang sejagat, tak terkecuali orang Indonesia. Krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat bisa dirasakan orang Indonesia terutama yang terkait dengan jaringan ekonomi global. Para pemain bursa efek, pemain valas, perdagangan ekspor impor dan mereka yang terkait dengan keuangan global sungguh-sungguh merasakan betapa pengaruh krisis yang melanda negara adi daya tersebut.

Di tengah krisis yang melanda dunia ekonomi tersebut, tiba-tiba kita disentakkan oleh gerakan terorisme (26 Nopember 2008) yang meluluhlantakkan Kota Mumbai (Bombai) di India. Teror tersebut dilakukan dengan mengebom beberapa hotel berbintang, menyandera para penghuninya, menewaskan 125 orang dan 327  luka-luka.[1] Peristiwa ini tentu mengingatkan kita akan pengeboman yang dilakukan oleh kaum teroris di Legian Kuta Bali yang meluluhlantakkan pusat hiburan di situ. Tanggal 11 September 2001 terjadi penghancuran World Trade Center (WTC) dan setahun kemudian di Bali, 12 Oktober 2002. Peristiwa ini tentu masih dapat diingat dengan jelas, sebab kejadian ini merupakan kejadian yang begitu menyentak, tak terdeteksi sebelumnya, dan kita semua terlena bahwa ancaman terorisme bukan lagi sebagai isapan jempol belaka, atau cerita tanpa makna, namun merupakan sesuatu yang sangat riil di tengah-tengah kehidupan kita.

Terorisme sepertinya sudah merupakan bagian di dalam kehidupan ini. Terorisme yang dari sudut pandang apapun tentu bernilia sangat negatif, ternyata telah menjadi bagian dari kehidupan umat manusia. Makanya, dunia rasanya tidak akan pernah sepi dari kegiatan terorisme atas nama apapun. Itulah sebabnya, dunia berada di dalam bayang-bayang terorisme, kapan dan di manapun.

Mengapa Menjadi Fundamentalis?

Kekerasan agama tentu tidak datang begitu saja. Bila dibaca dari genealogis-internal, maka tentunya ada teks yang dianggap sebagai kata kunci pembenar terhadap gerakan teror dimaksud. Teks itu tidak lain adalah keyakinan tentang ajaran agama berdasarkan atas interpretasi penganutnya. Di dalam studi agama-agama disebut sebagai truth claimed atau klaim kebenaran. Seluruh agama memiliki klaim kebanaran. Agamanya saja yang benar dan yang lain salah. Dalam banyak hal, klaim kebenaran inilah yang menyebabkan tindakan keagamaan yang cenderung menihilkan yang lain.[2] Ketika penafsiran teks tersebut berpadu dengan konteks sosial yang dianggap tidak ramah terhadapnya, maka akan menimbulkan tindakan teror dimaksud. Dengan demikian, terdapat relasi antara kekerasan agama dengan teks agama dan konteks sosial politik yang melahirkan terorisme.

Jika ditelisik secara genealogis-eksternal, terorisme sesungguhnya bermula dari ketidakadilan dunia terhadap yang lain.[3] Ada yang disebut sebagai standart ganda di dalam kehidupan masyarakat. Di hal yang lebih kongkrit, Amerika Serikat disebut sebagai memiliki kebijakan yang berstandart ganda atau doublespeak atau doublethink.[4] Banyak kejadian di dunia ini yang bersumber dari standart ganda tersebut. Tengoklah misalnya bagaimana negara-negara Barat memperlakukan orang-orang Palestina, orang di tepian Gaza, dan di belahan negara lain yang merasakan betapa ketidakadilan tersebut terjadi. Ketika Israel mengoyak rumah-rumah penduduk di jalur Gaza, negara-negara barat tidak bereaksi disebabkan oleh alasan mereka memerangi terorisme kaum Hamas, tetapi ketika orang Palestina melakukan pembalasan terhadap gerakan Israel, maka dianggaplah itu sebagai gerakan terorisme.

