PEKAN BERKABUNG
Pekan ini ada dua peristiwa yang menyedihkan. Pertama, pada hari Selasa, tanggal 4 Agustus 2009 adalah kematian Mbah Surip, seorang seniman-pemusik yang tiba-tiba mencuat dan menjadi idola massa, meskipun dia sudah berjuang lama dalam belantara musik rakyat. Mbah Surip yang orang Mojokerto dan pernah kuliah di Unsuri Surabaya adalah tokoh musik yang sedang naik daun. Lagunya “Tak Gendong” yang menjadi Ring Back tone (RBT) ternyata mengalahkan lagunya Michael Jackson yang juga menjadi RBT. Lagu “Tak Gendong” menjadi peringkat pertama dan sedangkan lagunya Jackson “You are not Alone” peringkat ketiga.
Mbah Surip adalah tokoh yang muncul di tengah ketiadaan tokoh rakyat yang dapat diidolakan. Melalui dandanannya yang sangat kontroversial, rambat ala hippis, wajah yang berlipat-lipat dan pakaian yang seadanya dan terkesan tidak rapi ternyata bisa menghias media massa televisi. Tidak lama kira-kira tiga bulan. Kematiannya yang mendadak membuat banyak orang yang kehilangan. Makanya muncul berbagai tanggapan baik dari rekan sejawat maupun para analis media. Mbah Surip adalah Orang Kaya Baru (OKB) yang belum bisa menikmati kekayaannya. Orang kaya yang masih ngontrak. Jadi, beliau belum sempat menikmati gemerlap penghasilan lagunya. Tuhan memang memanggilnya di saat yang tepat, yaitu menciptakan Mbah Surip menjadi teladan kesederhanaan dalam kehidupan.
Tiba-tiba pula Sang Penyair Burung Merak, WS. Rendra juga dipanggil yang kuasa pada tanggal 7 Agustus 2009. Dunia kepuisian Indonesia akan kehilangan tokoh besarnya. Seorang pengabdi dunia puisi yang tiada taranya. Sejarah tentu mencatat begitu kuatnya motivasi dan semangatnya dalam mengembangkan puisi Indonesia.
Rendra adalah lambang sastrawan dan buayawan yang berani melakukan perlawanan terhadap kekuasaan yang tiranis dan otoriter. Dari kebanyakan puisi-puisinya memiliki nuansa pembangkangan. Jika disimak kumpulan tulisannya seperti: “Balada Orang-orang Tercinta, Bersatulah Pelacur-pelacur Jakarta, Blues Untuk Bonnie, Nyanyian Angsa, Sajak Seonggok jagung dan Perjuangan Suku Naga” hampir merupakan potret manusia yang berada di jalur kesulitan hidup atau kaum tertindas.
Saking kerasnya melakukan kritik terhadap pemerintah, maka banyak acara baca puisi Rendra yang dicekal oleh pemerintah. Apalagi ketika itu, Kopkamtib adalah state aparatus yang memiliki kewenangan luar biasa dalam mengatur semua kehidupan masyarakat. Mulai acara kenegaraan, mengaji sampai baca puisi. Di era pemerintahan otoriter tersebut, maka terjadi proses negaranisasi yaitu suatu proses untuk menarik semua kekuataan sosial, politik, ekonomi, agama dan budaya untuk penguatan suatu negara sehingga tidak ada kekuataan apapun diluar kekuatan negara.
Di era pemerintahan otoriter, maka kekuatan rakyat harus dibungkam melalui berbagai macam cara. Rakyat tidak dibenarkan untuk melakukan kritik terhadap pemerintah, sehingga siapa pun yang berani melakukannya akan dianggap sebagai kekuatan subversif. Oleh karena itu banyak kegiatan yang diselenggarakan masyarakat yang di dalamnya momot kritik terhadap pemerintah maka akan dicekal. Pada saat itu para Da’i yang kritis terhadap pemerintah juga harus ditundukkan. Para politisi yang keras melakukan kritik terhadap pemerintah juga harus dilumpuhkan, termasuk juga baca puisi yang isinya mengkritik terhadap pemerintah maka juga akan menemui penghadangan.
Dalam posisi seperti inilah Rendra berani melakukan kritiknya terhadap pemerintah sehingga banyak acara membaca puisinya yang tidak diizinkan, dicekal, bahkan dilarang. Oleh karena itu pantaslah jika Rendra disimbolkan sebagai budayawan yang berseberangan dengan pemerintah. Apa yang diungkapkannya adalah sebuah kebenaran yang didasari oleh kata hatinya meskipun itu pahit akibatnya.
Dengan demikian jika dibandingkan antara mbah Surip dengan Rendra maka kedua-duanya melambangkan keteguhan dalam mencapai tujuan meskipun jalan yang ditempuh berbeda.
Wallahu a’lam bi al-shawab.