KETIKA ANAK MUDA NU MEMBINCANG POLITIK
Ternyata saya harus mengakui bahwa di dalam kehidupan ini selalu ada kendala yang harus terjadi. Di antaranya adalah kendala jaringan yang saya alami kemarin. Seharian jaringan internet IAIN SA drop dan malam hari saya harus ke Marina Super Market, ternyata dua tempat yang biasanya internet mudah diakses juga sama-sama drop. Jadilah kemarin tulisan yang sudah saya siapkan terpaksa harus saya upload hari ini. Ini yang kedua selama setahun lebih sedikit perjalanan tulisan saya di blog.
Saya merasa sangat berbahagia karena diajak untuk berbincang-bincang dengan Anak-Anak Muda NU sidoarjo untuk membahas tentang “NU, Politik dan Masa Depan”. Perbincangan ini menjadi menarik, sebab dewasa ini banyak pilkada yang melibatkan elit-elit NU di dalamnya. Sehingga pembicaraan tentang masa depan NU dalam kaitannya dengan persoalan politik akan sangat menentukan bagaimana anak-anak muda NU akan berkiprah di masa depan.
Perbincangan pada 16/07/2010 tersebut melibatkan Drs. Ahmad Zaini, MSi, Redaktur Opini Jawa Pos dan dimoderatori oleh Drs. Listiyono, MA, Dosen Muda MKDU di Universitas Airlangga. Acara ini juga dihadiri oleh sejumlah aktivis NU di Kabupaten Sidoarjo. Akan tetapi yang banyak adalah anak-anak muda NU yang sedang berkiprah untuk menjadi aktivis di ranahnya masing-masing.
Memang membincang tentang relasi NU dan Politik tidak akan ada habisnya. Hal ini tentu terkait dengan sejarah NU yang panjang dalam keterlibatannya dengan politik. Yaitu semenjak tahun 1955 di mana NU menjadi partai politik hingga pergolakan politik di masa-masa Orde Baru. Keterlibatan NU dalam politik praktis inilah yang menjadikan NU hingga sekarang sering bernostalgia dengan dunia politik praktis. Makanya, ketika terjadi pilkada yang hampir setiap hari tersebut, maka banyak elit NU yang ingin memasukinya.
Syahwat politik NU inilah yang kemudian sering menjadi blunder dalam tubuh struktural NU. Seringkali NU struktural terjebak dalam dukungan politik praktis yang menjadikannya tercabik-cabik jika calon yang didukungnya kalah di dalam pilkada. Kasus pilpres tahun 2009 dan juga pilgub Jatim tahun 2009 adalah contoh riil tentang “kekalahan” NU struktural dalam dunia politik praktis. Oleh karena itu memang diperlukan format sistem politik di dalam NU yang tentu saja tidak secara langsung. Sayap NU tersebut bisa terdiri dari para kyai senior yang secara struktural tidak berada di dalam struktur NU akan tetapi memiliki powerfull authority.
Apakah bisa membuat sayap politik NU yang tidak berada di dalam NU, tetapi powerfull dan berpengaruh signifikan di dalam tubuh NU? Inilah pekerjaan rumah NU yang tidak sederhana. Jika digambarkan, maka NU itu harus seperti rumah besar yang banyak pintunya dan orang bisa keluar masuk, akan tetapi ada satu pintu besar yang ketika orang akan memasuki ranah politik harus melewati para penjaganya. Pintu itu dijaga oleh para Ulama NU yang sudah transpolitik. Sudah khatam dalam urusan politik dan sudah tidak ada syahwat politik kecuali politik kenegaraan dan kebangsaan. Mereka yang tergabung di dalam penjagaan pintu besar tersebut berperan seperti dirijen yang mengatur seluruh mekanisme sistem orchestra dan semuanya taat kepadanya, sami’na wa atho’na.
NU memang terdiri dari faksi-faksi pesantren yang terkadang sangat beragam, terutama dari sisi kepentingan. Itulah sebabnya ketika seseorang ingin menjadi calon dalam pilkada dan tidak mendapatkan restu dari pesantren X, maka dia datang dan memperoleh restu dari pesantren Y, meskipun secara kultural pesantren-pesantren tersebut sama-sama NU-nya. Maka tidak jarang dijumpai banyaknya bakal calon bupati/walikota dan sebagainya yang bisa bertarung dalam pilkada karena dukungan yang tidak utuh dari NU ini.
Sistem ini yang mestinya harus dikuatkan tidak hanya dari kesamaan visi dan misinya akan tetatpi juga implementasi kepentingannya. Pekerjaan rumah inilah yang seharusnya dirumuskan dalam perhelatan yang lebih serius agar sistem penting ini segera dapat diwujudkan. Melalui sistem ini, maka tidak akan lagi dijumpai sejumlah orang NU yang bertarung untuk memperebutkan satu posisi, misalnya bupati/wakil bupati, walikota/wawalikota, DPR/DPRD dan sebagainya. Semua melalui proses fit and proper test yang sangat ketat sehingga akan diyakini bahwa yang bersangkutan memiliki komitmen, kepedulian dan pengabdian yang tidak diragukan.
Selain itu sebagai bahan pertimbangan lainnya adalah jejak langkah yang bersangkutan dalam kelembagaan NU. Apa sesungguhnya yang sudah disumbangkan secara mendasar kepada NU? Adakah kepeduliannya tersebut sudah berjalan lama atau sesaat saja? Rekam jejak ini menjadi penting agar tidak terjadi memilih kucing di dalam karung. Semua transparan dan terbuka.
Sistem inilah yang menjadi jaminan dalam kerangka politik alokatif yang sesungguhnya. Di dalam politik alokatif tersebut, maka siapa menempati apa sudah dipahami secara bersama. Jadi tidak berebut dalam suatu jabatan pada level kekuasaan politik yang sama atau lainnya. Biarkan ada yang di dunia akademis, ada yang di birokrat, ada yang di wirausaha, ada yang di teknokrat dan sebagainya.
Semuanya itu kemudian memiliki komitmen untuk membangun NU pada level dan tempatnya. Jadi, siapapun yang menduduki jabatan apapun akan memiliki komitmen melalui jalurnya masing-masing, sehingga NU kemudian dapat menjadi institusi pengembangan kader-kadernya yang memiliki militansi dan kepedulian.
Dengan demikian, ranah perjuangan NU bisa menjadi sangat variatif dan tidak untuk kepentingan sesaat.
Wallahu a’lam bi al shawab.