Fenomena semacam ini yang kemudian semakin mengentalkan semangat jihad di kalangan para pelaku teror dan membingkai tindakannya tersebut sebagai tindakan yang benar berbasis ajaran agama. Jihad di dalam pandangan mereka kemudian diartikan sebagai perang melawan kaum kafir, kaum musyrik dan tidak lain adalah perang melawan negara-negara barat yang dianggapnya sebagai biang kerok ketidakadilan dunia tersebut.

Di sini kemudian muncul agen-agen yang berbaju jihad dan menyerukan agar dunia berani melawan negara-negara barat dan melakukan perang offensif terhadapnya. Muncullah kemudian nama-nama seperti Imam Samodra, Amrozi, Imam Mukhlas dan sebagainya yang menyebut dirinya dan disebut oleh kelompoknya sebagai kaum syahid, yang  berjuang di jalan Allah. Oleh kelompok ini, perjuangan menegakkan agama hakikatnya adalah dengan melakukan peperangan terbuka kepada kelompok yang dilabelnya sebagai musuh-musuh Allah atau setan-setan besar (great satanic), yang sudah membuat dunia menjadi rusak dan penuh kepalsuan. Imam Samodra bahkan berkeyakinan bahwa berdasarkan niat dan rencana target, jelas bom Bali merupakan jihad fi sabilillah, karena yang menjadi sasaran utama adalah bangsa-bangsa penjajah seperti Amerika dan sekutunya. Mereka berhak diperangi.  Bom Bali sama dengan jihad fi sabilillah.[5]

Imam Samodra bisa beranggapan seperti itu. Namun demikian, tindakan melawan humanitas tentunya bukankah tujuan agama-agama. Tafsir kekerasan yang digunakan oleh Imam Samodra akan memicu kekerasan-kekerasan lain. Apalagi banyak di antara mereka yang menjadi korban adalah orang-orang yang tidak mengetahui dan tidak menghendaki kekerasan itu terjadi. Meskipun demikian, tindakan Imam Samodra cs justru dilabel sebagai tindakan jihad fi sabillah oleh beberapa eksponen masyarakat. Maka, ketika Imam Samodra, Amrozi dan Imam Mukhlas dieksekusi, lalu muncullah anggapan bahwa ketiganya adalah pahlawan agama yang mati syahid.[6]

Kekerasan agama, sesungguhnya akan meninggalkan bekas sosiologis dan psikhologis yang luar biasa. Secara sosiologis, misalnya akan memunculkan prasangka dan tindakan balik yang menyakitkan. Pasca bom Bali, maka  ethnicity prejudice menjadi semakin menguat. Orang bali menjadi membenci orang Jawa dan Islam. Muncul statemen-statemen yang merupakan  akumulasi dari kekecewaan etnis. Jika sebelumnya kekecewaan itu tidak diungkap secara vulgar, maka pasca bom itu maka ungkapan vulgar bukan suatu hal yang tabu. Belum lagi dampak ekonomis yang juga ditanggung oleh kedua pihak, sedangkan secara psikhologis juga meninggalkan sikap traumatik yang luar biasa.[7]

Sayangnya bahwa gerakan-gerakan kekerasan atas nama agama tersebut terus berlangsung, baik dalam kuantitas maupun kualitasnya. Ketika dunia sedang terlihat damai, maka tiba-tiba diguncang oleh kekerasan atas nama apapun. Makanya, dunia sepertinya selalu di dalam bayang-bayang terorisme dan kekerasan dalam berbagai aspeknya. Gerakan-gerakan fundamental seperti ini, akan terus ada seirama dengan perubahan sosial yang terus terjadi. Dan seperti yang kita tahu bahwa gerakan ini telah memasuki hampir seluruh elemen masyarakat. Mereka telah memasuki dunia politik, sosial dan pendidikan. Lembaga politik dan gerakan pendidikan berbasis gerakan salafi, institusi sosial keagamaan yang berbasis wahabi, yang dikonsepsikan sebagai gerakan syumuliyyah (menyeluruh, komprehensif).

