MENCERMATI LIBERALISASI EKONOMI
Ada banyak hal yang sangat menarik dalam kunjungan kerja dan Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Daerah Jawa Timur di IAIN Sunan Ampel. Acara FGD ini dihadiri oleh para pakar di bidang hukum, politik, pendidikan dan agama. Di antara yang hadir adalah Prof. Dr. Kacung Marijan, MA, Prof. Dr. Istibsyaroh, MA, Dr. Priyo Handoko dan sejumlah guru besar IAIN Sunan Ampel. Acara yang digelar, 30/06/2010, di ruang Rektorat IAIN Sunan Ampel ini mencoba untuk mengkritisi tentang Rencana Amandemen UUD 1945 ke lima dan otonomi daerah.
Sebagai nara sumber pertama, maka saya ungkapkan tiga aspek yang perlu dicermati terkait dengan Rencana Amandemen UUD 1945 yang kelima, yaitu pertama tentang liberalisasi ekonomi yang sudah terjadi dan mengakar kuat di dalam sistem perekonomian kita. Kemudian kedua, politik dan demokrasi yang mengarah kepada demokrasi liberal dan ketiga, peran DPD yang harus semakin diperkuat.
Tulisan ini secara sengaja hanya akan membahas tentang isu pertama, tentang liberalisasi ekonomi di dalam praktik sistem ekonomi di Indonesia. Memang harus diakui bahwa pasca lengsernya Presiden Soeharto, maka ada euphoria yang luar biasa terkait dengan segala hal yang terkait dengan kehidupan kenegaraan kita. Setelah selama 32 tahun di dalam era otoriterisme-Pancasila, maka begitu kran keterbukaan dibuka maka yang terjadi adalah keinginan untuk mengubah segalanya. Semua yang berbau Orde Baru, maka ingin dihilangkan. Akibatnya, terjadi nuansa perubahan yang sangat drastic, termasuk juga di dalam kehidupan kenegaraan, politik, Undang-undang dan sebagainya.
Di era Habibi menjadi presiden, maka terdapat perubahan dan penambahan peraturan perundang-undangan dan jumlahnya sangat banyak. 66 undang-undang baru dilahirkan dan juga revisi undang-undang lainnya, termasuk amandemen UUD 1945. Semangat baru yang muncul diindikatori dengan tiga kata kunci, yaitu: ganti presiden dan lakukan pembatasan masa jabatannya, reformasi hokum melalui pembenahan Undang-undang dan desentralisasi yang bersesuaian dengan semangat reformasi.
Berdasarkan pasal-pasal di dalam UUD 1945 yang belum direvisi, maka system perekonomian kita bukanlah seperti sekarang ini. Meskipun di dalam amandemen UUD 1945 tidak diperkenankan untuk mengubah pembukaan UUD 1945 dan juga jumlah bab di dalamnya, akan tetapi perubahan terhadap pasal-pasalnya sangat kentara. Pembukaan UUD 1945 memiliki empat pokok pikiran yang sangat penting, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, mewujudkam keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, kemerdekaan dan kedaulatan dan Ketunan Yang Maha Esa.
Dari empat pokok pikiran sebagai visi bangsa Indonesia, maka UUD 1945 sudah mengatur tentang sistem ekonomi melalui pasalnya, yaitu “perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan”. Tidak dinyatakan sebagai sistem sosialis akan tetapi sebagai usaha bersama. Maknanya bahwa perekonomian Indonesia bukan seperti sstem liberalisme dan juga bukan sistem sosialisme. Yang dimaksudkan adalah sistem koperasi yang sesungguhnya dianggap sebagai sistesis di antara dua sistem yang saling bertentangan tersebut. Sistem ekonomi koperasi yang digagas oleh Mohammad Hatta ternyata tidak sebagaimana yang diharapkan. Bahkan ketika system ekonomi itu disebut sebagai sistem ekonomi Pancasila, juga tidak bisa mengubah sistem ekonomi liberal yang sudah kadung diterapkan di Indonesia.
Melalui konsep deregulasi, privatisasi dan lainnya, maka jelaslah bahwa system liberalisasi itu begitu kuat nuansanya. Dalam konsep privatisasi, maka peran swasta menjadi jauh lebih besarbahkan bisa menguasai hal-hal yang sesungguhnya menjadi hajad hidup orang banyak. Padahal, kita tahu bahwa di dalam visi bangsa Indonesia adalah untuk kesejahteraan umum dan keadilan social yang kemdian diwujudkan dalam pasal: “Bumi, air dan udara dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar kesejahteraan rakyat”. Melalui konsep privatisasi, maka penguasaan negara untuk mengatur sumber dan potensi kesejahteraan rakyat menjadi semakin mengecil jika dikatakan tidak ada. Sumber daya ekonomi yang semestinya dimiliki Negara dan digunakan untuk menyejahterakan rakyat menjadi tereduksi. Akibatnya, kekayaan hanya menumpuk pada segelintir orang dan tidak menetes ke masyarakat.
Tentang deregulasi tentunya sangat baik. Hanya sayangnya jika deregulasi tersebut kemudian dijadikan sebagai sarana untuk penguasaan sumber saya ekonomi beralih ke luar negerai tentu menjadi tidak cocok dengan visi bangsa Indonesia. Melalui penguasaan saham perbankan bahkan bisa sampai sebesar 99% oleh badan hukum asing atau WNA, maka kenyataannya menjadi sangat liberal. Di dalam hal ini, maka keuntungan perusahaan strategis akan lari ke luar negeri. Kasus pertambangan emas di Papua adalah contoh berate terjadi capital fligh ke luar negeri dan tidak menyisakan kesejahteraan bagi masyarakat Papua. Kemudian juga kasus penjualan Indosat ke Singapura, juga menjadi contoh bagaimana perusahaan nasional kemudian menjadi beralih tangan ke perusahaan asing. Jika di Cuba justru dilakukan nasionalisasi perusahaan asing, maka sebaliknya di Indonesia terjadi internasionalisasi perusahaan nasional.
Jika mengamati terhadap kenyataan ini, maka tidak salah jika di dalam amandemen kelima UUD 1945, maka nuansa liberalism atau neoliberalisme di dalam system ekonomi tersebut dikembalikan kepada visi bangsa Indonesia semenjak merumuskan UUD 1945, yaitu membangun perekonomian untuk kesejahteraan masyarakat.
Jika kita ingin melihat bangsa dan masyarakat Indonesia yang lebih makmur di masa depan, maka salah satu cara yang kita lakukan adalah dengan membenahi tata perundang-undangan kita agar sesuai dengan jiwa dan nafas pembukaan UUD 1945.
Oleh karena itu, yang perlu diusahakan di dalam amandemen UUD 1945, adalah meninjau ulang terhadap peraturan-peraturan yang terkait dengan pembangunan ekonomi Indonesia. Jika ini tidak dilakukan, maka kita akan sulit melihat Indonesia yang sejahtera di masa datang.
Wallahu a’lam bi al shawab.