TKI: MASALAH YANG SULIT DIURAI
Seperti diketahui bahwa keberadaan TKI di negeri asing memiliki dua sisi yang kompleks. Bagi Indonesia, keberadaan TKI tentu menguntungkan pemerintah sebab dapat memberikan akses bagi tenaga kerja Indonesia yang tidak mampu ditampung oleh peluang kerja di Indonesia, dan di sisi lain juga memberikan masukan devisa bagi negara Indonesia. Jumlah TKI di luar negeri yang mencapai jutaan orang tentu dapat menghasilkan devisa bagi negara Indonesia. Bagi luar negeri (penerima TKI) juga memperoleh keuntungan yaitu ketersediaan tenaga kerja murah dan melimpah sehingga bisa menekan pembiayaan pembangunan, tetapi disisi lain juga menjadi penyebab masalah sosial yang kompleks. Problem yang sangat mendasar antara lain adalah banyaknya ketidakteraturan sosial, slum area dan juga masalah sosial lain.
Dilihat dari relasi antar negara, maka permasalahan TKI di Malaysia merupakan masalah yang sangat kompleks. Dari sudut ekonomi maka bisa dilihat dua pasar tenaga kerja. Yang terbesar mencakup TKI Indonesia yang masuk ke Malaysia secara legal. Mengenai jumlahnya tidak ada angka yang tepat. Mungkin sekitar 1,5 sampai 2 juta orang. Pasar kedua adalah pasar TKI Indonesia yang “ilegal”. Jumlahnya tentu tidak ada kepastian, tetapi jumlahnya kira-kira 700-800.000 orang. Kehadiran mereka tentu membawa masalah. Di antara masalah yang mencuat, seperti deportasi, perlakuan tidak manusiawi, eksploitasi, kekerasan kerja, kekerasan seksual, pengupahan dan sebagainya, yang dalam banyak hal bersumber dari TKI ilegal tersebut.
Pasar TKI ilegal juga cukup besar dan pasti ada permintaan dari para majikan di Malaysia. Di sisi lain, penawaran dari penduduk Indonesia yang miskin dan yang putus asa untuk mencari pekerjaan di dalam negeri juga mendukungnya.
Memang Malaysia sendiri sudah memiliki peraturan perundang-undangan yang menyangkut tenaga kerja ilegal. Menurut undang-undang di Malaysia majikan yang melanggar hukum dengan mempekerjakan TKI illegal, akan terancam hukuman. Namun demikian aturan ini tidak diberlakukan secara tegas. Selama Pemerintah Malaysia tidak bisa atau tidak mau bertindak tegas terhadap majikan Malaysia yang mempekerjakan TKI ilegal, maka pasti kehadiran TKI ilegal akan berjalan terus. Sedangkan juga diketahui bahwa kemampuan Pemerintah Indonesia untuk membendung penyelundupan TKI di tapal batas juga diragukan. Jadi artinya bahwa sangat sulit untuk membendung arus pergerakan TKI ini ke luar negeri, baik yang legal maupun yang ilegal. Dalam hal ini, jika menggunakan teori struktural fugsionalnya Robert King Merton, maka sebuah institusi sosial akan tetap lestari keberadaannya jika tetap ada yang menggunakannnya. Maka, agar TKI ilegal tersebut tidak terus berlanjut, maka harus ada ketegasan bahwa mereka ditolak atau tidak digunakan. Pasar tenaga kerja Indonesia Ilegal inilah yang kebanyakan sering membuat problem secara khusus dalam hubungan antara Indonesia dan Malaysia. Jumlah mereka yang mencapai ratusan ribu sering terkait dengan masalah-masalah sosial di Malaysia, sehingga juga sering mendapat tudingan bahwa 50% penghuni Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan di Malaysia adalah para pekerja Indonesia yang berstatus sebagai tenaga kerja ilegal. Dalam hubungan antar negara sebenarnya ada posisi yang diuntungkan anatara pemasok tenaga kerja dan pemakai tenaga kerja.
Hanya saja jika kemudian dalam relasi tersebut terdapat ketidakseimbangan, maka akan terjadi masalah yang jauh lebih serius. Berbagai kasus tentang kekerasan fisik yang dilakukan terhadap para TKW, kekerasan seksual yang dialami oleh para TKW dan over time bekerja yang dialami oleh TKW tentunya akan menjadi masalah yang tidak mudah diselesaikan. Apalagi bahwa mereka bekerja di ruang tertutup dengan akses yang sangat terbatas. Jika terjadi hal seperti itu, maka dapat dipastikan bahwa mereka tidak akan dapat melapor kepada siapapun. Kasus PRT yang terjun dari lantai ke lantai dengan menggunakan kain yang diikat-ikat adalah contoh betapa tidak mudahnya mereka memberikan informasi tentang keadaan dirinya kepada orang lain.
Jika dilihat dari faktor ini, maka sesungguhnya yang diperlukan adalah bagaimana antara pemerintah Indonesia dan Malaysia melakukan law enforcement dalam kerangka untuk melindungi masyarakat dari tindakan melawan hukum. Jika para TKI legal kemungkinan akan bisa memperoleh jaminan hukum dari pemerintah melalui PJTKI yang mempekerjakannya, maka akan menjadi sulit bagi para TKI ilegal. Mengamati data tentang banyaknya kematian TKI di Malaysia dan berbagai kekerasan yang diterimanya, maka akan muncul dugaan yang sangat kuat bahwa di antara mereka yang paling banyak adalah para TKI ilegal.
Jika seperti ini, maka yang diperlukan oleh pemerintah –terutama Depnaker—adalah membuat relasi seimbang antara PJTKI, TKI dan pemerintah, baik Indonesia maupun Malaysia agar membangun basis ketaatan hukum. Bagi user TKI yang melakukan kekerasan, maka harus diperlakukan aturan yang tegas dan demikian pula para TKI ilegal yang memang menyalahi aturan juga harus diperlakukan aturan yang tegas. Dan sisi lain, maka pemerintah harus melakukan sosialisasi tentang secara menyeluruh tentang penanganan TKI agar tidak melakukan kesalahan di negeri orang. Pemerintah perlu melakukan pemetaan terhadap asal muasal TKI, terutama yang ilegal dan dengan demikian akan dapat diketahui secara pasti tentang mereka. Dengan cara seperti ini, maka ssosialisasi, komunkasi dan edukasi akan dapat dilakukan tepat guna.
Wallahu a’lam bi al-shawab.