Indonesia kita ini adalah ladang yang sangat subur bagi semua aliran yang datang kepadanya. Secara historis, agama-agama besar yang sekarang menjadi anutan masyarakat Indonesia adalah agama-agama eksternal yang semula adalah agama kaum pendatang. Hindu, Budha, Islam, Konghucu adalah agama yang transpanted dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun demikian, sejarah kemudian menunjukkan bahwa justru agama pendatang inilah yang sekarang menjadi agama-agama bagi masyarakat Indonesia. Itulah sebabnya Greg Fealy dan Anthony Bubalo kemudian menyatakan bahwa: ”Indonesia adalah lahan yang subur bagi gerakan-gerakan keagamaan macam apapun”.[8] Tidak heran jika kemudian muncul gerakan-gerakan transplated dalam ranah keindonesiaan seperti Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Salafi, dan sebagainya.[9] Di Solo, sebuah kota yang sangat plural dan multikultiral kemudian muncul Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)  dibawah komando Ustadz Abubakar Baasyir. Gerakan yang bertumpu di Pesantren Ngruki ini juga dilabel sebagai gerakan Islam Fundamental. Di daerah konflik seperti Poso dan Ambon juga berkembang dengan pesat gerakan-gerakan Islam radikal yang memiliki dalih membela Islam dari penetrasi umat beragama lainnya.

Demikian pula di tempat lain. Yogyakarta, yang terkenal sebagai pusat pluralisme agama, juga sedang terjadi proses pengerasan kehidupan agama. Melalui Forum Umat Islam (FUI), maka wajah Islam juga menjadi agak ”garang”. Ada tiga isu yang menjadi concern gerakan ini, yaitu: isu Kristenisasi, isu anti Amerika dan isu moralitas. Mereka memiliki kepekaan yang sangat besar terhadap semua gerakan yang dianggap memiliki keterkaitan dengan Kristenisasi. Makanya, mereka menjadi anti sekolah Kristen, bahkan selama tiga tahun terakhir kaum FUI melakukan gerakan memerangi sekolah Kristen. Kemudian juga memerangi penyakit masyarakat (pekat), seperti pelacuran, diskotik dan penyakit sosial lainnya. Bahkan juga melakukan pembatalan terhadap festival Jogja, 2007. Gerakan ini tentu tidak datang begitu saja, namun terkait dengan adanya gerakan kebersamaan antar umat beriman, seperti Forum Umat Beragama (FUB), yang menjadi medium untuk saling memahami antar keyakinan beragama. Rivalitas  antara dua penggolongan sosial ini tentu saja akan terus berlangsung di dalam kehidupan sosial yang terus berlangsung.[10]

