• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

POSPENAS: SANTRI PUN BEREBUT PRESTASI

Meskipun Islam sangat menganjurkan agar umatnya sehat dan kuat, sebagaimana di zaman Nabi Muhammad saw, bahwa seseorang harus belajar memanah, menunggang kuda, berenang dan sebagainya sebagai lambang olahraga dan menulis puisi sebagai lambang seni, akan tetapi dunia pesantren selama ini belum secara mendasar menjadikan olahraga dan seni sebagai mainstream dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Pesantren lebih banyak berkutat dengan pembelajaran agama dan umum ketimbang bermain olahraga dan seni untuk mencapai prestasi yang tinggi.

Olahraga dan seni sebagai aktivitas yang sangat profane jarang memperoleh sentuhan maksimal di dunia pesantren. Akan tetapi beberapa tahun terakhir ini, dunia santri banyak dibicarakan terkait dengan acara pekan olahraga dan seni yang dilakukan secara nasional, dua tahunan.  Jika di masa awal mungkin hanya digagas sebagai ajang untuk silaturrahmi antar santri seluruh Indonesia, maka sekarang sudah memasuki dunia kompetisi yang sebenarnya. Ada kalah, ada menang dan ada prestasi. Dan yang pasti juga kemenangan bisa menjadi gengsi pemerintah daerah.

Pekan Olahraga dan Seni Antar Pondok Pesantren Tingkat Nasional (POSPENAS) V tahun 2010 kali ini dilaksanakan di Surabaya. Jawa Timur memang dipercaya untuk menjadi panitia pelaksana Pospenas yang kelima tahun 2010 dengan memperebutkan 12 cabang olahraga dan 9 cabang seni. Selain olahraga dan seni juga dilaksanakan kegiatan bahtsul masail dan sarasehan. Acara bahstul masail dilaksanakan bekerja sama dengan PP Rabithah Maahid  PBNU dan Sarasehan dilaksanakan di IAIN Sunan Ampel. Acara pembukaannya dilaksanakan di GOR Sidoarjo dan dibuka oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof. Dr. Boediono.

Sesungguhnya, acara Pospenas tidak hanya sekedar untuk melihat seberapa besar prestasi santri terkait dengan olahraga dan seni, akan tetapi juga terkait dengan acara silaturrahmi antar santri pondok pesantren. Akan tetapi sebagaimana acara pekan olahraga dan seni di berbagai event kompetisi, maka di dalam hal ini juga mempertaruhkan gengsi daerah. Itulah sebabnya, nuansa pertandingan juga sangat tampak di dalam acara yang hakikatnya adalah pekan silaturrahmi ini.

Gengsi daerah itu juga terlihat dari jumlah peserta santri yang diikutkan dalam acara ini, defile peserta dengan beranekaragam pakaian yang menggambarkan tradisi daerahnya masing-masing. Selain itu juga terdapat intervensi pemerintah daerah dalam menentukan keikutsertaan peserta  yang sangat mengedepan. Jika diperhatikan, maka di dalam defile atau parade hampir tidak ada bedanya antara pekan olahraga dan seni kaum santri dengan pekan olahraga lainnya.

Sama dengan acara kompetisi lain, seperti Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), maka acara ini juga mempertaruhkan prestasi daerah. Maka menjadi layak juga bahwa setiap daerah lalu mengirimkan sejumlah peserta yang dianggap paling berprestasi di daerahnya. Itulah sebabnya, juga terdapat nuansa untuk melakukan tindakan yang kurang sportif, misalnya yang dikirim bukan santri dalam pengertian yang sesungguhnya. Meskipun ini hanya sejauh dugaan, akan tetapi tentu harus menjadi perhatian semuanya.

Sesungguhnya, pertanyaan yang paling mendasar adalah  what next?  Untuk apa santri berkompetisi di bidang olahraga dan seni ini. Adakah relevansinya dengan kebutuhan berprestasi bagi pengembangan olahraga dan seni yang lebih luas. Pertanyaan ini perlu diungkapkan agar kemudian menjadi dasar pemikiran yang lebih mendasar tentang urgensi pekan olahraga dan seni ini bagi para santri.

Dunia pesantren memang sudah terbuka. Dan sebagaimana ungkapan Zamakhsyari Dhofier, bahwa dunia pesantren sudah sangat berubah. Kemudian juga sebagaimana ungkapan Karel Steenbrink, bahwa  perubahan itu dimulai dari mendirikan madrasah dan kemudian sekolah. Maka jika sekarang pesantren memasuki juga kawasan olahraga dan seni, maka hal ini tentu bukan hal yang aneh. Dunia santri telah mengalami metamorphosis yang sangat menonjol dewasa ini. Maka akibatnya, dunia santri juga sudah mengadopsi perubahan-perubahan.

Kompetisi olahraga dan seni memang penting. Akan tetapi yang jauh lebib urgen adalah sebagai ukuran pembinaan olahraga dan seni di kalangan pesantren. Ketika terdapat sejumlah santri yang dilibatkan untuk ikut berkompetisi dalam olahraga dan seni, maka yang masih menyisakan pertanyaan adalah apakah santri tersebut dibina oleh pesantrennya atau oleh institusi lainnya. Jika mereka berprestasi disebabkan oleh intervensi lainnya, maka tentunya bisa dinyatakan bahwa Pospenas bukanlah prestasi pesantren akan tetapi prestasi yang lain.

Itulah sebabnya menurut saya bahwa di dalam pekan olahraga dan seni ini, maka yang perlu memperoleh sentuhan ke depan adalah bagaimana pembinaan olahraga dan seni di kalangan pesantren ditingkatkan. Dalam contoh yang sederhana adalah dilakukannya kompetisi olahraga dan seni secara bertingkat-tingkat. Dimulai di tingkat pesantren, kemudian ke tingkat daerah kabupaten/kota, ke tingkat propinsi dan nasional.  Tentu saja masing-masing pesantren juga memperoleh anggaran pembinaan olahraga dan seni, dan kemudian secara terstruktur menyelenggarakan pembinaan dimaksud.

Dengan demikian, acara ini bukan sekedar acara mempertaruhkan gengsi daerah yang  karikaturis, akan tetapi benar-benar menjadi ajang pembuktian pembinaan olahraga dan seni di kalangan santri yang sesungguhnya.

Jadi, pekan olahraga dan seni memang diperlukan sejauh hal tersebut bisa sebagai ajang pembinaan olahraga dan seni yang bernilai futuristik.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini