MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
Saya merasa beruntung karena diundang oleh Penyiar Shalawat Wahidiyah untuk menjadi salah satu nara sumber dalam acara sarasehan nasional tentang pendidikan karakter di Pondok Pesantren At-Tahdzib Rejoagung Ngoro Jombang, 26/06/2010. Acara ini menarik sebab penyelenggara sarasehan adalah sebuah kelompok pengamal shalawat yang tentunya sering disebut sebagai kelompok tradisional. Kelompok tarekat atau tasawuf sering dilabel oleh orang lain sebagai kelompok yang hanya berpikir akherat saja. Meraka dianggap sebagai kelompok yang melarikan diri dari kehidupan dunia yang ramai ini. Ia dianggap sebagai kelompok yang mengingkari dunia dan hanya mengejar kehidupan akherat saja.
Namun demikian, ternyata bahwa dibalik ketertarikannya kepada akherat tersebut juga terselip keprihatinannya untuk memikirkan nasib bangsa ini. Melalui seminar tentang pendidikan karakter berkebangsaan Indonesia sesungguhnya kelihatan betapa kelompok ini memiliki konsern terhadap pembangunan bangsa. Yaitu pembangunan yang bersearah dengan pendidikan karakter atau pendidikan akhlak karimah yang memang dibutuhkan oleh setiap bangsa yang menginginkan kemajuan.
Bangsa ini sesungguhnya memiliki modal yang sangat besar untuk menjadi modern tetapi berkepribadian. Modern saja tentunya tidak cukup, sebab tanpa memiliki kepribadian, maka sebuah bangsa akan larut ke dalam tindakan yang salah arah. Banyaknya penyimpangan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang berpadu dengan moral permissiveness dan ketiadaan tanggung jawab, maka akan menyebabkan bangsa ini kolaps. Bangkrut.
Negeri ini hampir saja tenggelam karena penyakit social yang kronis ini. Korupsi yang sangat tinggi, kolusi yang tidak terbendung, nepotisme yang menjalar ke seluruh dimensi kehidupan dan moral serba boleh ternyata menjadikan bangsa ini terpuruk. Akibatnya, pengembangan SDM menjadi rendah. Kita tidak pernah berada di level bawah 100 dari human development index (HDI). Tingkat kompetisi di dunia internasional juga rendah. Misalnya menjadi ranking 44 dari 44 negara yang disurvey, pada tahun 2003. Dan tingkat kemiskinan yang masih tinggi, kira-kira 17,75 persen atau setara dengan kira-kira 30 juta penduduk.
Salah satu di antara yang menyebabkan adalah lemahnya kualitas mental bangsa ini dalam menghadapi perubahan yang sangat cepat dan mengarah kepada modernisasi yang salah arah. Banyak orang yang ingin menjadi kaya akan tetapi melalui jalan yang pintas. Banyak orang ingin menjadi modern tetapi melalui jalan yang salah. Banyak orang yang ingin menjadi sejahtera tetapi melalui jalan yang tidak benar. Maka, tindakan tersebut menyebabkan penderitaan orang lain yang berseberangan dengan perilakunya.
Dengan tindakan korupsi, maka banyak proyek yang menyalahi besteknya. Mark up pembelian barang yang tidak selaras dengan tanggung jawab social. Menilap uang yang bukan miliknya. Semua ini berakibat pada pembangunan yang tidak standart sehingga cepat rusak. Bangunan yang semula diancangkan untuk menyejahterakan rakyat akhirnya tidak sampai pada tujuan. Belum lagi proyek-proyek yang tidak didasari oleh perencanaan yang baik dan bersesuaian dengan kebutuhan masyarakat. Tindakan-tindakan ini yang tentu menyebabkan robohnya bangunan kehidupan social: rukun, harmoni dan selamat.
Bangsa ini memiliki sumber daya alam yang tiada bandingnya di dunia ini. Flora, fauna, pesisir, kekayaan alam yang melimpah. Jumlah pulau yang sangat banyak, luas lautan dan daratan yang hamper sama dengan benua Eropa dan kekayaan budaya, bahasa dan kesenian yang luar biasa. Dan hal ini menjadi sangat menarik karena meskipun berbeda-beda akan tetapi bisa menyatu di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kekayaan seperti ini sesungguhnya adalah modal yang sangat berharga. Akan tetapi menjadi belum bermanfaat sebab ada kekeliruan di dalam implementasi moralitasnya.
Maka, salah satu di antara instrumen penting untuk membenahinya adalah melalui pendidikan karakter. Islam sudah mengajarkan tentang keagungan akhlak mulia. Nabi Muhammad saw sudah mengancangkan bahwa Beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak agar menjadi mulia. Beliau menyatakan: “innama buitstu liutammima makarimal akhlak”. Yang artinya: “sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”.
Seirama dengan ini, maka Begawan pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantoro juga menyatakan moralitas pendidikan adalah: “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso lan tut wuri handayani”. Ungkapan ini memiliki keselarasan dengan sabda Nabi Muhammad saw tersebut. Manusia harus menjadi teladan ketika berada di depan atau pemimpin di dalam level apapun, jika di tengah maka yang besangkutan harus dapat membangkitkan semangat untuk berkarya dan jika berada di belakang maka harus bisa menjadi pamong.
Pendidikan karakter sesungguhnya adalah pendidikan yang berbasis pada kejujuran, keikhlasan, tanggungjawab dan keterpercayaan. Jujur dalam segala hal yang dilakukan, ikhlas dalam melakukan segala sesuatu, tanggungjawab ketika diberi amanah dan terpercaya ketika diserahi tanggungjawab. Pendidikan semacam ini akan terlaksana jika semua komponen bangsa ini mendukung terhadapnya. Artinya dibutuhkan lingkungan, pelaku dan juga kebijakan yang memihak kepadanya. Jika tidak didapati kenyataan itu, maka juga akan sia-sia.
Oleh karena itu, semua komponen bangsa harus terlibat. Termasuk di dalamnya adalah para pengamal Shalawat Wahidiyah. Saya berkeyakinan bahwa dzikir yang dilakukan secara terstruktur akan dapat menjadi instrumen untuk menyeimbangkan kehidupan yang modern dengan karakter bangsa yang religious.
Modernitas sungguh dibutuhkan akan tetapi karakter bangsa yang religious juga sangat penting. Menyeimbangkan keduanya adalah cetak biru bagi kemajuan bangsa.
Wallahu a’lam bi al shawab.