Perkembangan gerakan-gerakan keagamaan seperti ini tentunya merisaukan bagi penganut Islam yang telah mengembangkan konsepsi inklusivistik dalam beragama, semisal Muhammadiyah dan NU dan institusi keagaman lainnya. Tak pelak, Muhammadiyah dan juga NU lalu melakukan tindakan-tindakan untuk membentengi umatnya dari serbuan terstruktur dari kalangan ini. Belum jelas apakah gerakan menangkal ini akan berhasil atau tidak, namun melihat pola gerakan yang dikembangkan oleh gerakan fundamental ini, rasanya agak sulit dua ormas keagamaan ini akan berhasil secara maksimal untuk membentengi umatnya. Banyaknya anak-anak muda yang menjadi anggota gerakan ini, terutama di kalangan mahasiswa, menandakan bahwa gerakan ini memiliki daya tarik yang kuat. Bahkan pesantren, yang selama ini menjadi benteng akhir dari gerakan Islam inklusif pun kini menjadi rapuh berhadapan dengannya. Ada  anak orang Islam tradisional, ada juga alumni pesantren dan kemudian ketika memasuki dunia perguruan tinggi menjadi eksponen organisasi keagamaan fundamental tersebut. Jadi semuanya telah menjadi grey area.[11] Pesantren, organisasi keagamaan inklusif, dan gerakan-gerakan lainnya bisa saja dimasuki oleh gerakan fundamental tersebut. Bahkan kyai-kyai pedesaan yang selama ini menjadi basis gerakan NU pun tidak luput dari serbuan gerakan ini. Majalah Aula, No 11 Tahun XXX, Nopember 2008 mengungkap tentang riak-riak ideologi yang terus terjadi akhir-akhir ini. Melalui  tajuknya yang bertema ”Jaga Diri di Belantara Ideologi”, tampaknya NU telah menyadari bahwa ada tantangan luar biasa dari gerakan ideologi trans-nasional yang telah menggejala. Dinyatakan: ”sudah menjadi resiko sebagai ormas terbesar, NU akan selalu menjadi sasaran rongrongan paham-paham lain yang tidak sejalan. Ibarat pepatah, semakin tingi pohon, semakin kencang pula angin menghempas. Kini, angin itu telah menjadi badai yang siap memporakporandakan tatanan yang sudah disiapkan oleh para ulama pendahulu di negeri ini.”  Angin badai tersebut adalah gerakan Salafy (Wahabi), Ikhwanul Muslimin, Jihady (Salafy Jihady dan Qutbiyah) dan Hizbut Tahrir serta Syiah.[12] Meskipun terlambat, kesadaran ini menjadi penting di tengah semakin kuatnya gerakan-gerakan Islam fundamental yang telah memiliki posisi di bidang politik, sosial dan pendidikan. PKS, Gerakan Pertanian dan Pendidikan unggulan merupakan modus penting dan pilar gerakan Islam fundamental ini.

Gerakan fundamental memang telah menjadi bagian dari sejarah gerakan keagamaan di Indonesia. Dengan semangat eksklusifnya, gerakan ini telah melakukan aktivitas yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan. Reformasi telah memberikan sebuah pagelaran yang atraktif, tidak hanya bagi munculnya kebebasan, demokrasi dan HAM tetapi juga bersanding dengan gerakan agama  fundamental yang semakin memperoleh simpati dari banyak kalangan. Negara pun tidak mampu untuk mengerem gerakan ini, sebab ada constraint tentang penegakan demokrasi dan HAM. Makanya, harus ada penyeimbang gerakan ini, sehingga inklusivitas agama di Indonesia yang plural dan multikultural akan menuai jalan panjang dalam sejarah keindonesiaan.

Menuju Kebangsaan Indonesia

Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin tentunya mengajarkan agar manusia membela kemanusiaan. Islam tidak hanya urusan politik, tetapi juga menyangkut seluruh sistem kehidupan lainnya. Namun demikian, bagi sekelompok kaum fundamentalis bahwa urusan politik adalah yang utama, menciptakan dawlah adalah sesuatu yang sangat mendasar. Makanya, dalam banyak hal tujuan kaum fundamentalis yang paling utama adalah mendirikan negara demi tegaknya syariah Islam. Seperti yang diungkapkan oleh Tibi, bahwa kita harus membedakan antara fundamentalisme Islam dengan Islam sebagai sebuah agama. Di manapun fundamentalisme agama tentu berbeda dengan agama itu sendiri. Fundamentalisme Islam sebagai contoh merupakan cita-cita politik dan bukan cita-cita agama. Itulah sebabnya, Islam mesti harus dibedakan dengan gerakan teror atau apapun yang menjadikan Islam sebagai basis argumennya.[13]

Dewasa ini, kaum fundamentalis telah memiliki partai politik. PKS adalah representasi parpol yang di dalamnya menggambarkan tentang cita-cita penegakan syariah Islam kaffah yang dipengaruhi oleh pemikiran Hasan al-Banna dan para pemikir ikhwanul Muslimin.[14] Partai ini menjadi terminal bagi kaum fundamentalis, meskipun faksi-faksinya terlihat secara nyata.[15] Melalui kesamaan jargon anti barat, anti sekularisme, anti liberalisme dan anti pemerintahan non khilafah, maka PKS menjadi sarana efektif untuk artikulasi kepentingan politiknya.

