• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMBINCANG KEMBALI INTEGRATIVE TWIN TOWER

Ketika Senat Institut Agama Islam Negeri  (IAIN) Sunan Ampel melakukan pembicaraan tentang rencana konversi dari IAIN Sunan Ampel menjadi UIN Sunan Ampel, 2-3 Juli 2010, maka ada suatu pertanyaan yang sangat mendasar dari Prof. Dr. Bisri Afandi, MA tentang simbol pengembangan ilmu keislaman yang digambarkan dengan menara kembar. Baginya, bahwa simbol menara kembar tersebut masih menyisakan problem pada aras epistemologi keilmuan yang belum tuntas. Makanya, yang diperlukan apakah islamization of knowledge atau islamization of science? Di dalam hal ini, maka jembatan untuk menghubungkannya adalah Islamisasi akal. Jadi, sesungguhnya yang diperlukan adalah bagaimana mengislamkan akal manusia agar menjadi fondasi pengembangan perilakunya, termasuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Pembicaraan tentang status keilmuan Islam atau Islamic studies memang penting mengingat bahwa pasca perubahan IAIN ke UIN tentu saja tidak akan mengebiri atau meminggirkan posisi ilmu keislaman yang sekarang ada. Ada kekhawatiran, bahwa pasca dibukanya kran menjadi UIN kemudian akan menyebabkan pengembangan Islamic studies mengalami kemunduran. Itulah sebabnya,  maka di dalam banyak pertemuan yang diselenggarakan tentang perubahan IAIN ke UIN selalu muncul pemikiran seperti ini.

Tentang corak ilmu keislaman, maka menurut saya tentu tetap ada dua, yaitu Islamic studies murni dan Islamic studies multidisipliner. Jumlah Islamic studies yang dikembangkan hingga hari ini di IAIN juga tidak sampai 50 persen. Bahkan dalam kasus IAIN Sunan Ampel, maka jumlahnya hanya 30 persen.  Dari sebanyak 23 prodi di IAIN Sunan Ampel hanya terdapat enam prodi Islamic studies murni dan sisanya Islamic studies multidisipliner. Artinya, bahwa meskipun namanya IAIN akan tetapi posisi studi keislaman murni juga tidak menjadi mayoritas. Jika menggunakan ukuran kenyataan ini, maka kekhawatiran untuk mengembangkan Islamic studies agar tidak terpinggirkan menjadi kurang relevan.

Di Fakultas Dakwah, maka seluruh prodinya merupakan Islamic studies multidisipliner. Pengembangan Masyarakat Islam adalah kajian keislaman multidisipliner, yaitu mengkaji masyarakat Islam dari perspektif community development. Bimbingan Penyuluhan Islam juga sama, yaitu mengkaji komunitas atau individu Islam dari perspektif ilmu konseling, demikian seterusnya. Di Fakultas Adab, misalnya prodi Sejarah Peradaban Islam juga sama, yakni mengkaji masyarakat Islam dari perspektif ilmu sejarah. Melihat fakta-fakta ini, maka kerisauan tentang Islamic studies atau non Islamic studies tentu bukanlah menjadi wacana penting.

Yang justru penting adalah bagaimana bangunan epistemology UIN. Artinya, bahwa UIN sebagai institusi yang mengemban tugas untuk pengembangan ilmu keislaman mesti harus memiliki seperangkat pemikiran mendasar tentang bangunan ilmu pengetahuan yang akan dikembangkannya itu. Apakah sama antara prodi fisika di UIN dengan yang Bukan UIN. Apakah sosiologi yang dikembangkan juga sama antara prodi sosiologi di UIN dan non UIN. Di sinilah pentingnya mengembangkan corak tersendiri (keunikan dan kemenarikan) kajian ilmu social atau sains di UIN, yaitu menggabungkan antara dunia konteks (alam, manusia) dengan teks (al-Qur’an atau Sunnah) melalui mekanisme jembatan pendekatan dan subyek kajian.

Oleh karena itu, tawaran islamisasi akal dirasakan menjadi penting. Melalui islamisasi akal, maka akan didapatkan suatu kenyataan akal yang dibimbing oleh wahyu (al-Qur’an dan Sunnah) dan kemudian membimbingnya di dalam proses pencarian kebenaran ilmu pengetahuan. Secara epistemologis, bisa dilakukan secara bolak-balik. Artinya, bisa dimulai dengan logika deduktif di dalam al-Qur’an atau Sunnah dan kemudian digali bukti empirisnya.  Akan  tetapi proses ilmiah ini bukan untuk menguji tentang ayat-ayat al-Qur’an atau Sunnah, namun untuk mencari gambaran tentang bagaimana konteks ayat atau sunnah tersebut di dalam kenyataan empiris. Hasilnya tentu bukan salah atau benar, akan tetapi deskripsi tentang konteks ayat itu di dalam kehidupan riil di masyarakat.

Kemudian, kajian bisa juga dimulai dari membaca realitas konteks dan kemudian dikonsultasikan dengan teks. Kajian ini juga bukan untuk menilai apa yang dilakukan oleh masyarakat atau konteks –meskipun boleh—akan tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana masyarakat berkategori yang relevan dengan kategori-kategori di dalam teks (al-Qur’an dan Sunnah). Bukankah banyak sekali ayat-ayat yang bercorak sains, humaniora dan ilmu social yang memberikan gambaran secara memadai tentang hal tersebut.

Di atas itu semua, maka yang  memang penting untuk dilakukan secara terus menerus dan serius adalah bagaimana mengembangkan epistemologi ilmu-ilmu di UIN, sehingga simbolisasi tentang ilmu keislaman multidispliner tersebut akan semakin kokoh, baik dari sisi ontologisnya, epistemologisnya dan juga aksiologisnya.

Pembicaraan ini penting mengingat bahwa perubahan dari IAIN ke UIN tidak hanya perubahan instutusional, akan tetapi untuk menuju arah pengembangan ilmu keislaman yang selaras dan relevan dengan tuntutan perubahan social yang terus terjadi.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini