• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMIKIRKAN ULANG ILMU USHULUDDIN MULTIDISIPLINER

Salah satu fakultas di PTAIN yang memang menyelenggaarakan program studi Islamic studies murni adalah Fakultas Ushuluddin. Di fakultas ini dipelajari ilmu tafsir hadits, ilmu perbandingan agama dan ilmu akidah dan filsafat. Nama nomenklatur jurusan di Fakultas Ushuluddin di PTAIN memang berbeda-beda.  Ada yang memberi  nama nomenklaturnya dengan Aqidah dan Pemikiran Islam, ada juga yang memberi nama akidah dan filsafat Islam dan sebagainya.  Kemudian untuk perbandingan agama, ada juga yang memberi nama Studi Agama-Agama. Semuanya dilakukan dalam kerangka agar ilmu ushuluddin kemudian menjadi tujuan bagi calon mahasiswa.

Dewasa ini ada kegelisahan di kalangan pimpinan PTAIN,  bahwa program studi keislaman mengalami penurunan peminat. Termasuk jurusan atau program studi di Fakultas Ushuluddin. Dalam setiap pendaftaran mahasiswa baru selalu dijumpai rendahnya peminat untuk jurusan-jurusan di Fakultas Ushuluddin.  Makanya, dirasakan perlunya untuk mengembangkan Fakultas Ushuluddin agar lebih diminati masyarakat.

Di antara yang diperlukan, misalnya adalah mengubah nomenklatur beberapa jurusan di Fakultas Ushuluddin.  Misalnya mengubah nomenklatur jurusan Perbandingan Agama menjadi Program Studi Agama dan Lintas Budaya. Tentu saja tawaran ini harus dikaji secara lebih mendasar. Apakah plus minusnya menggunakan nomenklatur ini. Akan tetapi yang jelas bahwa memang dibutuhkan penyegaran nomenklatur pada Program Studi Keislaman.

Dilihat dari sisi pengembangan keilmuan, maka yang dibutuhkan adalah bagaimana mengembangkan ilmu keislaman agar lebih dekat dengan kebutuhan pengembangan keilmuan. Salah satu hal yang kiranya perlu dikembangkan ke depan adalah untuk menjadikan sebagian disiplin keilmuan di PTAIN menjadi ilmu yang multidisipliner atau Islamic studies multidisipliner.

Ada berbagai dasar dan ragam pembidangan ilmu pengetahuan yang dijadikan sebagai patokan untuk menentukan bidang ilmu, disiplin dan sub disiplinnya. Pembagian itu antara lain adalah; Pertama,  dari aspek fungsi ilmu, misalnya apakah ilmu teoretis atau praktis, ilmu murni atau terapan. Pembagian ilmu berdasarkan fungsi itu mengandung kelemahan dan menyulitkan karena basis fungsi tersebut terkadang bercorak dualisitik, artinya di satu sisi mengandung ilmu-ilmu teoretik di sisi lain memiliki basis praktis. Bisa jadi akan terjadi tumpang tindih mengenai hal ini.

Kedua, pembidangan ilmu berdasarkan sasaran kajian (obyek studi, subject matter). Melalui sasaran kajian, maka akan terdapat kejelasan tentang ilmu apa masuk dalam bidang apa. Sehingga, setiap ilmu yang memiliki  obyek materia yang sama akan dapat dikelompokkan dalam satu bidang yang sama. Seperti yang kita ketahui bahwa perbedaan antara satu ilmu dengan lainnya selalu dilihat dari obyek forma ilmu yang bersangkutan. Ilmu-ilmu alam misalnya memiliki obyek materia yang berupa gejala-gejala alam yang ajeg dan bercorak nomotetis, ilmu-ilmu sosial memiliki obyek materia gejala kemasyarakatan dan ideografis, sedangkan ilmu budaya dan humaniora memiliki obyek materia gejala-gejala kemanusiaan. Dari obyek kajian tersebut, kemudian memunculkan berbagai disiplin karena adanya obyek forma yang berbeda.