Memang ada proses ”penarikan diri” dari syiar-syiar yang bombastis. Jika pada paroh pertama tahun 2000an mereka gencar menyuarakan gerakan negara khilafah, penegakan syariah secara kaffah dan syariah sebagai satu-satunya solusi menghadapi krisis multi dimensi, maka pada paroh kedua tahun 2000an mulai menyusut. Tidak terlihat spanduk-spanduk besar yang membeber khilafah, syariah Islam kaffah dan sebagainya.

Tampaknya ada kesadaran baru bahwa di tengah membangun persepsi organisasi agar diterima oleh khalayak, maka mengedepankan jargon politik berlebihan akan menyebabkan kurangnya dukungan massa terhadapnya. Apalagi kekuatan Islam moderat yang direpresentasikan oleh NU dan Muhammadiyah relatif solid dalam menghadapi gerakan-gerakan seperti ini. Namun demikian tetap saja terdapat hidden agenda yang mengusung keinginan penerapan khilafah Islamiyah dan penerapan syariah Islam secara kaffah.

Realitas kebangsaan memang sesuatu yang bercorak noumena, ada di dalam dunia makna. Maka kebangsaan tentunya tergantung kepada siapa yang memaknainya. Gugatan terhadap kebangsaan tersebut menyelimuti sejarah kebangsaan kita. Ada pasang surut. Jika kita menggunakan tolok ukur manifestasi kebangsaan itu adalah nasionalisme yang berdasarkan Pancasila, maka pasang surut itu dapat dilihat secara fenomenologik. Pada fase Orde Lama yang terjadi adalah proses menjadikan  Pancasila sebagai inti manifestasi bangunan kebangsaan, sehingga di saat itu derap langkah semua elemen bangsa diarahkan untuk menjadikan Pancasila sebagai pilar kebangsaan. Di era Orde Baru sesungguhnya ada langkah maju yaitu menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang harus aplikabel. Melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), maka dijadikanlah Pancasila sebagai arus utama di dalam kehidupan berbangsa. Siapapun yang menolak hal ini maka akan dilabel sebagai pembangkang. Sayangnya bahwa tujuan menjadikan Pancasila sebagai dasar moralitas kehidupan ini dikacaukan oleh tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang tidak tertahankan. Namun di era Orde Reformasi terjadilah pemutaran balik. Pancasila dipertanyakan keabsahannya untuk menjadi ideologi kebangsaan   Pancasila dianggap sebagai ideologi yang tidak mampu untuk menjadi pemersatu bangsa. Di tengah suasana seperti itu, maka muncullah berbagai ideologi trans-nasional yang menawarkan konsep baru. Tidak lain adalah ideologi khilafah yang dianggap dapat menyelesaikan semua persoalan negara-bangsa. Tantangan kita terbesar ke depan adalah bagaimana masyarakat kita ini tetap menyadari bahwa Indonesia kita ini adalah masyarakat yang plural dan multikultural. Sehingga ide yang mengusung gerakan-gerakan negara agama, tentunya akan dapat mereduksi terhadap ide kesatuan dan persatuan bangsa yang mengidealkan kebhinnekaan yang secara universal-lokalitas didasarkan atas Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[16]

Kita telah teruji dalam sekian dekade dalam kenyataan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Melalui konsep Bhinneka Tunggal Ika, ternyata ideologi kebangsaan ini mampu menjadi perekat yang cukup andal untuk menyatukan Indonesia yang sangat plural dan multikultural. Seperti nyanyian Rhoma Irama, bahwa ada bermacam-macam suku Bangsa itulah Indonesia. Ada  Sunda, ada Jawa, ada Batak, dan ada yang lainnya. Tetapi semua adalah Indonesia.

