TRIPLE GREEN: THE GREEN HOMELESSNESS
Di dalam penandatangan MoU antara Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Ir. H. Helmy Faisal Zaini dengan Rektor IAIN Sunan Ampel, Prof. Dr. H. Nur Syam, MSi, 03/07/2010 di Ruang Rektorat IAIN Sunan Ampel, maka disepakati bahwa selain The Green Agent dan The Green Boarding, maka juga digagas untuk membangun pondok kaum gelandangan atau The Green Homelessness. Program ini tentu sangat strategis di tengah semakin banyaknya kaum gelandangan yang berada khususnya di kota-kota besar.
Berdasarkan laporan Harian Kompas, 13/02/2010, maka dinyatakan bahwa masih terdapat sebanyak 12.000 lebih kaum gelandangan yang terdapat di Jakarta. Mereka ini adalah para pemusik jalanan, pengemis, pedagang asongan, dan anak-anak jalanan. Mereka ini dapat dikategorikan sebagai orang yang mengais rezeki di jalan-jalan Jakarta. Mereka kebanyakan bertempat tinggal di bantaran sungai, kolong jembatan, dan wilayah slum area lainnya.
Meraka adalah kaum pendatang yang tidak memiliki skill untuk hidup di perkotaan, sehingga ketika sampai di kota besar lalu mengais rezeki sekenanya. Ada di antaranya yang menjadi pengemis, menjadi pengamen dan bahkan lebih baik jika menjadi pedagang asongan. Mereka berjualan di perempetan traffic light sambil menunggu pembeli atau orang yang member uang. Usianya sangat variatif tergantung kepada usia kedatangannya di kota-kota besar.
Yang paling rawan adalah ketika yang menjadi gelandangan itu anak-anak usia di bawah sepuluh tahun atau mereka yang seharusnya menjadi murid sekolah dasar. Anak-anak yang seharusnya berada di bangku pendidikan tersebut, akhirnya memilih menjadi anak jalanan karena factor ekonomi. Menurut Undang-Undang, seharusnya mereka diasuh oleh Negara. Akan tetapi karena keterbatasan sarana dan prasarana untuk mengasuh mereka, maka dengan terpaksa mereka harus teap menjadi anak jalanan atau anak gelandangan. Anak jalanan memang belum tentu sebagai akan gelandangan. Sebab yang disebut anak gelandangan adalah anak yang tidak memiliki rumah, sehingga terpaksa harus tidur di kolong-kolong jembatan, stasiun, terminal bus, emperen toko dan sebagainya.
Anak-anak gelandangan adalah mereka yang paling rawan terhadap tindakan kekerasan. Baik kekerasan fisik, psikhis atau bahkan pelecehan seksual. Kita tentu masih ingat terhadap kasus tindakan seksual menyimpang yang dilakukan oleh Babe terhadap anak-anak usia di bawan 10 tahun dan kemudian dibunuhnya setelah yang bersangkutan disodomi. Ini tentu bukan satu-satunya, sebab tentu sangat banyak anak-anak gelandangan yang mengalami nasib sama seperti ini. Banyak yang beyond the news.
Anak-anak gelandangan ini, sesungguhnya memiliki kemampuan bertahan hidup yang sangat tinggi. Mereka juga memiliki semangat untuk mencari uang dengan berbagai caranya. Saya tidak menyebut sebagai kemampuan entrepreneurship. Meskipun andaikan dimanej dengan benar sangat mungkin mereka akan bisa memiliki kemampuan untuk hal itu. Mentalitas mereka untuk survive di tengah kesulitan hidup yang membekapnya tentu bisa diacungi jempol.
Di dalam hal ini, maka yang dibutuhkan adalah bagaimana memanej mereka agar berada di jalur yang benar. Andaikan mereka diasuh dengan cara-cara yang edukatif, maka bisa jadi mereka akan menjadi orang yang sukses di kemudian hari. Jika pendidikan dimaknai sebagai human investmen, maka hanya melalui pendidikan yang benar saja mereka akan dapat meraih kehidupan yang baik. Maka, bagi mereka yang sudah memiliki pengalaman mencari uang sendiri untuk kehidupannya, maka pendidikan keterampilan atau learning to be dan bukan hanya learning to do saja yang harus dikedepankan.
Pesantren Gelandangan, sesungguhnya diilhami oleh model pendidikan yang menekankan pada pendidikan keterampilan agar seseorang bisa mengakses kehidupan. Pesantren gelandangan tentu didesain secara terpadu. Selain mengaji dan memperdalam ilmu keagamaan, maka yang diperlukan juga pengayaan terhadap akses kehidupan. Maka selain mengaji dan sekolah untuk bekal kognisinya, juga harus dibekali dengan kemampuan praksis melalui pelatihan-pelatihan yang terstruktur.
Maka melalui implementasi ide tentang pesantren gelandangan ini, kiranya akan didapatkan satu model tambahan tentang bagaimana mengentas anak gelandangan. Oleh karenan itu, maka sinergi antar berbagai lembaga atau institusi bahkan antar kementerian juga sangat dibutuhkan untuk hal ini.
Semuanya tergantung pada bagaimana kita melakukan aktivisme dan bukan hanya sekedar aktivitas. Di dalam aktivisme tersebut terdapat kesadaran dan tindakan pemihakan yang sangat kuat. Dan pemihakan yang paling baik adalah melalui public policy dan goodwill pemerintah.
Wallahu a’lam bi al shawab.