IJTIHAD POLITIK NU
Tentang NU menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas pada Mu’tamar NU di Pesantren Salafiyah Syafiiyah Situbondo, tahun 1984 tentu sudah banyak yang memahami. Apalagi peristiwa ijtihad politik NU ini mendominasi wacana politik di era 80-an hingga 90-an. Dan melalui penerimaan Pancasila sebagai asas bagi kebanyakan organisasi social, politik dan agama ini, maka NU telah menorehkan sejarah baru dalam percaturan politik kebangsaan di Indonesia.
Kala itu, tentu banyak orang mencibir NU sebagai organisasi yang lembek karena menerima Pancasila sebagai asas organisasi. Seharusnya NU tetap konsisten dalam memperjuangkan Islam sebagai asas organisasi. Sebab kebanyakan organisasi keagamaan kala itu menggunakan Islam sebagai asas organisasinya. Disebabkan oleh penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai asasnya, maka berbondong-bondong organisasi social keagamaan mengikuti langkah NU dimaksud.
Pemerintah saat itu memang bertujuan untuk mendekatkan jarak ideologi berbagai macam organisasi. Semua organisasi baik social, politik, agama dan sebagainya harus menjadikan asas Pancasila sebagai perwujudan kesamaan ideologinya. Setelah sukses melakukan fusi partai politik di tahun 1973, dengan merampingkan partai politik menjadi tiga saja, maka pemerintah menginginkan agar semua organisasi memiliki jarak ideologi yang sama.
Eksperimen pemerintah untuk mendekatkan jarak ideologi juga tidak sepenuhnya berhasil. Meskipun sudah memiliki asas yang sama dan visi politik yang sama, akan tetapi faksi-faksi di dalamnya selalu berada di dalam nuansa konfliktual yang sangat tinggi. Akibatnya tentu saja partai politik selalu berada di dalam suasana konflik yang memudarkan aksesibilitas partai di mata masyarakat.
“Keberhasilan” pemerintah untuk mendekatkan jarak ideologi tersebut menyebabkannya untuk memperlakukan hal yang sama pada semua organisasi sosial dan keagamaan di Indonesia. Makanya, kemudian ditetapkanlah semua organisasi harus menggunakan Pancasila sebagai asasnya. Akhirnya, semua organisasi menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi pada tahun 1985 hingga runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998.
Tentu orang bisa saja bertanya, mengapa NU memilih jalan atau ijtihad politik seperti itu? Bukankah NU sebagai organisasi massa terbesar memiliki kekuatan riil untuk menolak terhadap keinginan pemerintah untuk “memberangus” terhadap asas variatif dari organisasi social kemasyarakatan dan keagamaan. Pertanyaan ini tentu menarik, mengingat bahwa NU memang selalu tampil membela “kepentingan negara” dalam sejarah panjangnya.
Yang sangat monumental adalah ijithad politik NU yang dikenal sebagai “Resolusi Jihad” yang menyangkut perlunya membela negara pada masa awal kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Pada waktu itu bangsa Indonesia dihadapkan pada kenyataan harus mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari serangan Sekutu dan juga antek-anteknya. Belanda masih ingin menjajah Indonesia. Di tengah suasana genting seperti ini, maka NU mengeluarkan ijtihad politik dimaksud,
Pada saat itulah para pemimpin NU, Syuriah dan tanfidziyah, melakukan sidang di Surabaya yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. KH. Hasyim Asy’ari memberikan taushiyah agar semua warga Indonesia melakukan jihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Resolusi Jihad tersebut, adalah sebagai berikut:
1) Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib untuk dipertahankan.
2) Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintah wajib dibela dan dipertahankan.
3) Musuh Negara Republic Indonesia terutama Belanda yang datang kembali dengan membonceng tentara Sekutu (Inggris), dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.
4) Umat Islam Indonesia terutama warga Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.
5) Kewajiban itu adalah jihad yang menjadi kewajiban orang Islam (fardlu ain) yang berada pada radius 94 km (jarak dimana umat Islam diperkenankan untuk melakukan sembahyang jama’dan qashar). Adapun mereka yang berada di luar radius 94 km tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam radius 94 km tersebut.
Melalui resolusi jihad yang difatwakan oleh NU ini, maka sesungguhnya bisa dipahami bahwa semenjak dahulu NU memang selalu berada di garda depan dalam membela negara. Makanya, jika NU di kelak kemudian hari selalu tampil dalam membela negara, tentu hal ini merupakan bagian dari roh jihad NU bagi negara bangsa.
Resolusi jihad adalah sesuatu yang inspiring bagi NU dalam ikut serta membela negara dalam keadaan yang paling sulit sekalipun.
Wallahu a’lam bi al shawab.