Di dalam kerangka membangun Indonesia yang ayem tenterem, maka bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia  yang berdasar Pancasila dan UUD Dasar 1945 rasanya tidak usah diperdebatkan lagi apalagi keinginan membuat eksperimen negara baru. Jika kita masih ingin melihat Indonesia yang warna warni, bersuku-suku, beretnis-etnis dan semuanya mengaku bangsa Indonesia, maka tidak ada pilihan lain kecuali memantapkan semangat untuk menjaga kesepakatan Kaum Muda 28 Oktober 2008: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa, Indonesia. Menjadi Islam, Menjadi Kristen, Menjadi Katolik, Menjadi Hindu, Menjadi Budha, Menjadi NU, Menjadi Muhammadiyah dan sebagainya adalah menjadi Indonesia.


[1] Harian Jawa Pos, Jum’at, 18 Nopember 2008

[2] Menurut Artur J. D’Adamo, bahwa religion’s way of knowing dapat menjadi akar dari konflik antarumat beragama.  Hal itu disebabkan oleh sebuah standart tentang agamanya sendiri yang diyakini kebenarannya sepenuhnya, yaitu: 1) bersifat konsisten dan berisi kebenaran-kebenaran yang tanpa kesalahan samasekali, 2) bersifat lengkap dan final—dan karena itu tidak diperlukan kebenaran dari agama lain, 3) kebenaran agamanya sendiri dianggap merupakan satu-satunya jalan keselamatan, pencerahan dan pembebasan, dan 4) seluruh kebenaran itu diyakini original dari Tuhan. Tidak ada konstruksi manusia. Periksa, Budhi Munawar Rahman, Islam Pluralis, Wacana Keseteraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. vii

[3] Di dalam salah satu tulisannya tentang Membaca Radikalisme Islam, Nur Syam menyatakan bahwa ada tiga sebab eksternal tentang gerakan radikalisme Islam, yaitu: tekanan politik penguasa, kegagalan rezim sekular dalam menyejahterakan rakyat dan respon terhadap dunia barat. Periksa, Nur Syam, “Tantangan Multikulturalisme Indonesia, dari Radikalisme menuju Kebangsaan” (Yogyakarta: Impuls, 2008), hlm. 124-126

[4] Konsep doublespeak atau doublethink dikembangkan oleh George Orwell di dalam tulisannya yang berjudul “1984.” Orwell melakukan elaborasi antara bahasa dan politik. Periksa John Stauber dan Sheldon Rampton, Weapons of Mass Deception, The Uses of Propaganda in Bush’s War on Iraq (New York: Penguin, 2003), hlm. 113.

[5] Imam Samodra, Aku Melawan Teroris (Jakarta: Jazeera, 2005), hlm. 109

[6] Tentu ada pro-kontra tentang konsepsi kesyahidan Imam Samodra, cs. Abd. A’la di dalam tulisannya di Harian Jawa Pos menolak penafsiran tersebut. Baginya, Amrozi cs bukan mati syahid, sebab tidak didapatkan teks yang menyatakan seperti itu. Periksa Abd. A’la,  ”Amrozi dkk Bukan Mujahid” dalam Jawa Pos,  Rabu, 19 Nopember 2008.  Jihad memang memiliki makna yang bervariasi. Sayyid Qutb menjelaskan bahwa jihad adalah perang ofensif melawan musuh Islam dengan memisahkan secara total hubungan muslim dan non muslim, sedangkan Rasyid Ridha menjelaskan bahwa jihad adalah segala tindakan sistematis untuk menegakkan kebenaran dan menghapus segala bentuk kebatilan. Pemikiran Rasyid Ridla menggambarkan jihad inklusif atau moderat, sedangkan jihad dalam konsepsi Sayyid Qutb bernuansa eksklusif, radikal-fundamentalis dan revolusioner. Periksa Muhammad Chirzin, Kontroversi Jihad di Indonesia, Modernis versus Fundamentalis (Yogyakarta: Pilar Media, 2006), hlm. vi-vii. Jihad memang memiliki makna ganda. Bisa juga bermakna perang tetapi juga bisa bermakna lainnya. Namun para fuqoha menyatakan bahwa jihad tidak seharusnya dimaknai dengan kekerasan atau menyebarkan ketakutan. Tetapi lebih kepada dorongan semangat belajar dan usaha-usaha untuk menguatkan prinsip-prinsip agama melalui amar ma’ruf nahi mungkar, memperbanyak kebajikan dan memerangi kebatilan. Periksa Aminoto Sa’dullah, Terorisme: Jihad yang Jahat, dalam News Letter, Center for Religious and Community Studies, Edisi Maret-Mei 2006, hlm. 4-5

[7] Yudhis M. Burhanuddin, Bali Yang Hilang, Pendatang, Islam dan Etnisitas di Bali (Yogyakarta: Impuls, 2008.

