• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KEKERASAN AGAMA

Ada perubahan sosiologis yang sangat mendasar di masyarakat kita akhir-akhir ini. Masyarakat Indonesia di masa lalu, dikenal sebagai masyarakat yang guyub atau memiliki ikatan kebersamaan yang sangat tinggi. Tentang sikap hidup masyarakat Indonesia yang seperti itu sudah sangat dikenal,  tidak hanya oleh masyarakat Indonesia sendiri,  akan tetapi juga masyarakat luar. Bukankah  masyarakat Indonesia dikenal sebagai  masyarakat yang mengedepankan kerukunan, harmoni dan keselamatan.

Filsafat hidup orang Indonesia ini, bahkan mendapatkan apresiasi yang sangat mendalam oleh ahli  filsafat kebudayaan, Franz Magnis Suseno. Menurutnya bahwa sikap hidup ini diwujudkan dalam tindakan-tindakan membangun kerukunan di antara semua warga masyarakat, membangun harmoni bagi seluruh masyarakat dan kemudian juga membangun keselamatan bagi semua warga masyarakat.

Sebagai perwujudan kerukunan, harmoni dan keselamatan tersebut, maka masyarakat mengembangkan konsep sambatan, kerjabakti, gugur gunung dan sebagainya. Tindakan kebersamaan ini masih terus berjalan hingga sekarang, meskipun kuantitas dan kualitasnya mulai menurun.  Misalnya jika ada warga masyarakat yang mendirikan rumah, maka mereka melakukan sambatan untuk bekerja bersama. Demikian pula jika ada pekerjaan yang mesti dilakukan bersama-sama, maka mereka melakukannya secara bersama-sama pula. Misalnya ketika mereka membersihkan makam, jalan, atau fasilitas umum lainnya.

Namun demikian, sikap dan tindakan ini menjadi berkurang ketika mereka memasuki ranah sistem baru dalam sistem relasi antar masyarakat. Sistem upah yang terjadi di era sistem ekonomi berbasis kebutuhan, maka menyebabkan terjadinya pasang surut sistem relasi berbasis kebersamaan. Kerukunan bisa terkoyak oleh keinginan yang tidak tertahankan dari  sekelompok orang dan seringkali  menjadi varabel mengapa sering terjadi kekerasan sosial di antara masyarakat.

Salah satu peristiwa yang sering memicu kekerasan adalah masalah ekonomi dan agama. Tesis selama ini memang menyatakan bahwa kekerasan agama tidaklah berdiri sendiri, akan tetapi dipicu oleh variable-variabel lain. Bahkan juga dinyatakan kekerasan tersebut hanyalah nuansanya saja. Secara teoretik memang banyak kekerasan sosial yang bernuansa agama.

Makanya, saya juga sering menulis bahwa kekerasan agama sesungguhnya dipicu factor  sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Namun demikian, melihat beberapa kasus kekerasan agama akhir-akhir ini, maka saya melihat bahwa tesis tentang kekerasan sosial bernuansa agama, rasanya memang harus direvisi. Bukan sebuah proses falsifikasi, akan tetapi sekedar verifikasi, sebab memang dapat dijumpai beberapa kasus kekerasan yang memang dipicu oleh faktor keyakinan agama.

Salah satu yang bisa dijadikan sebagai justifikasi tentang kekerasan yang dipicu oleh faktor agama adalah kasus Ahmadiyah. Kasus Ahmadiyah memang menjadi persoalan yang selalu tidak selesai. Ahmadiyah memang dianggap menyimpang dari arus utama ajaran Islam. Hal ini disebabkan oleh keyakinan di dalam ajaran teologis Ahmadiyah yang menganggap bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi terakhir. Kepercayaan teologis ini memicu penolakan terhadap ajaran agama ini.

Sebagaimana diketahui bahwa di dalam konsepsi Islam dalam arus utama, maka nabi dan rasul terakhir adalah Muhammad saw. Tidak ada lagi nabi dan rasul setelah itu. Di dalam Islam dikenal hanya para mujaddid atau para pembaharu dalam penafsiran agama. Keyakinan seperti ini, yang kemudian memicu adanya berbagai penolakan masyarakat terhadap ajaran Ahmadiyah. Tidak terkecuali juga yang terjadi akhir-akhir ini.

Akhir-akhir ini,  terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh warga untuk menolak pembangunan aula di sekitar Masjid Ahmadiyah di Ciampea Bogor (tvone, Kabar Pagi, 13/07/2010). Pembangunan aula masjid ini memang meresahkan warga masyarakat.  Ajaran Ahmadiyah tetap dianggap menganggu terhadap keyakinan umat Islam pada umumnya. Makanya, ketika Ahmadiyah tetap menjalankan aktivitas keagamaannya, bahkan mendirikan tempat untuk pendalaman ajaran Ahmadiyah, maka warga masyarakat menjadi resah.

Penolakan warga masyarakat terhadap pembangunan aula masjid Ahmadiyah ini hampir saja menyebabkan kekerasan sosial. Hanya karena ratusan polisi mengawal demonstrasi ini, maka kekerasan sosial tersebut tidaklah terjadi. Dan sebagai penyelesaiannya, maka pembangunan ini tidak bisa diteruskan. Kesigapan aparat dalam mengawal masalah ini memang sangat tepat.

Kiranya yang memang diperlukan adalah kajian yang lebih mendalam untuk memahami kekerasan agama seperti ini. Artinya, bahwa kekerasan ini bukanlah kekerasan sosial bernuansa agama, akan tetapi secara hipotetik bisa dinyatakan memang kekerasan agama.

Oleh karena itu, memang dibutuhkan kajian yang mendalam tentang faktor pendorong kekerasan agama ini, sehingga kita bisa membuat solusi yang lebih memadai terhadap persoalan keyakinan Ahmadiyah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini