• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PESANTREN DAN PEMBERDAYAAN LINGKUNGAN

Ada sebuah pertanyaan menarik dari peserta Sosialisasi Program Eco-Pesantren yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, 29/06/2010 di Pasuruan. Acara ini diikuti oleh para santri, ustadz dan kyai di Pasuruan dan sekitarnya. Pertanyaan tersebut adalah mengapa baru akhir-akhir ini pesantren diajak terlibat di dalam mengembangkan lingkungan, apakah dianggap sebagai benteng terakhir sebab selama ini hubungan antara pesantren dan pemerintah di era Orde baru kurang baik, bahkan banyak dicurigai?

Pertanyaan ini sangat menarik, sebab dating dari ustadz pondok pesantren yang selama ini dianggap sebagai sosok yang tidak banyak memikirkan pembangunan masyarakat kecuali pembangunan kehidupan keagamaan. Selama ini santri, ustdaz dan kyai dianggap kurang terlibat di dalam pengembangan lingkungan hidup. Pertanyaan ini menggambarkan betapa tinggi response peserta tentang perannya di dalam kehidupan masyarakat.

Memang diketahui bahwa semua peneliti yang netral akan menyatakan bahwa pesantren memiliki sejumlah peran di dalam kehidupan masyarakat. Semenjak Clifford Geertz melakukan penelitian di Mojokuto pertengahan tahun 1950-an, hingga Zamakhsyari Dhofier, Hiroko Horikhoshi, Pradjarta Dirjosanyoto, Endang Turnudzi dan sebagainya menyatakan bahwa pesantren dengan kyainya memiliki peran yang sangat signifikan di dalam kehidupan masyarakat. Tentu saja ada yang menyatakan sebaliknya, misalnya Deliar Nur, akan tetapi hal ini tidak menjadi arus utama. Bahkan sudah dikritik oleh Zamakhsyari Dhofier di tahun 1980-an tentang ketidak akuratan Deliar Nur dalam mengamati dunia pesantren dan perubahannya.

Dalam perjalanan sejarahnya, memang relasi antara pesantren dengan Negara mengalami pasang surut.  Pesantren yang kebanyakan NU ternyata memiliki kesamaan nasib dengan NU yang kala itu menjadi partai politik. Ada tiga corak relasi antara Pesantren dengan Negara, yaitu antagonistic, kritis dan simbiosis mutualisme. Semua ini mengiringi perjalanan sejarah pesantren di Indonesia. Memang ada beberapa pesantren yang tidak mengalami nasib seperti ini. Namun demikian secara umum hal ini terjadi.

Pertama, di awal Orde Baru, maka relasi antara pesantren dengan Negara dapat digambarkan sebagai relasi antagonistic. Yaitu hubungan yang saling mencurigai antara satu dengan lainnya. Pemerintah mencurigai aktivis pesantren di dalam aktivitas penyebaran Islam (dakwah) karena dianggap mengandung ajakan kampanye untuk partai politik dan menyerang kebijakan pemerintah. Demikian pula pesantren juga mencurigai pemerintah yang memaksakan agar pesantren tuntduk da patuh terhadap pilihan politik pemerintah.

Kedua, di era pertengahan Orde Baru, maka relasi antara pesantren dengan Negara bercorak kritis artinya, pesantren mengkritisi Negara dan sebaliknya. Lewat peran Gus Dur dalam perhelatan Negara, maka pesantren pun terkena imbasnya, yaitu saling mengkritisi terhadap kenyataan yang terjadi. Pesantren mengkritisi terhadap pemerintah yang dianggapnya tidak berpihak kepada rakyat termasuk kepada pesantren kecuali menjelang pemilu dan pemerintah juga mengkritisi terhadap pesantren yang dianggapnya tidak tanggap dan bahkan menghambat pembangunan.

Ketiga, relasi yang bercorak simbiosis mutualisme. Corak ini terjadi di era akhir pemerintahan Orde Baru. Di era ini, maka relasi antara pemerintah dan pesantren adalah saling membutuhkan. Pesantren membutuhkan pemerintah untuk mengembangkan diri dan pemerintah juga membutuhkan pemerintah untuk mendukung kebijakan pembangunan.  Di sinilah maka pesantren memperoleh perhatian yang sangat besar dari Negara. Dimulai dengan  menjadikan pesantren sebagai pusat-pusat pemberdayaan masyarakat. Maka dikenal nama pesantren An-Nuqayah sebagai pemberdayan lahan kering, Darul Falah sebagai pemberdayaan pertanian dan agribisnis, pesantren Maslakul Huda Kajen sebagai pusat pemberdayan peternakan, Pesantren Pabelan sebagai pusat kebudayaan lokal dan sebagainya. Bahkan kemudian beberapa pesantren juga memperoleh penghargaan Kalpataru, misalnya Pesantren An-Nuqayah, Pesantren Suryalaya, Pesantren Pabelan dan sebagainya. Bahkan pesantren Pabelan memperoleh Agha Khan Award untuk pelestarian bangunan dan lingkungan yang khas.

Di era sekarang, pesantren telah menjadi bagian dari pemberdayaan masyarakat. Dan ini semua tentu sebagai bagian dari corak relasi pesantren dan Negara yang bersifat simbiosis tersebut. Pesanren bukan sebagai rival pemerintah akan tetapi menjadi mitra pemerintah. Kebijakan non politis seperti ini tentu menjadi penting, sebab bagaimana pun juga pesantren memiliki pengaruh yang signifikan bagi kehidupan masyarakat yang religious.

Program Eco-Pesantren akan menjadikan pesantren sebagai garda depan pemberdayaan lingkungan dan bukan benteng terakhir pemberdayaan lingkungan. Oleh karena itu, relasi antara pesantren dengan pemerintah secara khusus Kementerian Lingkungan Hidup adalah agar secara bersama-sama dapat mengambil inisiatif bagi pemberdayaan lingkungan. Ada banyak hal yang bisa disinergikan antara pesantren dan pemerintah. Ada banyak pesantren yang memiliki inovasi cerdas dalam pemberdayaan masyarakat. Jika hal ini disinergikan, maka akan dapat menjadi kekuatan yang hebat di masa yang akan datang.

Dengan demikian, pesantren di era yang akan datang adalah pesantren yang terpadu dalam programnya untuk kepentingan pembangunan bangsa.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini