KEKERASAN SOSIAL AKIBAT PILKADA
Jika kita mencermati pemberitaan di televisi, surat kabar atau radio, maka akan kita dapati hampIr setiap hari terjadi demonstrasi di negeri ini. Penyebabnya sangat variatif. Ada yang karena faktor politik, misalnya pilkada, pilkades, mutasi jabatan dan sebagainya. Ada juga yang disebabkan karena faktor ekonomi, seperti pemutusan hubungan kerja, pengupahan yang terlambat, keterbatasan lapangan pekerjaan dan sebagainya. Kemudian, dari sisi sosial misalnya tentang hubungan antar warga yang renggang, perkelahian antar desa, antar suku, dan sebagainya. Dan juga karena faktor agama, misalnya perbedaan faham agama, perbedaan keyakinan, dan bahkan perbedaan agama.
Tulisan ini secara khusus akan mencermati terhadap kekerasan social yang disebabkan karena faktor politik. Negeri ini memang menjadi negeri pilkada, sebab hampir setiap hari terjadi pilkada. Pada tahun 2010, kira-kira ada sebanyak 240 lebih pilkada. Jadi rata-rata satu setengah hari sekali terjadi pilkada. Dan sayangnya, bahwa pelaksanaan pilkada banyak yang diikuti dengan demontrasi yang cenderung menuju pada kekerasan sosial.
Kita tentu berbangga, sebab negeri ini sudah melaju jauh sebagai negara yang semakin demokratis. Dibandingkan dengan semasa Orde Baru, maka negeri ini memang semakin demokratis yang dibuktikan dengan semakin semaraknya pelaksanaan pilkada dari waktu ke waktu. Demokrasi langsung yang memang menjadi ikon demokrasi, memang sudah kita laksanakan. Di mana-mana dilaksanakan pilkada secara langsung dan telah berhasil memilih pimpinan-pimpinan daerah. Terlepas dari kenyataan bahwa banyak pimpinan daerah yang bermasalah, kira-kira 150 pimpinan daerah yang sedang berurusan dengan hukum, akan tetapi yang jelas bahwa pimpinan daerah sudah bisa dipilih melalui pilihan langsung oleh rakyat.
Persoalan yang mendera masyarakat kita adalah banyaknya kekerasan sosial yang diakibatkan oleh pilkada ini. Mulai kekerasan yang dipicu oleh ketidaklolosan calon kepala daerah seperti di Mojokerto, sampai yang terjadi kekerasan sosial pasca pilkada, seperti kasus Sumatera Utara. Kerusuhan yang diakibatkan oleh pilkada bisa juga dipicu oleh dugaan ketidakjujuran dalam proses pelaksanaan pilkada.
Kekerasan sosial yang diakibatkan oleh pilkada, hakikatnya dipicu oleh belum siapnya mental masyarakat untuk melakukan pilihan langsung dalam pilkada. Dalam kasus calon yang kalah, maka yang dilakukan adalah dengan melakukan repressi terhadap pemenang dan juga penegak hukum yang menangani pilkada. Berbagai demonstrasi yang digalang pasca pilkada tentu saja dipicu oleh ketidakpuasan terhadap hasil pilkada. Yang ironis adalah demonstrasi yang anarkhis. Demonstrasi tersebut tidak hanya sekedar meluapkan gagasan dan pikiran melalui unjuk rasa, akan tetapi melalui kekerasan fisik dan bahkan merusak apa saja yang ada di dekatnya. Bisa toko, rumah, mobil dan fasilitas umum.
Yang saya sebut sebagai ketidaksiapan mental adalah ketidaksiapan masyarakat untuk menerima kekalahan dan perilaku masyarakat untuk menggunakan berbagai cara untuk memenangkan kontestasi. Sebagai contoh tindakan menghalalkan secara cara itu adalah melalui politik uang dan abuse of power. Dalam kasus pilkada di Surabaya dan Gresik, maka ada dugaan melakukan politik uang dan abuse power tersebut. Akibatnya, yang kalah lalu melakukan tindakan hukum melalui Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga pilkada tersebut harus diulang. Ada yang diputuskan penghitungan ulang dan ada yang memang harus diulang pelaksanaan pilkadanya.
Jika ditelusuri secara mendalam, maka yang sesungguhnya menjadi problem dari kerusuhan yang diakibatkan pilkada adalah proses pilkada yang belum menjamin demokrasi berjalan di atas relnya. Yang saya maksudkan adalah pilkada yang jujur dan transparan, akuntabel dan berkeadilan. Semua calon harus memegang komitmen untuk melakukan tindakan yang jujur di dalam pilkada. Ada fakta integritas tentang pilkada jujur, adil, langsung dan bebas rahasia.
Fakta integritas tentu bukan hanya di atas kertas, akan tetapi menjadi moralitas di dalam proses pilkada. Hal ini pun sudah dilakukan, seperti pilkada di Surabaya. Akan tetapi dugaan-dugaan kecurangan dalam pilkada juga tetap terjadi. Dan akibatnya, pilkada ini harus diulang berdasarkan atas keputusan MK.
Kiranya, memang diperlukan pendewasaan semua pihak agar kerusuhan sosial di dalam pelaksanaan pilkada bisa menjadi tonggak demokrasi yang prospektif di masa yang akan datang. Politik uang dan abuse of power yang sering menjadi masalah di dalam pilkada tentu bisa menjadi catatan yang menyedihkan di dalam pelaksanaan pilkada.
Jadi, demokrasi akan dapat menjadi instrumen yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara jika semua elemen penyelenggara demokrasi tersebut melakukannya sesuai dengan etika politik yang menjadi dasar pelaksanaan pilkada. Tanpa ini, demokrasi yang dibangun dengan susah payah juga hanya akan menjadi quasi demokrasi atau demokrasi seolah-olah.
Wallahu a’lam bi al shawab.