• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA BERBASIS LILLAH BILLAH

Ada sesuatu yang sangat menarik di dalam Sarasehan Nasional yang diselenggarakan oleh Penyiar Shalawat Wahidiyah (PSW) di Pondok Pesantren At Tahdzib, Rejoagung,  Ngoro, Jombang, 26/06/2010. Selain pesertanya yang memang berasal dari seluruh Indonesia, juga terdapat pembicaraan menarik tentang bagaimana membangun Indonesia di masa depan. Di antara perbincangan menarik tersebut terkait dengan pendidikan karakter bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasar pada Pancasila dan UUD 1945.

Di dalam kesempatan ini, KH. Ruhan Sanusi, Ketua Umum DPP Penyiar Shalawat Wahidiyah menyatakan bahwa di dalam pembangunan bangsa ini seharusnya berdasar atas prinsip Lillah Billah. Prinsip tersebut merupakan ajaran pokok yang mendasar dari Penyiar Shalawat Wahidiyah. Jadi, melalui prinsip Lillah Billah ini, maka akan dihasilkan orang yang memiliki pengabdian kepada Allah, Rasulullah dan juga pengabdian kepada umat manusia.

Pendidikan karakter bangsa memang sangat dibutuhkan di tengah era semakin menurunnya semangat dan rasa cinta kebangsaan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Selain itu juga dirasakan semakin menurunnya kerukunan, keharmonisan dan keselamatan sebagai prinsip kehidupan bangsa. Hal ini bisa dilihat dari semakin semaraknya aksi kekerasan atas nama agama, suku, ras dan etnis di Indonesia. Selain itu juga terjadinya gerakan-gerakan yang mengusung semangat gerakan khilafah Islamiyah dan syariah kaffah di Indonesia. Tentang penerapan syariah Islam tentu tidak ada masalah, hanya ketika penerapan syariah tersebut hanya berdasar atas satu penafsiran –gerakan Salafi—maka hal ini tentu akan menimbulkan masalah.

Pentingnya pendidikan berbasis pada karakter bangsa memang sudah menjadi tawaran solutif bagi bangsa ini. Misalnya Prof. Dr. Muhammad Nuh, Mendiknas, ketika memberikan sambutan di dalam acara pertemuan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) di Makasar juga menyatakan bahwa sudah saatnya melakukan revitalisasi pendidikan karakter di Indonesia. Bahkan juga disampaikan agar perguruan tinggi melakukan hal ini. Di dalam banyak kesempatan juga disampaikan oleh para tokoh pendidikan, seperti Ki Supriyoko, Hasyim Muzadi, A. Syafi’i Ma’arif, Said Aqil Siraj dan sebagainya yang menginginkan agar pendidikan karakter bangsa dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan di Indonesia.

Pendidikan akan berhasil,  jika selain pintar atau cerdas juga kompetitif dan bermoral. Cerdas dan kompetitif saja tidak cukup tanpa didasari oleh moralitas yang baik. Makanya, visi pendidikan Indonesia tentu harus mengusung tiga ranah penting itu di dalamnya. Tidak hanya kemampuan intelektual yang akan diasah, akan tetapi juga sikap dan perilakunya. Pendidikan perilaku atau budi pekerti inilah yang rasanya memang harus dikedepankan. Tolok ukur kelulusan siswa dan mahasiswa bukan hanya pada kemampuannya untuk menghafal dan menganalisis berdasarkan  logika dan intelektual, akan tetapi juga bagaimana tingkah laku dan sikap-sikapnya.

Perdebatan tentang bagaimanakah ukuran untuk kelulusan ini tentu sudah sangat lama diperbincangkan.  Akan  tetapi,  hingga sekarang belumlah memperoleh solusi yang memadai. Sebab memang dirasakan terdapat  tingkat kesulitan tertentu dalam menyelesaikann problem evaluasi pendidikan berbasis sikap dan perilaku ini. Ada kekhawatiran subyektivitas di dalam penilaian tersebut.

