PESANTREN EXPO: MENGGELAR PRODUK PESANTREN
Dari serangkaian acara yang digelar di dalam Pekan Olahraga dan Seni Pondok Pesantren Nasional (Pospenas) V di Surabaya, maka salah satu acara yang juga sangat prospektif adalah Pesantren Expo yang diselenggarakan di Gramedia Expo Surabaya. Acara ini diiikuti oleh sebanyak 90 stand terdiri dari instansi pemerintah, pesantren dan juga lembaga pendidikan baik di lingkungan Kementerian Pendidikan maupun Kementerian Agama. Acara ini semestinya akan dibuka oleh Menteri Agama, H. Surya Dharma Ali, 07/07/2010, akan tetapi bersamaan dengan ada rapat koordinasi dengan Wakil Presiden di Jakarta, maka acara dibuka oleh Direktur Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama, Prof. Dr. Mohammad Ali, MA.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Panitia Pelaksana Pesantren Expo, Konsorsium Pesantren Indonesia (KPI), Amrullah Wiryaatmaja, bahwa acara ini diselenggarakan secara rutin dan sudah digelar yang ketiga kalinya. Acara ini didukung oleh sejumlah kementerian, seperti Kemenag, Kemendag, kemenbudpar, Kemendiknas, Kemenkokesra, kantor Pemprof dan juga sejumlah pendukung acara ini.
Pesantren Expo, mungkin satu fenomena yang nyaris tidak terdengar di tengah gemerlap pemberitaan yang terjadi akhir-akhir ini. Ketika semua pemberitaan tentang sepakbola, kasus video mesum dan kekerasan yang terjadi di berbagai daerah sebagai akibat konflik pilkada, maka kehadiran pesantren expo adalah sebagai penawar atau alternative lain tentang kegiatan positif yang berbasis pesantren.
Pesantren sesungguhnya memiliki sejumlah keunikan dan kehebatan. Hanya saja keunikan dan kehebatan itu tidak ditonjolkan karena akhlak pesantren yang tidak harus menonjolkan prestasi yang dihasilkannya. Ada banyak prestasi pesantren dalam berbagai bidang. Misalnya prestasi pendidikan, kemanusiaan, dan pelestarian tradisi yang tidak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
Mungkin tidak bisa dihitung dengan jari jumlah pemimpin bangsa dalam berbagai levelnya yang hadir dari dunia pesantren. Ada yang menjadi presiden, KH. Abdurrahman Wahid, adalah alumni pesantren Tebuireng, sejumlah menteri, seperti KH. Tholhah Hasan, KH. Said Agil Siraj, sejumlah pimpinan organisasi social keagamaan, seperti KH. Hasyim Muzadi dan Dien Syamsudin adalah alumni Pondok Pesantren Gontor Ponorogo, KH. Said Aqil Siradj adalah alumni pesantren Lirboyo dan sebagainya. Selain itu juga ada sejumlah orang yang mengbadi di dunia usaha, dosen, dan politisi.
Di dalam dunia koperasi, maka pesantren telah menorehkan sejarah melalui Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) Sidogiri. Kopontren ini telah menjadi koperasi percontohan tidak hanya di dunia pesantren tetapi juga lainnya. Melalui koperasi yang digunakan untuk keluarga pesantren, maka kini telah menjadi koperasi dengan jangkaun yang lebih luas. Bahkan dananya sudah mencapai milyaran rupiah.
Pesantren ternyata juga tidak hanya menghasilkan alumni yang memahami ilmu agama saja. Akan tetapi juga bidang kajian umum yang relevan dengan kebutuhan masyarakat dan pasar kerja. Beberapa pesantren bahkan mengembangkan kajian dan praksis yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Ada yang mengembangkan agrobisnis, peternakan, perkebunan dan juga lainnya. Semua ini menggambarkan bahwa asumsi sementara orang yang menganggap dunia pesantren hanya berususan dengan akherat menjadi terbantahkan.
Melalui pesantren expo, maka dapat diketahui produk apa saja yang dihasilkan oleh pondok pesantren. Ada produk pakaian, asesori, kaligrafi, lukisan dan sebagainya. Produk pesantren yang beranekaragam tersebut dalam banyak hal memperoleh bantuan teknis dari Dinas Perindustrian.
Namun demikian, di antara kendala yang mendasar tentang pengembangan produk pesantren adalah mengenai pemasaran, permodalan dan pengembangan desain produk. Oleh karena pengembangan produk usaha pondok pesantren juga harus memperhatikan terhadap kebutuhan pondok pesantren dalam pengembangan produk usahanya.
Pesantren di masa lalu menghasilkan orang-orang yang mandiri. Pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan yang menghasilkan manusia yang tidak tergantung kepada pemerintah di dalam memasuki dunia kerja. Kebanyakan santri justru akan menjadi wirausahawan atau pekerjaan lain non governmental employment.
Jika kita ingin mengembalikan fungsi pesantren seperti itu, maka tidak ada lain kecuali harus menggenjot kembali pesantren sebagai proses mendidik manusia mandiri dalam berusaha. Pesantren harus mengembalikan jatidirinya sebagai lembaga pendidikan pesantren wirausaha.
Wallahu a’lam bi al shawab.