PEDAGANG TRADISIONAL DI TENGAH HIMPITAN GLOBALISASI
Jumat malam, 16/07/2010 di Hotel Shangri-La Surabaya dilaksanakan Dialog Ekonomi dengan tema Peningkatan Perdagangan Antar Provinsi. Dialog ini diselenggarakan terkait dengan peresmian “Pasar Induk Agrobisnis Puspa Agro” di Jl. Sawunggaling No 177-183 Taman Sidoarjo pada Sabtu pagi, 17/07/2010. Acara ini tentu menjadi penting di tengah keinginan untuk meningkatkan pendapatan daerah melalui sektor perdagangan regional. Selama ini banyak orang hanya berpikir ekspor melupakan perdagangan antar propinsi atau antar pulau. Padahal kenyataannya bahwa perdagangan antarpulau justru lebih menguntungkan.
Acara yang digelar tersebut menghadirkan banyak elemen. Banyak pengusaha yang datang, terutama yang bergerak di sector agrobisnis, Gubernur Jawa Timur, Gubernur Semarang, Wakil Gubernur Lampung, Kadinda, Direktorat Perdagangan, Kepala Bank BNI Cabang Jawa Timur, sejumlah rektor Perguruan Tinggi dan seluruh jajaran pemerintah Provinsi Jawa Timur dan juga para Bupati se Jawa Timur. Acara ini menjadi semakin lengkap andaikan para menteri perekonomian juga hadir. Makanya, keluhan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, adalah kenapa para pengambil kebijakan, para menteri, tidak hadir di acara yang sangat penting tersebut.
Ide tentang pengembangan perdagangan antarpulau atau antarprovinsi tentu merupakan ide yang sangat baik, sebab dengan menggenjot perdagangan antarprovinsi, maka dimungkinkan penyebaran barang dari satu daerah ke daerah lain. Apa yang menjadi produk suatu daerah dan apa yang dibutuhkan oleh suatu daerah. Maka akan memunculkan simbiosis mutualisme antar daerah dalam dunia perdagangan.
Di tengah globalisasi seperti ini, maka serbuan produk dari luar negeri tentu tidak terelakkan. Bahkan dalam beberapa produk barang luar negeri jauh lebih murah. Jeruk Mandarin jauh lebih murah harganya dibandingkan dengan Jeruk Bali. Hal ini disebabkan oleh mata rantai perdagangan yang berputar. Makanya, yang diharapkan adalah pemutusan mata rantai yang membuat harga kurang bisa bersaing. Salah satu sebab mengapa harga barang menjadi mahal adalah tentang transportasi. Harga semen di Papua bisa menjadi berlipat-lipat dibandingkan harga semen di Jawa.
Jadi, di tengah semakin kuatnya penetrasi global maka akan harus diperkuat perdagangan antar daerah atau antar pulau, sehingga produk Indonesia akan bisa memasuki kawasan daerah lain dan dapat bersaing dengan produk luar negeri. Sebab dewasa ini, penetrasi perdagangan melalui menjamurnya Mart-Mart tentu bisa berdampak negative terhadap para pedagang tradisional.
Berdasarkan laporan Koran, maka terjadi kerugian yang dialami oleh para pedagang tradisional yang disebabkan oleh semakin menjamurnya ritel-ritel di seluruh pelosok negeri. Para pedagang tradisional di Jakarta yang tergabung dalam Forum Keadilan Untuk Umat (FKU) dan para pedagang tradisional menggelar aksi demo di salah sat gerai Carrefour di Jl. MT Haryono, Jakarta selatan, kemarin. Demo ini dilakukan mengingat semakin banyaknya pasar tradisional yang semakin tersingkir. Di Jakarta banyak Carefour yang didirikan berdampingan dengan pasar tradisional. Akibatnya pasar tradisional menjadi mati. Demo ini diikuti oleh sebanyak 80 orang yang terdiri dari pedagang kaki lima di beberapa pasar tradisional seperti Pasar Klender, Punas dan Pondok Kelapa.
Jika para pedagang tradisional merasakan terpinggirkan menurut saya hal yang sangat wajar. Ini tentu saja terkait dengan kebijakan perizinan terhadap mall yang tak terkendali. Ritel-ritel ini telah menyerbu hampir semua daerah di Indonesia. Tidak hanya di kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Jogyakarta, Bandung dan sebagainya, tetapi kota-kota kabupaten di hampir seluruh propinsi di Indonesia. Akibat-keberpihakan free trade seperti ini, maka banyak pedagang di pasar tradisional yang kelabakan. Serbuan pegusaha ritel ini memang menyisakan masalah. Di setiap sudut kta akan dijumpai swalayan.
Sistem ekonomi kita memang semakin liberal yang ditandai dengan deregulasi, privatisasi dan liberalisasi. Tiga aspek ini menandai secara umum tentang semakin kuatnya cengkeraman kapitalisme atau liberalisme. Bisa dibayangkan bahwa peraturan perundangan di bidang perbankan memperbolehkan penguasaan asing sampai 99 persen, melebihi Amerika, Inggris, Singapura dan lainnya. Memang melalui deregulasi dikandung maksud untuk memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk menanamkan modal di Indonesia.
Melalui penanaman modal yang semakin besar maka peluang lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga peluang usaha yang semakin besar. Secara teoretik memang benar, akan tetapi melalui deregulasi tersebut justru yang terjadi adalah semakin besarnya intervensi perusahaan yang dapat mendesak usaha ekonomi rakyat. Jadi, deregulasi tidak menguntungkan bagi masyarakat, terutama pedagang tradisional.
Distribuasi berkeadilan di dalam system liberal inilah yang kiranya perlu diperhatikan di Indonesia. Makanya, melalui usaha-usaha cerdas untuk mengembangkan produk agrobisnis yang memadai dan ditopang oleh aturan yang memberikan perlindungan kepadanya, maka akan dipastikan kemampuan berkembang.
Produk agrobisnis, pengembangan usaha kecil menengah dan pembatasan terhadap pengembagan ritel-ritel yang bisa mendesak terhadap pedagang tradisional kiranya santat diperlukan.
Oleh karena itu, dirasakan perlunya untuk terus mendialogkan kepentingan distribusi keadilan bagi pedagang kelas menengah ke bawah dalam rangka untuk tujuan menyejahterakan rakyat. Dan dialog ekonomi seperti ini menjadi penting untuk dikedepankan.
Wallahu a’lam bi al shawab.