ISRA’DAN MI’RAJ: MERAJUT KESAMAAN DOKTRIN TEOLOGIS
Di antara sekian banyak peristiwa kenabian, maka yang sangat monumental adalah peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Disebut sebagai peristiwa monumental sebab melalui perisiwa ini, maka Nabi Muhammad saw memperoleh perintah langsung mengenai kewajiban melakukan shalat bagi umatnya. Ibarat relasi bawahan dan atasan dalam dunia birokrasi, maka ketika seseorang diperintah untuk menghadap atasan dalam suatu perintah langsung, maka hal itu menandakan bahwa perintah itu begitu urgen. Jadi perintah tentang shalat yang didengar sendiri oleh Nabi Muhammad saw tentu juga menandakan bahwa shalat adalah ibadah yang sangat penting.
Isra’ secara maknawiyan adalah perjalanan Nabi Muhammad saw dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Yerusalem. Perjalanan ini tentu sangat jauh dalam ukuran perjalanan kala itu. Jarak antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha adalah 1233 Km. Artinya, menurut nalar manusia ketika itu, maka tidak mungkin Nabi Muhammad saw bisa melakukan perjalanan pulang balik hanya semalam dalam jarak tempuh seperti itu. Sebab satu-satunya kendaraan kala itu hanyalah unta dengan kemampuan jarak tempuh yang sangat terbatas.
Di saat itulah, maka ada orang yang langsung percaya kepada cerita Nabi Muhammad saw dan ada yang menolak dan bahkan melecehkannya. Di antara yang langsung percaya adalah Abu Bakar RA. Makanya beliau mendapat julukan sebagai Abu Bakar as Siddiq karena tingkat kepercayaannya kepada apa yang dinyatakan Nabi Muhammad saw tersebut sedemikian tinggi. Tentu saja cerita tentang Nabi Muhammad saw ke Masjidil Aqsha tersebut menjadi bahan cibiran dan ejekan dari penduduk Makkah yang kafir. Bahkan dianggap sebagai khayalan dan kegilaan.
Di dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj, sesungguhnya terdapat suatu simbol yang menarik untuk dicermati. Yaitu bagaimana Nabi Muhammad saw memperoleh perintah langsung untuk melaksanakan shalat. Dan kemudian Nabi Muhammad saw menjadi imam shalat dari seluruh Nabiyullah. Bagaimana Nabi Muhammad saw menjadi imam shalat, tentu adalah sebuah lambang bahwa sebenarnya ada universalitas agama-agama dalam ritual dan juga universalitas teologis agama-agama yang dirajut di dalam peristiwa mi’raj.
Universalitas ritual itu tentu tidak bisa digambarkan secara visual, misalnya shalatnya seperti yang kita kenal sekarang atau sama dengan shalat yang sekarang kita kenal. Akan tetapi yang sangat penting, bahwa pastilah ada kesamaan hakikat shalat yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dengan nabi-nabi lainnya. Sebab tidak mungkin ada imam shalat yang berbeda dengan ma’mumnya. Gerakan imam dan ma’mum pasti sama.
Demikian pula kesamaan teologis. Artinya bahwa terdapat kesamaan nama dan hakikat Tuhan di dalam peristiwa mi’raj. Kesamaan teologis tersebut diperoleh dari peristiwa kebersamaan di dalam peribadahan yang dilakukan oleh semua Nabiyullah. Doktrin kesamaan teologis tersebut terletak di dalam sistem peribadahan yang dilakukan secara bersama-sama.
Di dalam perbincangan filsafat, maka dikenal filsafat perenial, yaitu suatu cabang filsafat yang mengkaji tentang kesamaan doktrin kebenaran agama-agama. Konsep kesamaan tersebut adalah melalui konsep dien, yaitu berpangkal pada kalimat la ilaha illallah. Tidak ada Tuhan selain Allah. Jadi Dien tidak memiliki sekat ruang dan waktu. Al-dien al hanifah adalah agama Nabi-Nabi. Bukan hanya agama Nabi Isa As, Muhammad Saw, dalam konstruksi manusia pemeluknya. Seperti agama Kristen dalam konstruksi pemeluknya atau agama Islam dalam konstruksi penganutnya. Ibarat sebuah pohon, maka akarnya yang menghunjam ke bumi adalah kalimat La ilaha illallah, dan kemudian membentuk cabangnya masing-masing dalam ruang dan waktu yang ditransformasikan melalui Nabi-Nabi dan kemudian dikonstruksikan oleh umat Nabi-Nabi sehingga terjadi seperti sekarang.
Melalui peristiwa Isra’ dan Mi’raj, sesungguhnya manusia diingatkan kembali akan doktrin kesamaan teologis agama-agama dan bahkan kesamaan ritual agama-agama. Jika kemudian hingga sekarang tetap seperti itu, maka sesungguhnya hal ini adalah hasil konstruksi manusia tentang agamanya. Sehingga yang Islam memiliki teologinya sendiri, yang Kristen memiliki teologinya sendiri dan sebagainya.
Namun karena agama sudah menjadi sejarah, maka kita tetap harus menghargai diversitas tersebut sambil harus tetap menjadi koeksistensinya masing-masing. Ketika agama sudah menyejarah, maka agama sudah dengan darah dan daging. Agama telah menjadi bagian kehidupan manusia.
Maka ketika agama sudah menjadi seperti itu, maka yang tersisa adalah penafsiran tentang agamanya sendiri dan membenarkan agamanya sendiri. Inilah yang di dalam konsepsi Peter L Berger dinyatakan bahwa agama adalah hasil konstruksi manusia tentang agama. Jadi, Islam dewasa ini adalah hasil konstruksi umat tentang agama yang diajarkan oleh Muhammad Saw. Demikian pula agama Kristen juga merupakan hasil konstruksi umatnya tentang agamanya itu.
Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana menghargai keyakinan orang lain, sambil tetap terus menjalankan agama yang diyakini kebenarannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.