TANGGUNGJAWAB MELESTARIKAN LINGKUNGAN
Dalam acara sosialisasi Program Eco-Pesantren yang diselenggarakan atas kerja sama antara Kementerian Lingkungan Hidup dengan Universitas Trunojoyo yang diselenggarakan di Hotel Utami Sekar, Sumenep, 08/07/2010, menyisakan persoalan yang belum secara tuntas dapat dijawab. Ada sebuah pertnyaan yang disampaikan oleh Ketua PCNU Sumenep, Panji Taufiq, bahwa pemeliharaan lingkungan tidak hanya bisa dibebankan kepada masyarakat khususnya pesantren, sebab perusak lingkungan adalah para pemilik modal besar, misalnya Lumpur Lapindo yang disebabkan oleh pengeboran gas bawah tanah oleh Aburizal Bakri. Kenyataannya, bahwa pemerintah juga tidak cukup kuat untuk menyelesaikan problem kerusakan lingkungan tersebut. Termasuk juga illegal logging yang kebanyakan didanai oleh kaum konglomerat.
Pertanyaan ini sungguh sulit dijawab sebab menyangkut sekian banyak variable yang saling berkait kelindan. Di antara variable tersebut adalah kebijakan politik yang memang tidak bisa diselesaikan secara sederhana. Kebijakan politik tersebut melibatkan sejumlah variable lain, misalnya partai politik, anggota DPR dan sebagainya. Di tengah rejim partai politik dan DPR, maka peran pemerintah tidak lagi powerfull. Jika di masa lalu, parpol dan DPR hanyalah asesori dalam demokrasi-otoritarianisme, maka di era sekarang ternyata pemerintah tidak lagi memiliki sejumlah kekuatan yang diperlukan untuk menegakkan aturan perundang-undangan.
Dalam kasus kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh illegal logging dan lumpur Lapindo, maka pemerintah tidaklah memiliki sejumlah otoritas untuk menyelesaikannya. Semua orang tahu bahwa dibalik lumpur Lapindo terdapat Aburizal Bakri yang secara politis sangat powerfull. Bukankah ia adalah pengusaha dan sekaligus penguasa partai politik besar di Indonesia, partai Golkar. Melalui gerbong partai politiknya dan kekuatan uangnya, tentu Aburizal Bakri bisa memainkan strategi politik yang jitu, jika kekuasaan pemerintahan tidak “berselaras” dengan keinginan politiknya.
Bahkan melalui sekretariat bersama yang menghimpun kekuatan Partai Demokrat dengan Partai Golkar juga menunjukkan betapa daya bargaining politik Aburizal Bakri yang sangat kuat. Partai Demokrat yang mayoritas pun harus mempertimbangkan kekuatan bargaining politik Golkar tersebut. Hal ini tentu terkait dengan menumpuknya otoritas yang ada di dalam diri Aburizal Bakri, yaitu uang, politik dan massa setianya. Kebijakan ekonomi-politik seperti ini yang sangat sulit diselesaikan selevel menteri sekalipun. Makanya, jika hingga hari ini Kementerian Lingkungan Hidup belum bisa berbuat banyak menghadapi realitas illegal logging.
Di tengah ketidakmampuan untuk menyelesaikan problem kelas kakap seperti ini, maka pilihan Kementerian Lingkungan Hidup adalah mengajak masyarakat, khususnya dunia pesantren untuk bekerja bersama-sama dalam penyadaran akan betapa pentingnya melestarikan lingkungan. Hingga hari ini masih asumsi bahwa kyai adalah patron bagi masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan yang dianggap penting.
Di tengah budaya patron-klien seperti itu, maka menjadikan pesantren sebagai basis pelestarian lingkungan hidup adalah langkah yang cerdas. Artinya, bahwa jika para Kyai telah memiliki kesadaran untuk pemeliharaan dan pelestarian lingkungan, maka masyarakat secara pasti akan mengikutinya. Beberapa uji coba dan berhasil yang dilakukan oleh Kyai untuk menjadikan tinja sebagai biogas, pupuk kandang menjadi kompos atau pupuk organic, limbah pembalut wanita menjadi keset, program penghijuan melalui pesantren dan sebagainya adalah contoh betapa pesantren melalui konsep inovasinya ternyata berhasil.
Jika pengalaman seperti ini bisa ditularkan kepada yang lain, maka kita tentu yakin bahwa pesantren akan menjadi motor bagi pelestarian dan pemeliharaan lingkungan. Memang gerakan yang dilakukan ini hanya berskala mikro. Akan tetapi perubahan adakalanya memang harus dilakukan dari yang kecil dan terus menggelinding menjadi besar.
Peran pesantren adalah perubahan mikro yang jika dilakukan secara masal tentu akan menjadi besar. Jadi pesantren tidak hanya berhalaqah tetapi juga berharakah.
Wallahu a’lam bi al shawab.