Ketiga, melalui pendekatan, yaitu upaya untuk memadukan berbagai disiplin keilmuan dengan memposisikan satu disiplin sebagai pendekatan dan lainnya sebagai sasaran kajian. Melalui pendekatan,  maka ilmu pengetahuan akan berkembang dengan cepat karena dimungkinan tumbuhnya disiplin-disiplin baru yang merupakan gabungan antara dua ilmu pengetahuan. Inilah yang disebut sebagai inter-disciplinarity (antar bidang) dan cross-diciplinarity (lintas bidang) atau yang secara umum disebut sebagai multi-disciplinarity (multi-disiplin).

Maka di dalam perkembangan ilmu kemudian muncul sosiologi agama (perpaduan antara sosiologi dalam bidang social science dan agama dalam bidang culture and humanity) yang selamnjutnya disebut sebagai Cross-diciplinarity. Demikian pula  antropologi agama, psikhologi agama, filsafat sosial, filsafat hukum, sejarah sosial dan sebagainya.

Di sisi lain, misalnya sosiologi politik adalah inter-dicipliner karena merupakan penggabungan sosiologi sebagai bagian dari bidang social science dan politik yang juga bagian dari social science. Demikian pula, misalnya sosiologi hukum, antropologi politik, psikhologi sosial dan sebagainya.

Pembidangan ilmu-ilmu keislaman juga diusahakan melalui pengkategorian apa yang menjadi sasaran kajiannya. Oleh karena  itu  kemudian ditemukanlah pembidangan seperti Ilmu Al-Qur’an yang sasaran kajiannya adalah Al-Qur’an. Ilmu Hadits yang menempatkan sasaran kajiannya adalah Hadits-Hadits Nabi.

Yang penting tentunya adalah pengembangan ilmu-ilmu keislaman ke depan. Hal ini diperlukan mengingat bahwa diperlukan ragam pengembangan ke depan yang bisa dijadikan sebagai wahana pengembangan keilmuan secara substansial di satu sisi dan juga pengembangan istitusional di sisi lain.

Pengembangan substansial terkait dengan pengembangan ilmu dan kepakaran dosen atau akademisi sehingga menghasilkan variasi-variasi keilmuan di PTAI, sedangkan secara institusional akan menjadi wahana bagi pengembangan program studi atau sekurang-kurangnya konsentrasi studi yang dibutuhkan di masa depan.

Arah pengembangan ilmu-ilmu  keislaman  ke depan diusahakan mengikuti alur sasaran kajian dan pendekatan sekaligus. Artinya pengembangan tersebut diusahakan dengan memggunakan dua cara pembidangan ilmu-ilmu, yaitu melihat sasaran kajian dan pendekatan. Makanya, akan ditemui pola pengembangan yang merupakan penggabungan ilmu, yang satu dijadikan sebagai sasaran kajian dan lainnya sebagai pendekatan. Misalnya, tafsir Al-Qur’an dan Hermeneutika, maka yang dikaji adalah Tafsir al-Qur’an tetapi menggunakan pendekatan Hermeneutika.

Demikian pula Tafsir Al-Qur’an dan Fenomenologi, maka yang dikaji adalah Ilmu Tafsir tetapi menggunakan pendekatan Fenomenologi. Tafsir Al-Qur’an dan Strukturalisme, maka yang dikaji adalah Tafsir Al-Qur’an tetapi menggunakan pendekatan Strukturalisme. Demikian pula Ilmu Hadits ketika dipertemukan dengan pendekatan lainnya maka akan memunculkan Syarah Hadits dan Budaya Lokal, Syarah Hadits dan Fenomenologi dan seterusnya.

Di dalam kerangka untuk pengembangan ilmu keislaman,  khususnya di Fakultas Ushuluddin, maka yang penting adalah bagaimana mengisi program studi tersebut dengan conten ilmu keislaman yang bercorak multisidipliner.

Untuk hal ini, maka menurut saya, yang penting dikembangkan ke depan adalah bagaimana mengubah program studi yang jenuh peminat dan kemudian mengisi disiplin keilmuannya dengan hal-hal baru sesuai dengan pembidangan keilmuannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini