POLITIK TIDAK BERBASIS IDEOLOGI
Di dalam acara yang digelar oleh Aliansi Anak Muda NU, 17/07/2010, maka ada beberapa pertanyaan yang kiranya diperlukan pendalaman jawaban, yaitu: bagaimana memperlakukan NU dalam relasinya dengan politik praktis? Apakah NU secara struktural harus terlibat padahal kenyataannya NU justru terpuruk? Terhadap pertanyaan ini, maka memang perlu ada orang NU yang harus menjelaskan secara memadai tentang bagaimana sebaiknya bertindak di tengah keinginan berpolitik praktis yang demikian kuat di kalangan elit NU. Syahwat politik NU inilah yang kemudian sering menjebak NU dalam kubangan permasalahan yang tidak henti-hentinya.
Di dalam sejarahnya, memang pernah terdapat politik berbasis ideologi. Kalau kita flash back, maka akan ditemui bagaimana di era Orde Lama pernah berkembang dengan kuatnya politik aliran dan politik ideologi. Makanya, kajian-kajian yang dilakukan oleh Mc-Vey dan juga Geertz juga sampai kesimpulan, bahwa masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang berpaham politik aliran. Studi ini bisa jadi benar di era pertengahan tahun 1950-an. Sebab di era tersebut memang politik aliran itu sedemikian kuat mencengkeram masyarakat dalam relasinya dengan partai politik.
Menurut saya, bahwa ada empat penggolongan basis politik masyarakat semenjak Indonesia merdeka hingga sekarang. Pertama, era tahun 1950-1960-an. Di era ini, kita melihat betapa kuatnya politik aliran tersebut berkembang pada masyarakat Indonesia. Di dalam pemilu tahun 1955 sangat jelas dijumpai politik aliran tersebut. Dari kontestan pemenang pemilu empat besar, yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI, maka sangat mengedepan politik aliran dimaksud. Orang Marhein dan nasionalis pasti akan memilih PNI sebagai kendaraan politiknya. Orang Komunis pasti akan memilih PKI sebagai partai politiknya. Kemudian orang NU akan menjadikan NU sebagai pilihan politiknya. Demikian pula orang Islam Modernis dan sebagian kalangan Islam lain akan memilih Masyumi sebagai pilihan politiknya.
Kedua, era politik massa mengambang. Era ini terjadi pada tahun 1970-1990-an. Era ini ditandai dengan de-ideologisasi politik. Melalui program floating mass yang didesain oleh Golkar, maka hampir semua partai politik tidak menggunakan basis ideologi sebagai bagian penting dalam format politiknya. Di dalam pemilu 1971 dan seterusnya, maka de-ideologi partai tersebut dirancang sedemikian kuat. Melalui fusi partai, maka tidak ada lagi basis ideologi partai. Jika ada penggolongan partai politik berdasarkan basis ideologi, maka hal itu tidak sekongkrit di era Orde Lama. Melalui proyek mendekatkan jarak ideologi, seperti partai berbasis kekaryaan, agama dan nasionalisme ternyata tidak menjadikan orang memilih partai sesuai dengan ideologinya.
Melalui proyek mendekatkan jarak ideology, justru partai-partai saling bertentangan bahkan konflik. Apakah ini disebabkan oleh faktor eksternal –golkar dan pemerintah—akan tetapi yang jelas bahwa basis ideologi tersebut semakin mencair. Puncaknya tentu saja melalui proyek NU menarik diri dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan ungkapan: “NU ada di mana dan NU bisa ke mana-mana,” maka lengkaplah ketiadaan ideologi partai politik tersebut. Massa mengambang ini tentu saja sangat menguntungkan Golkar sebagai partai politik pemerintah. Golkar menjadi single majority di dalam beberapa pemilu di era Orde Baru.
Ketiga, era politik fragmatis. Realitas politik sepertoi ini justru terjadi di era reformasi. Era yang sesungguhnya dianggap sebagai tonggak bagi demokrasi ini ternyata dinodai dengan kenyataan bahwa politik era ini justru sarat dengan fragmatisme. Melalui pilihan langsung di dalam pilpres, pilgub dan pilkada lainnya, maka lengkaplah tindakan politik fragmatis tersebut. Lihatlah betapa merebaknya politik uang atau money politics. Di berbagai daerah terjadi gugatan politik yang disebabkan oleh tindakan politik uang. Makanya, ada sebuah guyonan: “berjuang” artinya politik itu berupa beras, baju dan uang. Di masyarakat sudah berkembang dengan semarak tentang sikap siapa yang memberi beras, baju dan uang, maka itulah yang akan dipilih.
Negara kita memang semakin demokratis. Bahkan menjadi negara dunia ketiga yang paling demokratis. Akan tetapi sayangnya bahwa demokrasi tersebut dicederai oleh tindakan politik fragmatis tersebut. Tindakan politik uang bukan lagi dianggap sebagai cacat politik, akan tetapi dianggap sebagai instrumen politik. Cara apa saja halal, asal tujuan bisa dicapai. Inilah yang sesungguhnya membahayakan kemurnian demokrasi.
Oleh karena itu, tugas yang sangat berat di emban oleh para politisi adalah bagaimana menjaga etika politik agar tetap berbasis kejujuran. Adagium politik itu kotor harus dijawab secara lugas oleh politisi dengan tindakan politik yang benar. Masyarakat harus diajari dengan etika politik yang benar. Sehingga ke depan demokrasi yang dianggap sebagai pilihan terbaik dalam bernegara bangsa tidak menjadi cacat karenanya.
Jika tindakan politik selalu mengedepankan etika, maka kita akan memiliki keyakinan bahwa tidak akan terdapat sebanyak 150 orang kepala daerah yang memasuki ranah pengadilan. Jika proses demokrasi benar, saya yakin akan menghasilkan pimpinan yang benar.
Di dalam pilkada Sidoarjo yang akan datang beberapa saat lagi, maka yang perlu dipertimbangkan adalah memilih orang yang sudah jelas pengabdiannya kepada organisasi. Hendaknya dipilih mereka yang sudah memiliki rekam jejak yang menguntungkan bagi organisasi dan masyarakat. Jika ini bisa dilakukan, maka kita akan memiliki pemimpin yang memiliki kepedulian terhadap organisasi yang mengusungnya dan juga masyarakat secara umum.
Wallahu a’lam bi al shawab.