[8] Greg Fealy dan Anthony Bubalo dalam Nur Syam, Transisi Pembaruan, Dialektika Islam, Politik dan Pendidikan (Surabaya: Lepkiss, 2008), hlm. 133

[9] Banyak kajian yang dilakukan untuk memetakan gerakan fundamentalisme Islam, misalnya Umi Sumbulah, ”Gerakan Fundmantelisme di Malang: Studi Atas Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin dan Arimatea” dalam Jurnal Istiqra’, Vol. 6, Nomor 01, 2007, hlm. 1-50. Kemudian, Ahmad Saerozi dan Fathoni Hasyim, ”Konstruksi Ideologis dan Pola Jaringan Organisasi Mahasiswa Islam Fundmentalis di Surabaya” dalam Jurnal Istiqra’…, hlm. 51-84. Kemudian M. Muslih H., ””Mendirikan Negara Islam: Gagasan dan Perilaku Politik Gerakan Islam Radikal di Surakarta” dalam Istiqra’, Vol. 03, Nomor 01, 2004, hlm. 213-266. Yang menarik dari  penelitian ini adalah temuannya bahwa gerakan agama fundamental memiliki agenda untuk menerapkan ajaran agamanya secara eksklusif dan berujung perlunya institusi formal yang memayungi pelaksanaannya. HTI, MMI, Hizbullah, KAMMI dan sebagainya memiliki agenda untuk mendirikan Negara Syariah.

[10] Imam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya (Yogyakarta: Impuls, 2008), hlm. 76-114

[11] Di dalam tulisan Ahmad Shidqi, Sepotong Kebenaran Milik Alifa (Yogyakarta: Impuls, 2008), hlm. 17-21.  Di sini ada cerita menarik tentang seorang Alifa yang berasal dari desa di Yogyakarta, orang tuanya sangat kuat memegang tradisi keagamaan tradisional dan pengurus organisasi tradsional  tetapi ketika menjadi mahasiswa teknik dia mengikuti gerakan Islam radikal. Dia menggunakan cadar sebagai pakaian sehari-hari dan itu didukung oleh kajurnya yang juga penganut Salafy.

[12] Majalah Nahdlatul Ulama, Aula, No. 11 TaHUN xxx, Nopember 2008, hlm. 14-25

[13] Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme, Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000)

[14] Ahwan Fanani, ”Akar dan Pemikiran Gerakan Revivalis Islam Indonesia: Studi terhadap Partai Keadilan Sejahtera” dalam Kamaruddin, Eds., Quo Vadis Islamic Studies in Indonesia (CurrentTrends and Future Chalenges (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Depag dan PPS UIN Alauddin Makasar, 2006), hlm. 153-155

[15] Gerakan Islam fundamental di kampus sesungguhnya difasilitasi oleh Lembaga Dakwah Kampus yang kemudian melahirkan gerakan Tarbiyah sebagai embrio PKS, jamaah Usrah yang melahirkan HTI dan gerakan dawrah yang melahirkan gerakan Salafy. Ketiganya memiliki basis kesamaan teologis, yaitu kembali ke Qur’an dan hadits tetapi di dalam strategi dan pola perjuangan bisa berbeda. Periksa Ahmad Shidqi, Sepotong Kebenaran Milik Alifa…,  hlm. 62

[16] Mengenai tantangan multikulturalisme Indonesia dapat dibaca dalam Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia, dari Radikalisme menuju Kebangsaan (Yogyakarta: Impuls, 2008)

Categories: Makalah