SEPAKBOLA: ANTARA NASIONALISME DAN RELIGIOSITAS
Sepakbola ternyata telah menjadi semacam sihir modern dalam kehidupan umat manusia. Sepak bola telah menjadi tidak hanya sekedar tontonan kaum lelaki, akan tetapi juga telah menjadi tontonan perempuan dan bahkan anak-anak. Sepakbola telah menjadi industri yang menggiurkan bagi para ownernya. Sebab sepakbola telah menjadi industri yang dapat menjadi lahan bisnis yang menyenangkan. Ada pemilikan saham, ada bisnis media, ada bisnis produk asesori dan sebagainya. Sepakbola bukan hanya permainan yang biasa, akan tetapi telah menjadi luar biasa.
Terkait dengan industri media, maka sepakbola telah menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan hak siarnya. Untuk Piala Dunia tahun 2010, maka pembelian hak siar telah dimenangkan oleh RCTI dan Global TV. Dua televisi ini, kemudian menjual produk sepak bola untuk iklan yang tentunya juga harus terseleksi untuk menutup pembelian hak siar tersebut. Sepak bola juga telah menjadi produk tontonan di hotel-hotel berbintang, café, atau bahkan menjadi medan politik di dalam berbagai pilkada.
Akan tetapi ada sesuatu yang sungguh-sungguh lain dalam perhelatan sepak bola tersebut. Hari Ahad kemarin, 27/06/2010, saya sempat menonton siaran ulang partai pertandingan antara Amerika Serikat dengan Ghana. Saya memang jarang bisa menonton siaran ulang pagi hari. Akan tetapi kemarin saya sempat menontonnya, sebab sambil menunggu acara perpisahan anak-anak Taman Kanak-Kanan “Al-Hikmah” di desa tempat kelahiran saya. Kebetulan saya memang menjadi Ketua Yayasan yang membidangi pendidikan anak kecil-kecil itu.
Ada yang sungguh-sungguh menarik ketika tim Sepakbola Ghana mengalahkan tim Sepakbola Amerika Serikat. Inilah tontonan menarik tetapi berbeda, tentang dunia yang seringkali menunjukkan wajah yang kuat selalu mengalahkan yang lemah. Di dalam dunia politik, siapa yang menyangkal tentang betapa super powernya Amerika Serikat. Ia begitu powerfull dan gigantic. Ghana, adalah gambaran dunia ketiga yang lemah tidak berdaya, tanpa power meskipun bukan powerless. Ghana adalah gambaran dunia ketiga yang tidak maju dan sejahtera.
Akan tetapi di dalam sepakbola, Amerika Serikat dikalahkan oleh Ghana. Bukan hanya Amerika yang terkalahkan, akan tetapi juga Italia, Perancis, dan nyaris pulang Inggris dan Spanyol. Bisa dilihat bagaimana Afrika Selatan mempecundangi Perancis dan Slovakia mengalahkan Italia. Dunia sepak bola adalah dunia yang terkadang bolak-balik. Yang kuat bisa kalah dan yang lemah bisa menang. Bola itu bundar, demikian argument klasik tentang pertandingan sepakbola.
Itulah sebabnya orang Amerika Serikat tidak terlalu suka kepada sepakbola atau soccer. Orang Amerika yang sangat rasional, tidak mau kepada kenyataan di dalam dunia sepakbola. Bagaimana yang kuat kalah oleh yang lemah. Bukankah Italia dan Perancis adalah juara dunia yang memiliki pemain luar biasa baiknya. Bagaimana keduanya bisa tersisih di babak awal piala dunia. Sungguh sesuatu yang tidak masuk akal.
Namun demikian juga terdapat hal yang unik di dalam sepakbola. Di antara yang menarik adalah tentang sportivitas. Pertandingan yang melibatkan dua tim, mesti harus ada wasitnya. Dan wasit itu memiliki otoritas yang sangat kuat untuk mengatur jalannya pertandingan sesuai dengan rule of game yang menjadi dasarnya. Wasit menjadi pengadil terakhir dalam pertandingan itu. Jika mereka membantah, maka dengan keyakinannya wasit dapat memberinya kartu merah. Dan pemain harus keluar lapangan. Makanya, jika seorang pemain sudah terkena kartu kuning, maka dia akan hati-hati. Jika tidak, maka bisa diusir dari lapangan. Bukan hanya pemain yang diaturnya akan tetapi juga pelatih dan offisialnya.
Dunia sepakbola juga telah menjadi bagian dari multikulturalisme, nasionalisme dan religiositas sekaligus. Dari sisi multikultural, maka Jerman adalah contoh bagaimana negara ini membangun sepakbolanya berdasarkan atas multikulturalitas. Pemain sepakbola Jerman ternyata terdiri dari multiras, multiagama dan multi bangsa yang bernaturalisasi. Miroslav Klose, Lukas Podolski, Swarzeinegger, Ozil, Boateng, dan sebagainya. Klose dan Podolski berasal dari Eropa Timur, Ozil dari Turki dan Boateng dari Afrika. Semuanya menyatu di dalam tubuh tim Jerman di dalam piala dunia di Afrika Selatan. Ozil pemain sayap yang cepat ini, bahkan beragama Islam dan selalu berdoa setiap kali mau memasuki lapangan dengan simbol keislamannya. Demikian pula jika timnya menang. Demikian pula yang lain juga mengekspresikan agamanya dengan simbol-simbol yang diyakininya. Yang Kristen, Katolik dan sebagainya. Mereka benar-benar merupakan suatu tim dengan etnis, agama dan suku bangsa yang bervariasi, tetapi menyatu dalam satu bendera negara yang dibelanya.
Ketika Ghana menang melawan Amerika Serikat, maka pasca pertandingan tersebut, seorang pemain Ghana menyatakan: “I am Africa Man.” Sebuah ungkapan yang menggambarkan betapa ada rasa bangga menjadi Orang Afrika. Bukan hanya sekedar Ghana, akan tetapi Afrika. Ghana sebagai bagian dari negara-negara Afrika yang tertinggal ternyata bisa mengalahkan Amerika. Apalagi pertandingan tersebut berjalan sangat berimbang, dengan serangan yang silih berganti. Luar biasa. Demikian pula ketika Asamoah Gyan mencetak gol kedua, maka kemudian bersujud syukur dengan caranya sendiri. Semua menggambarkan bagaimana keberagamaan tersebut menyatu dengan nasionalisme, kebangsaan dan harga diri.
Pertandingan sepakbola bukan hanya sekedar permainan biasa. Sebab di dalamnya sudah menyatu dunia bisnis, multikulturalisme, kebangsaan dan juga nasionalisme. Sepakbola telah menjadi ikon tentang bagaimana kerjasama menjadi sesuatu yang sangat penting. Di dalam piala dunia ini, maka semua adalah pemain bintang. Mereka dipilih dengan cara yang sangat ketat dan teruji. Akan tetapi ketika individualitasnya lebih menonjol ketimbang kerjasamanya, maka mereka akan menjadi pecundang.
Dunia sepakbola mengajarkan banyak hal tentang kebersamaan, kerjasama, nasionalisme dan juga religiositas. Maka seharusnya, kita memahami dunia sepakbola juga dari kerangka seperti itu.
Wallahu a’lam bi al shawab.