IJTIHAD KEBANGSAAN DAN NASIONALISME NU
Semasa Orde Lama, NU memperoleh label yang bermacam-macam. Misalnya NU dianggap menerapkan ijtihad politik akomodatif, NU mengembangkan ijtihad politik oportunis, NU melaksanakan ijtihad politik fragmatis dan sebagainya. Labeling ini diberikan kepada NU karena sikapnya yang mengikuti jejak langkah pemerintah Indonesia dalam kebijakan politik yang mengakomodasi semua kepentingan. Salah satu di antaranya adalah tentang nasionalisme, agama dan komunisme, yang kemudian disingkat Nasakom.
Pada tahun 1950-an, tegangan antara orang Islam, Komunis dan Nasionalis memang sangat meningkat. Wujudnya adalah sidang Majelis Konstituante yang memperdebatkan tentang dasar Negara Indonesia, apakah Islam, komunis atau Pancasila. Empat besar partai politik pemenang pemilu 1955, yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI saling berebut di dalam sidang Majelis Konstituante untuk mengutamakan asas dasar politiknya. Masyumi dan NU menginginkan Islam sebagai dasar negara, PKI menginginkan kamunisme sebagai dasar negara dan PNI menginginkan Pancasila.
Di tengah perdebatan selama kurang lebih 3,5 tahun tersebut, maka Soekarno melakukan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945. Majelis Konstituante didirikan pada tahun 1956 sebagai hasil pemilu 1955. Selama persidangan ternyata kekuatan tiga elemen di dalam Konstituante tersebut berimbang. Akibatnya Konstituante tidak dapat memutuskan apakah yang seharusnya menjadi dasar negara.
Sementara itu, melihat sidang Majelis Konstituante yang berlarut-larut dan tidak menghasilkan keputusan politik yang memadai bagi kelangsungan kemerdekaan Indonesia, maka banyak desakan agar kembali kepada UUD 1945. Suara ini semakin santer dari hari ke hari. Kemacetan sidang di dalam Majelis Konstituante tentu menjadi salah satu penyebabnya.
Makanya, NU lalu mengadakan Sidang di Pacet, Cipanas Bogor pada tanggal 26-28 Maret 1958. Sidang Dewan Partai tersebut mengambil keputusan antara lain menerima UUD 1945 yang secara substansial menjadikan Piagam Jakarta sebagai rohnya. Atau dengan kata lain, Piagam Jakarta menjiwai terhadap UUD 1945.
Keputusan NU tersebut kemudian disampaikan kepada pemerintah, sehingga pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno meminta kepada Majelis Konstituante untuk bersidang dan menetapkan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia. Perintah Presiden ini diabaikan oleh Sidang Majelis Konstituante di dalam sidang-sidangnya. Selain itu sebagian anggota Konstituante juga sudah tidak mau lagi hadir di dalam sidang-sidang berikutnya.
Pada saat ketidaktentuan konstitusi bagi Indonesia tersebut, maka Presiden RI menetapkan Dekrit Presiden untuk kembali kepada UUD 1945 dan membubarkan Majelis Konstituante. Sebagai gantinya, Presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Gotong Royong. NU menerima keputusan Presiden untuk kembali kepada UUD 1945 dan juga terlibat di dalam Kabinet yang dirumuskan oleh Presiden Soekarno.
Keputusan NU untuk menerima terhadap penerapan kembali UUD 1945 tidak ada lain kecuali didasari oleh alam pikiran NU bahwa “dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalb al mashalih” yang artinya bahwa “menghindari kerusakan harus didahulukan atas melaksanakan kebaikan”. Negara Indonesia dalam waktu tiga tahun berada di dalam ketidakmenentuan.
Negara yang baru merdeka seumur jagung ini sudah berada diujung pertarungan politik yang tidak menentu. Konflik ideologi antara Islam dan Komunisme juga sangat tajam. Komunisme yang berpijak pada atheism tentu sangat bertentangan dengan Islam yang sangat theism. Selama 3,5 tahun terjadi perdebatan tanpa akhir untuk menentukan dasar negara saja. Sehingga para wakil rakyat tersebut tidak sempat memikirkan bagaimana seharusnya pembangunan dilaksanakan.
Dalam kondisi negara yang gawat tersebut, maka harus ada keberanian untuk menetapkan sesuatu yang dianggap penting. Jika dibiarkan, maka akan terjadi disintegrasi bangsa yang disebabkan oleh dasar ideologis dan konstitusi yang tidak jelas. Di tengah suasana seperti ini, maka NU mengambil keputusan agar kembali kepada UUD 1945 yang di dalamnya dijiwai oleh Piagam Jakarta dan kemudian terlibat di dalam pemerintahan. NU terlibat di dalam Kabinet Karya yang dirancang oleh Presiden Soekarno.
Dengan demikian, NU telah meletakkan kepentingan bangsa dan negara jauh lebih penting dibandingkan dengan kepentingan NU untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Mengamati terhadap kenyataan sejarah seperti ini, maka tentu tidak mengherankan jika NU di masa sekarang tetap mempertahankan empat pilat kebangsaan, yaitu: NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Kebhinekaan.
Jadi keputusan NU ini bukan sesuatu yang datang tiba-tiba, akan tetapi telah melampaui rentangan sejarah yang panjang.
Wallahu a’lam bi al shawab.