BELAJAR DARI MUHAMMADIYAH
Tulisan ini secara sengaja saya rumuskan dengan kalimat belajar dari Muhammadiyah dan bukan belajar kepada Muhammadiyah. Tulisan bertema belajar tentu saja memang dipilih karena memang banyak di antara kita yang seharusnya memperoleh pelajaran dari Muhammadiyah. Mungkin bukan hanya organisasi social keagamaan yang perlu belajar dari Muhammadiyah, akan tetapi juga dunia pendidikan tinggi. Tulisan ini akan memberikan atau menjadikan Muhammadiyah sebagai subyek yang menjadi tempat untuk belajar.
Tentang belajar dari Muhammadiyah, rasanya ada yang menarik dicermati, sebab yang berbicara seperti ini bukan orang Muhammadiyah, akan tetapi Pengurus Syuriah PBNU, KH. Ahmad Siddiq. Beliau menyatakan bahwa NU perlu belajar dari Muhammadiyah tentang tiga hal, yaitu tentang pengelolaan pendidikan, pengelolaan kesehatan dan pengelolaan ekonomi di kalangan warga Muhammadiyah.
Kesadaran agung dari KH. Ahmad Siddiq ini tentu perlu dicermati di tengah dunia yang semakin sedikit orang yang mau belajar kepada lainnya. Terutama yang dianggap sebagai rivalnya. Bukankah masih ada anggapan bahwa Muhammadiyah adalah rival NU dalam organisasi social keagamaan. Meskipun pandangan seperti ini sudah semakin berkurang di era 2000-an, namun tentu masih ada yang berpandangan seperti itu.
Sesungguhnya relasi antara NU dan Muhammadiyah sudah sangat cair dewasa ini. Jika di tahun 1980-an masih terdengar isu Takhayul, bidh’ah dan churafat (TBC), maka dewasa ini tentu sudah tidak didapati lagi perseteruan atau nuansa konfliktual yang menghinggapi keduanya. Di dalam hal ini, maka relasi antara NU dan Muhammadiyah sudah mencapai titik ideal dewasa ini. Apalagi keduanya sedang menghadapi lawan yang sangat tangguh, yaitu kaum Islam radikal yang secara sengaja mengobrak- abrik lembaga keagamaan ini.
Muhammadiyah dan NU sudah sama-sama menerima tradisi local sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan keduanya. Jika di era tahun 1970-1980-an Muhammadiyah sangat keras menghadapi Takhayul, Bidh’ah dan Churafat (TBC), maka dewasa ini seirama perubahan zaman, ternyata Muhammadiyah pun berubah. Jika di masa lalu Muhammadiyah mengebiri tradisi lokal, maka dewasa ini sudah tidak lagi.
Jadi, NU dan Muhammadiyah sudah memiliki kesamaan dalam pandangannya tentang Islam Indonesia. Isu Islam murni atau tidak murni sudah tidak lagi menjadi bahan dakwah di kalangan Muhammadiyah. Demikian pula NU juga mengusung tema yang sama tentang Islam Indonesia. Keduanya sudah ramah terhadap tradisi local. Ada proses saling belajar antara NU dan Muhammadiyah.
Dengan demikian, NU bisa belajar dari Muhammadiyah tentang pengelolaan pendidikan. NU juga bisa belajar banyak dari Muhammadiyah tentang pengelolaan kesehatan dan NU juga bisa belajar kepada Muhammadiyah tentang pengelolaan ekonomi. Tentu ada alasan, kenapa NU harus belajar kepada Muhammadiyah? Di antara yang mendasar adalah tentang lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggatakan Muhammadiyah. Banyak lembaga pendidikan Muhammadiyah yang modern dan maju. Banyak pula lembaga kesehatan Muhammadiyah yang unggul dan kompetitif. Demikian pula tentang pengelolaan ekonomi.
Perguruan Muhammadiyah tersebar di seluruh Indonesia dengan label yang sama. Makanya, Muhammadiyah tentu lebih mudah untuk memanej lembaga pendidikannya. Demikian pula rumah sakit Muhammadiyah juga tersebar di hanpir seluruh kabupaten di Indonesia. Lembaga kesehatan ini juga memiliki label yang sama. Kualitas lembaga kesehatan Muhammadiyah juga memiliki kemampuan kompetisi yang relative baik.
Dibandingkan dengan NU, maka rumah sakit Muhammadiyah tentu sudah jauh lebih maju. Demikian pula tentang lembaga pendidikannya yang jauh lebih maju. Makanya, jika NU harus belajar dari Muhammadiyah tentang dua hal ini tentu sangatlah wajar. Muhammadiyah memiliki tradisi pendidikan formal yang lebih lama dan kuat. Demikian pula dalam mengembangkan pusat kesehatan masyarakat.
Sedangkan NU memiliki tradisi pesantren yang sangat kuat dan pendidikan non-formal. Makanya keduanya memang saling melengkapi dan menguatkan. Makanya, keduanya bisa saling belajar dan melengkapi.
Di tengah kenyataan social seperti ini, maka menjadi menarik untuk mengamati perkembangan dua organisasi besar ini di tengah perubahan social yang terus terjadi.
Mu’tamar Muhammadiyah di Jogyakarta akan menjadi momentum penting untuk mengamati gerak organisasi ini dalam kancah wacana dan praksis keislaman Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.
