TKI: PAHLAWAN DEVISA YANG RAPUH
Kasus kematian Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Pembantu Rumah Tangga (PRT) tinggi. Kasus kematian TKI berprofesi PRT tiap tahunnya mencapai ratusan. Tahun lalu tercatat sebanyak 600 TKI berprofesi sebagai PRT meninggal dunia di Malaysia sementara di Arab Saudi sebanyak 200 orang. Penyebabnya tiga hal, yaitu: penganiayaan majikan, kerja overtime dan kasus seksual (Berita Kota, 05/08/09).
Bagi masyarakat yang sulit mengakses pekerjaan di negeri sendiri maka cerita tentang menjadi TKI dengan gelimang Ringgit dan Riyal adalah sebuah impian. Bagaimana tidak, mereka yang sukses bekerja di Malaysia atau Arab Saudi lalu bisa bikin rumah, beli perabotan rumah, membeli perhiasan, tanah dan sebagainya. Tentunya, jarang yang terekspose mereka yang kesulitan, terlantar bahkan gagal. Masyarakat kita memang lebih suka cerita sukses daripada cerita kegagalan. Makanya yang gagal tidak pernah terungkap. Begitulah kira-kira.
Tetapi membaca berita di atas kiranya bisa membuat hati kita menjadi terharu. Mereka yang sering disebut sebagai pahlawan devisa itu ternyata menanggung derita yang cukup berat. Memang telah banyak berita tentang kekerasan seksual, kekerasan psikhologis hingga kekerasan pisik. Tetapi kalau jumlah yang meninggal mencapai ratusan maka tentunya sudah merupakan masalah sosial. Maka benarlah ungkapan bahwa lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan uang di negeri orang. Mereka yang sengsara ini kebanyakan adalah para TKW yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Mereka memang kelompok yang paling rawan dari keseluruhan TKI.
Kaum TKI di Malaysia, Hongkong, Singapura dan Arab Saudi memang kebanyakan memasuki kawasan PRT. Hal itu tidak lain karena tingkat pendidikan mereka yang rendah. Kebanyakan adalah lulusan SD atau yang sederajat. Dengan tingkat pendidikan yang rendah maka akses yang bisa dimasuki hanyalah PRT atau pekerjaan rendahan lainnya. Berbeda dengam Pilipina yang kebanyakan tenaga kerjanya adalah yang memiliki skill khusus, seperi perawat, ahli elektronik, montir dan sebagainya. Sehingga mereka menjadi naker yang terhormat.
Kita memang berada dalam suasana dilematis. Menghentikan TKI tidak mungkin karena rendahnya daya serap tenaga kerja. Akan tetapi meneruskan pengiriman TKI juga selalu bermasalah. Maka yang perlu dilakukan adalah bagaimana pemerintah bisa memberikan jaminan keselamatan bagi warganya. States aparatus di kementerian luar negeri yang ditugaskan menjadi duta besar atau konsulat harus berbuat banyak. Untuk ini maka penertiban terhadap Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) juga sangat perlu agar semua pengiriman TKI dapat diketahui secara jelas. PJTKI, pemerintah dan TKI juga harus menjalin saling kesepahaman untuk mengatasi tiga problem di atas.
Jadi keselamatan warga Indonesia harus menjadi prioritas.
Wallahu a’lam bi al-shawab.