RAPOR MENTERI
Istilah rapor (baca rapot) dulu dikenal sebagai laporan kenaikan siswa di sekolah. Penerimaan rapot begitulah bahasa yang digunakan oleh para orang tua, jika suatu kesempatan pergi ke sekolah untuk mengambil laporan kemajuan belajar anak-anaknya. Biasanya orang tua datang ke sekolah untuk mengambil rapor tersebut. Dan seperti biasanya wajah orang tua menjadi senang, ketika rapor anaknya baik dan menjadi murung jika rapor anaknya jelek. Yang berwajah murung biasanya karena banyak nilai anaknya yang bertanda merah. Tradisi ini disebut sebagai rapotan.
Rapor ternyata sekarang memiliki cakupan yang lebih luas. Bahkan berita akhir-akhir ini dikaitkan dengan kinerja menteri. Maka menteri yang kinerjanya belum maksimal disebut sebagai memperoleh rapor merah. Penilaian kinerja menteri tersebut dilakukan oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), sesungguhnya merupakan laporan tentang progress implementasi program. Artinya bahwa yang dinilai adalah sampai sejauh mana rumusan pogram yang sudah ditetapkan dalam Inpres No 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010 sudah dilaksanakan untuk enam bulan berjalan.
Penilaian terhadap kinerja menteri tersebut dilakukan enam bulan kerja yang dilakukan oleh para menteri. Semua menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II kemudian dinilai tentang bagaimana capaian kinerjanya selama enam bulan tersebut. Ketika diangkat mereka telah meneken kontrak program seratus hari yang dinyatakan seluruhnya dinilai berhasil. Dan kemudian dilakukan penilaian ulang dalam jangka waktu kerja enam bulan.
Hasilnya ternyata terdapat sebanyak tiga menteri memperoleh rapor merah. Menteri tersebut adalah Tifatul Sembiring, Menkominfo, Menteri Pekerjaan Umum, dan Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan HAM. Ketiga menteri ini memperoleh penilaian yang oleh kalangan pers disebut mendapatkan rapor merah. Jadi isu rapor merah sesungguhnya dikonstruksi oleh insan pers.
Tentu ada alasan yang mendasar mengapa menteri-menteri ini dinyatakan memiliki kinerja yang belum maksimal di dalam pencapaian target kinerjanya. Marilah kita analisis secara kasar. Dari sisi pemberitaan di media massa, maka tidak ada pemberitaan yang lebih heboh dalam tiga bulan terakhir kecuali pemberitaan tentang tindakan mesum para selebritis di negeri ini. Konon katanya, berita tentang tindakan tersebut diakses tidak kurang dari 800 juta orang melalui medium internet.
Pemberitaan tentang video mesum ini menyamai rekor penonton bola di dalam final sepakbola antara Belanda melawan Spanyol, yang konon katanya dilihat oleh pemirsa kurang lebih 700 juta orang. Kecolongan lewat media informasi seperti ini yang kiranya memantapkan penilaian bahwa kementerian Kominfo dianggap kurang maksimal di dalam kinerjanya. Dampak dari tindakan tersebut kemudian memantapkan adanya konsep baru di dalam dunia media yang disebut sebagai terorisme moral atau terorisme mental. Pemberitaan yang bertubi-tubi tentang kasus ini tentu menyebabkan adanya penilaian bahwa menkominfo kurang sigap dalam mengambil kebijakan.
Kemudian Menhukham juga dinilai rapornya merah. Masyarakat tentu bisa membaca bagaimana dunia peradilan kita. Karut marut dunia hukum di Indonesia sangat mengedepan. Misalnya banyaknya kasus pengadilan yang tidak tuntas. Kita tentu masih ingat kasus Artalita Suryani yang menghuni Lapas klas khusus. Kita semua juga tahu tentang kasus Gayus Tambunan. Kita tentu juga paham tentang kasus Antasari, dan beberapa hakim dan jaksa yang kemudian terseret masalah hukum.
Dari penilaian terhadap kinerja menteri itulah maka muncul wacana rapor merah kepada tiga menteri tersebut. Sayangnya bahwa bola kemudian menggelinding menjadi isu politik yaitu reshuffle Kabinet. Menteri yang dinilai memiliki rapor merah tersebut memang berasal dari partai koalisi, Patrialis Akbar dari PAN dan Tifatul Sembiring dari PKS. Dari sisi koalisi inilah yang menurut beberapa pengamat dinyatakan bahwa yang rawan menghadapi reshuffle cabinet adalah PKS yang disebabkan oleh ketidaksetiaan PKS dalam kasus Bank Century.
Namun demikian, sebagaimana wawancara saya dengan radio El-Shinta,17/07/2010, saya nyatakan bahwa sangat sedikit kemungkinan reshuffle tersebut. Jika dirunut seharusnya reshuffle dilakukan di seputar kasus Bank Century. Ketika itu isu reshuffle sudah sangat kuat. Akan tetapi kenyataannya tidak dilakukan. Pak SBY memang memiliki kebiasaan bahwa yang diramaikan oleh banyak orang ternyata justru tidak dilakukan. Makanya, ketika isu rapor merah tersebut mencuat ke permukaan dan menjadi berita besar di media, maka justru memantik tidak akan dilaksanakan reshuffle kabinet.
Oleh karena itu, saya sependapat bahwa rapor merah sesungguhnya adalah tegoran administratif terhadap para menteri agar meningkatkan kinerjanya. Lagi pula bahwa untuk memiliki rapor biru juga terdapat sekian banyak variabel, diantaranya adalah anggaran, kebijakan dan juga kualitas staff. Jadi, agar kinerja menjadi sangat baik maka mengurai terhadap variabel-variabel tersebut menjadi sangat penting.
Itulah sebabnya, rapor merah tidak ada hubungannya dengan isu politik reshuffle cabinet. Waktu enam bulan belum bisa menjadi ukuran keberhasilan maksimal pencapaian target kinerja.
Wallahu a’lam bi al shawab.