Namun demikian, kita tentu tidak boleh menyerah dengan berbagai keruwetan ini. Pendidikan karakter bangsa harus menjadi bagian mendasar dari sistem pendidikan di Indonesia. Kita tidak boleh kalah dengan Jepang,  di mana mereka menjadi bangsa yang modern tetapi tetap menjaga tradisinya yang bernilai adiluhung. Kita menjadi agak prihatin ketika bangsa ini menginjakkan kakinya dalam  modernitas.  Banyak kemudian yang melupakan tradisi-tradisinya yang sangat baik. Orang lebih suka pergi ke KFC untuk makan dari pada ke warung nasi tradisional. Jepang sebaliknya bisa mensinergikan antara modernitas dan lokalitas dalam suatu ungkapan: “Think Globally Act Locally”. Sebuah ungkapan yang sangat baik dalam merespon globalisasi dan modernisasi.

Pendidikan karakter tentu memiliki tujuan agar meskipun menapaki dunia modern dan global akan tetapi tetap memiliki karakter sebagai bangsa Indonesia. Di dalam Sarasehan Nasional DPP PSW tersebut, maka saya mengusulkan suatu konsep yang saya sebut sebagai “Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Lillah Billah”. Konsep ini mungkin bukan baru dalam jajaran konseptual pendidikan nasional, akan tetapi rasanya memang perlu revitalisasi.

Pendidikan karakter ini, tentunya memiliki tiga prinsip mendasar, yaitu: Pertama, prinsip keagamaan ialah prinsip ketauhidan yang bercorak “Lillah Billah” dan “Lirrasul Birrasul”. Dua konsep tersebut merupakan perwujudan dari kalimat tauhid, La ilaha Illallah, Muhammadur Rasulullah”. Konsep ini kemudian dapat diimplementasikan dalam konsep Ibadah dan akhlak yang merupakan prinsip dasar di dalam ajaran Islam.

Kedua, prinsip kebangsaan, yaitu: penegakan terhadap empat pilar kebangsaan, yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebhinekaan. Pilar kebangsaan ini menjadi sangat penting,  sebab bagaimanapun juga bahwa bangsa ini tentu harus tetap eksis di tengah pergaulan bangsa-bangsa. Negara ini harus tetap berdasarkan Pancasila,  sebab telah teruji sebagai pengikat dasar bagi bangsa ini. Apa yang telah ditetapkan oleh para founding fathers negeri ini tentu tidak boleh ditinggalkan sampai kapanpun.  Tidak boleh ada ideologi lain selain Pancasila di negeri ini.

Kemudian, UUD 1945. Kita juga beruntung bahwa negeri ini memiliki UUD yang bisa menjamin terhadap ketatanegaraan, kebangsaan, politik dan tata pemerintahan yang cocok bagi bangsa Indonesia. UUD yang khas keindonesiaan ini juga harus menjadi dasar bagi penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Lalu, NKRI juga telah menjadi pilihan yang paling tepat bagi bangsa Indonesia. Dengan 17.000 lebih pulau, 300 lebih suku dan bahasa, maka pilihan NKRI juga sangat cocok bagi bangsa ini.

Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kebinekaan atau multikulturalisme. Bangsa yang plural dan multikultural sebagaimana bangsa Indonesia juga sangat relevan memiliki prinsip binneka tunggal ika. University in diversity. Kita memiliki kesatuan akan tetapi berbasis atas kebinekaan. Prinsip kebinekaan merupakan asas yang sangat tepat bagi bangsa ini untuk terus melangkah ke depan dalam relasinya dengan dunia internasional.

Ketiga, prinsip implementatif. Di dalam prinsip ini, maka semua konsep pendidikan Lillah Billah yang dicerminkan di dalam konsep kejujuran, keikhlasan, tanggungjawab, keterpercayaan dan keterbukaan dan akuntalibitas akan dapat dijabarkan ke dalam indikator-indikator yang dapat dinilai dan diuji. Melalui proses pembelajaran yang terukur, materi yang terukur dan evaluasi yang terukur, maka akan dapat dilihat seberapa pendidikan tersebut berhasil.

Hanya saja bahwa pendidikan karakter tersebut memang melibatkan tidak saja kehebatan intelektual akan tetapi juga sikap dan tindakan, maka tentunya harus dirumuskan standart-standart penilaian yang jelas. Dengan demikian standart kompetensi lulusasannya juga dapat dievaluasi sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan.

Dengan demikian, konsep pendidikan karakter bangsa berbasis Lillah Billah akan berhasil jika semua komponen di dalamnya berlaku dinamis  sebagai sebuah ssstem yang saling menopang dan membutuhkan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini