• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ILMU USHULUDDIN MULTIDISIPLINER

Selama ini dipahami bahwa ilmu ushuluddin adalah ilmu normative yang membincang tentang ilmu keagamaan normatif.  Sehingga kajiannya lebih bercorak tekstual ketimbang mendekatkan relasi antara yang tekstual dengan yang kontekstual. Al-Qur’an, hadits, Teologi atau ilmu-ilmu agama murni ini dikaji dengan menggunakan kajian teks yang memang bercorak normatif. Padahal dewasa ini sungguh-sungguh  juga dibutuhkan kajian-kajian historik untuk memahami bagaimana Al-Qur’an, Hadits dan Teologi tersebut hidup di dalam dunia sosial kemasyarakatan.

Sebagai kajian teks, maka tafsir  dikaji dari dimensi bagaimana tafsir tersebut di dalam teks-teks yang sudah ada. Yang saya maksud dengan teks adalah apa yang sudah ada di dalam karya-karya terdahulu dari para ahli tafsir tanpa dikomparasikan dengan kenyataan atau realitas empiris yang ada di dalam kehidupan masyarakat.

Sesungguhnya sudah banyak usaha yang dilakukan untuk mendialogkan antara dunia teks dengan konteks dalam kajian Al-Qur’an atau Hadits yang terjadi akhir-akhir ini. Misalnya kajian tentang living al-Qur’an. Di dalam kajian seperti ini, maka yang dikaji bukanlah bagaimana para ulama terdahulu melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an, bagaimana maknanya yang tersirat atau yang tersurat, akan tetapi lebih melihat pada bagaimana al-Qur’an atau Al-Hadits hidup di dalam kehidupan masyarakat.

Kajian yang dilakukan untuk menemukan bagaimana masyarakat mengkonstruksi faham mereka tentang Al-Qur’an ternyata juga bisa dikaji. Misalnya kajian tentang penafsiran kaum perempuan tentang ayat-ayat poligami. Tentu akan menghasilkan perspektif baru tentang bagaimana pandangan orang tentang al-Qur’an. Tujuan untuk melakukan kajian seperti ini bukan berarti untuk menolak atau menyalahkan konsepsi Al-Qur’an, akan tetapi untuk menghasilkan cara pandang baru tentang tafsir yang lebih kontekstual.

Ayat-ayat Al-Qur’an banyak yang digunakan sebagai do’a dan penyembuhan. Maka perlu dikaji dari aspek sosiologisnya tentang bagaimana masyarakat menafsirkan ayat-ayat dimaksud untuk kepentingan memahami Al-Qur’an dari perspektif yang lain. Tujuan mengkaji Al-Qur’an dengan cara ini adalah untuk memahami bagaimana masyarakat menafsirkan tentang ayat-ayat yang terkait dengan doa dan penyembuhan.  Tentu tidak dimaksudkan sebagai usaha untuk memistifikasikan ayat-ayat Al-Qur’an akan tetapi yang lebih penting adalah untuk memahami dunia penafsirannya.

Di masa lalu, maka kajian al-Qur’an itu misalnya dalam bentuk kajian “Penafsiran Al-Qur’an menurut Ulama klasik tentang Ayat-ayat Poligami” atau “Penafsiran Teks Al-Qur’an ayat Arrijalu Qawwamuna ala al-nisa’ menurut Tafsir Al-Maraghi”.  Kajian  terhadap tafsir al-Qur’an tersebut bisa bercorak Maudlu’I (tematik), atau lainnya.  Jadi yang menjadi sasaran kajian tafsir adalah penafsiran para ulama tentang ayat-ayat al-Qur’an di masa lalu.  Baik yang bercorak perbandingan atau bukan.  Demikian pula kajian tentang hadits.

Dewasa ini sudah banyak kajian-kajian Al-Qur’an sebagaimana dilakukan oleh T. Izutsu tentang Strukturalisme Al-Qur’an dan kemudian juga sudah terbit kajian tentang Antropologi Al-Qur’an dan bahkan juga kajian dari sisi fisika tentang Al-Qur’an dan sebagainya.  Tulisan Agus Purwanto tentang “Ayat-Ayat Semesta, Sisi-Sisi Al-Qur’an Yang Terlupakan” adalah salah satu contoh tentang pandangan baru mengenai relasi antara Al-Qur’an dan Sains. Di dalam Al-Qur’an –800 ayat—yang membicarakan tentang dunia alam yang dapat dijadikan sebagai semangat untuk mengkaji dunia sains. Melalui kajian seperti ini, maka relasi antara teks al-Qur’an dengan peristiwa alam memang bukan sesuatu yang terpisah. Ayat-ayat Al-Qur’an ternyata bisa dijadikan sebagai inspirasi bagi pengembangan dunia sains.

Dalam hal perbandingan agama, maka yang dikaji juga bagaimana pandangan Islam tentang apa yang terjadi pada agama lain. Kajian seperti ini hanya akan menghasilkan kajian-kajian yang menghakimi terhadap apa yang dilakukan oleh agama lain.  Agama Islam sebagai yang benar dan agama lain sebagai yang salah. Secara teologis memang benar harus seperti itu. Inilah yang oleh Arthur D J Adamo disebut sebagai religion’s way of knowing. Bahwa di dalam agama memang memiliki dimensi keyakinan yang harus berbeda dengan keyakinan membenarkan agamanya sendiri. Memang terdapat keyakinan teologis dan ritual yang tidak bisa dikompromikan.

Dewasa ini arah kajian perbandingan agama atau studi agama-agama bersearah dengan konsepsi yang lebib sosiologis dan antropologis bahkan psikhologis, yaitu bagaimana agama dihayati dan diamalkan serta dialami oleh masyarakat pemeluknya. Kajian seperti ini lebih mengarah kepada bagaimana orang beragama dan bukan pandangan orang terhadap agama yang diyakini oleh orang yang berbeda dengan agamanya.

Perspektif baru seperti ini tentu dibutuhkan dalam kerangka untuk mendialogkan antara dunia teks yang nromatif dengan dunia konteks yang historis. Melalui usaha untuk mendialogkan keduanya dalam corak kajian Islamic studies multidisipliner, maka akan dihasilkan kajian tafsir, hadits, teologis atau kajian agama-agama yang lebih bernuansa konstruktif.

Jadi, memang diperlukan pendekatan-pendekatan baru untuk memahami dunia teks yang selama ini hanya dipahami sebagai teks.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini