NU DAN PILAR KEBANGSAAN
Di dalam acara audiensi yang dilakukan oleh pengurus PBNU dengan Presiden SBY, 02/06/2010, di Istana Negara, Dr. KH. Said Aqil Siraj, menyatakan bahwa NU selama ini menjadi penyangga empat pilar kebangsaan, yaitu NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Kebhinekaan (Republika, 03/06/2010). Politik kebangsaan NU itu telah menjadi bagian penting dari sejarah panjang NU dalam relasinya dengan negara dan bangsa Indonesia.
NU memang dalam sejarah perjalanan bangsa ini selalu memperjuangkan politik kebangsaan. Artinya NU memperlakukan soal kebangsaan dalam suatu kesatuan dengan Islam yang substansial. NU tidak pernah menggagas tentang pentingnya membentuk negara Islam dalam konteks keIndonesiaan. Bagi NU yang penting adalah bagaimana Islam bisa diimplementasikan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
NU tidak menganggap membentuk negara Islam sebagai kewajiban. Makanya, NU pernah menerima kenyataan bahwa Pancasila adalah satu-satunya asas bagi organisasi social politik dan keagamaan di era Soeharto. NU juga pernah mengangkat Presiden Soekarno sebagai waliyyul amri dharuri bi al syaukah, NU juga menyatakan bahwa NKRI adalah pilihan final bagi bangsa Indonesia di dalam menapaki kehidupan sebagai bangsa dan negara.
Pilar kebangsaan, yang terdiri dari NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Kebhinekaan merupakan sesuatu yang sudah tidak perlu lagi diperdebatkan. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) selama ini sudah teruji bisa menjadi bentuk ideal dari Negara Indonesia yang memang terdiri dari wilayah kepulauan dengan bahasa, suku bangsa dan agama yang sangat bervariasi.
Di dunia ini tidak ada negara dengan jumlah pulau, suku bangsa, bahasa, adat, tradisi dan agama yang variasinya sedemikian kental selain Indonesia. Dengan sebanyak 17.000 pulau, yang masing-masing memiliki varian-variannya, maka menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan paling besar di dunia. Makanya, sudah tepat jika para pendiri bangsa dahulu menyatakan bahwa bentuk negara yang paling cocok adalah negara kesatuan. Hal ini tentu saja cocok dengan semangat atau spirit bangsa yang tercermin di dalam Pancasila sebagaimana tertuang di dalam pembukaan UUD 1945.
Spirit pluralitas dan multikulturalitas yang menjadi bagian penting dari kehidupan bangsa Indonesia telah mendarah daging dalam kehidupan semua elemen bangsa ini. Makanya, melalui politik kebhinekaan tentu akan menjamin keberlangsungan bangsa ini. Unity in diversity merupakan konsep yang sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana Indonesia harus direnda untuk masa depan.
NU tidak pernah memimpikan akan terwujudnya negara agama. Sebab dengan menjadi negara agama maka akan menyebabkan eksklusivisme agama. NU melalui tempaan sejarah panjang bangsa sampai pada kesimpulan bahwa diperlukan common platform bangsa yang bisa diterima oleh semua elemen bangsa ini. Consensus nasional itu sangat penting bagi sebuah bangsa. Andaikan di saat awal kemerdekaan itu, umat Islam yang direpresentasikan oleh mereka yang tergabung di dalam PPKI menentukan negara Islam, maka kita tentu tidak akan melihat Indonesia seperti sekarang.
Peristiwa dalam Sidang PPKI, 18 Agustus 1945, yang menerima usulan dari Indonesia Timur agar membuang tujuh kata di dalam Pembukaan UUD 1945, tentu bisa menjadi contoh bagaimana para founding fathers negeri ini bersikap dan bertindak. Pada Sidang PPKI sebelumnya, tanggal 22 Juni 1945 menetapkan bahwa di dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya” diprotes oleh masyarakat non-Islam dan tidak mau bergabung dengan NKRI, maka kemudian dengan kearifan luar biasa diterimalah usulan itu dengan membuang tujuh kata yang dianggap akan menyebabkan disintegrasi bangsa. Padahal semua tahu bahwa mayoritas anggota PPKI adalah orang Islam. Akan tetapi kepentingan kebangsaan dan kesatuan bangsa berada di atas kepentingan-kepentingan lainnya.
Berbasis pada kenyataan sejarah seperti itu, maka NU di dalam politik kenegaraan lebih mengedepankan kebangsaan daripada sektarianisme berbasis agama sekalipun. Sebagaimana pernyataan KH. Sahal Mahfudz bahwa untuk mengimplementasikan syariat Islam tidak diperlukan formalisasi Negara Islam. Islam bisa berkembang di dalam wadah Negara Kesatuan Republic Indonesia.
Makanya, kemudian KH. Mukhid Muzadi lalu merumuskan suatu kalimat yang sangat indah, bahwa menjadi NU menjadi Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.