SATU LANGKAH MENUJU KE UIN
Senin, 31 Mei 2010 adalah hari yang sangat istimewa bagi warga IAIN Sunan Ampel. Hari itu merupakan hari yang bersejarah, sebab pada hari itu Senat IAIN Sunan Ampel melakukan lompatan besar dalam rangka untuk mengubah status IAIN Sunan Ampel menjadi UIN Sunan Ampel. Yang membanggakan karena semuanya dicapai dengan musyawarah mufakat, meskipun di dalamnya terdapat perdebatan tentang arah dan tujuan untuk berubah tersebut.
Keinginan untuk berubah menjadi UIN ternyata sudah berlangsung lama dan bukan hanya fenomena sekarang. Menurut penuturan Prof. Thoha Hamim anggota Senat IAIN SA bahwa keinginan untuk menjadi UIN sebetulnya telah ada di masa lalu. Hanya saja karena constraint kelembagaan, sebagaimana yang dicanangkan oleh Menteri Agama, Maftuh M Basyuni, maka keinginan untuk menjadi UIN itu tertunda selama beberapa tahun. Dan melalui rapat Senat IAIN SA tersebut, maka secara mufakat disepakati bahwa IAIN SA bisa melakukan reposisi terhadap perubahan ke UIN.
Tentu banyak hal yang dapat dicatat tentang diskusi di forum Senat tersebut. Di antara yang paling menonjol adalah tentang pentingnya memperoleh dasar hukum untuk program wider mandate bagi IAIN SA. Hingga hari ini, dasar hukum untuk menyelenggarakan program perluasan mandate akademik tersebut ternyata tidak didapati, kecuali rekomendasi dari Kemendiknas dan kemudian izin operasional dari kemenag. Sepatutnya, penyelenggaraan prodi umum tersebut berbasis pada sekurang-kurangnya adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menag dengan Mendiknas tentang penyelenggaraan prodi umum di kemenag dan penyelenggaraan prodi agama di kemendiknas.
Berdasarkan PP No 17 tahun 2010, bahwa lembaga pendidikan yang berstatus Institut merupakan lembaga pendidikan tinggi yang berwenang untuk menyelenggarakan pendidikan dalam sekelompok bidang studi/ilmu. Maka implementasi PP tersebut akan menyulitkan posisi IAIN SA yang menyelenggarakan prodi umum. Sebab IAIN SA sebagai institusi pendidikan tinggi hanya dapat menyelenggarakan pendidikan keagamaan saja.
Wider mandate yang sedari semula didasari oleh pemikiran perlunya untuk memberikan akses pendidikan yang lebih luas, bisa terpangkas oleh PP dimaksud. Tujuan wider mandate adalah untuk memberikan akses yang lebih luas bagi alumni pesantren atau lembaga pendidikan Madrasah Aliyah atau lainnya agar bisa mengakses pendidikan tinggi secara variatif.
Untuk menampung alumni pendidikan berbasis keagamaan yang tidak mampu bersaing di PTU, maka diperlukan wadah yang memadai. Oleh karena itu, secara yuridis IAIN SA harus bermetamorfosis ke dalam UIN agar penyelenggaraan program studi umum yang sudah ada di lembaga ini akan bisa dilanjutkan dan sekaligus memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memasuki pendidikan tinggi.
Akan tetapi sebagaimana yang diketahui bahwa untuk menjadi UIN juga harus tetap mempertahankan karakter pendidikan keislaman. Menurut Prof. Bisri Afandi, jangan sampai setelah menjadi UIN lalu pengembangan Islamic studies justru menemui ajalnya. Pengembangan Islamic studies sebagai ciri kelembagaan di bawah Kementerian Agama harus tetap eksis. Keinginan seperti ini tentu harus direspon dengan sangat memadai. Sebagaimana yang sering saya diskusikan bahwa yang akan dikembangkan oleh UIN SA adalah pengembangan Islamic studies multidisipliner.
Sekedar gambaran, bahwa ilmu social yang akan dikembangkan adalah ilmu social profetik. Yaitu bagaimana mendialogkan antara konsep-konsep dalam teks Islam (al-Qur’an dan Hadits serta ijtihad ulama) dengan konteks dunia social, politik, dan budaya. Di dalam kenyataan ini, maka yang akan dihasilkan adalah ilmu social yang saling berdialog dengan ilmu keislaman dalam posisi yang saling mendukung. Kemudian ilmu alam juga bisa didialogkan dengan teks-teks Islam. Bukankah di dalam teks Islam (al-Qur’an dan hadits) banyak dijumpai ayat-ayat yang bertalian dengan fenomena alam yang konstan.
Oleh karena itu, pengembangan ilmu pasca perubahan ke UIN adalah dalam coraknya yang berupa Islamic studies multidisipliner, yang dalam konsepsi akademik yang saya kemukakan adalah melalui model integrative twin tower. Melalui model ini, bahwa ke depan tidak ada dikhotomi antara ilmu agama dan umum dalam coraknya yang sangat rigid, akan tetapi adalah terwujudnya satu pengembangan ilmu yang integrative antara ilmu umum dan agama.
Selain ada alasan akademis dan hukum yang tentu penting untuk didiskusikan, maka alasan secara kelembagaan juga penting untuk didiskusikan. Tentang alasan institusional yang mendasar adalah lembaga yang sudah diakui dalam percaturan akademis adalah al-Jami’ah yang arti secara terminologisnya adalah universitas. Dan secara de facto, institusi ini juga sudah menyelenggarakan program studi umum yang terakreditasi. Makanya, secara kelembagaan yang penting adalah mengubah dari institute menjadi universitas agar perlusan mandate tersebut menjadi lebih jelas.
Bahkan secara politis, sesungguhnya juga ada muatan politis dengan menyebut nama institute. Artinya, bahwa lembaga di bawah kementerian agama itu hanya untuk menyiapkan ahli dalam bidang khusus, sehingga tamatan institute di bawah kementerian agama tidak bisa bersaing dengan lulusan lain untuk memasuki kawasan yang lebih luas. Ada ranah birokrasi yang tidak bisa dimasuki oleh lulusan institute agama Islam.
Kita sedang memasuki ranah perubahan yang sangat cepat. Ada banyak PTU yang sudah membuka program studi agama. Misalnya, Unair dengan Prodi Ekonomi Syariah, Prodi Islamic studies di UNJ, Ekonomi Islam di Universitas Trisakti dan sebagainya. Bahkan beberapa universitas di Kementerian Pendidikan Nasional juga sedang berusaha untuk membuka prodi Islamic studies.
Di dalam kerangka ini, maka dirasakan sangat penting untuk melakukan kesepahaman antara Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional untuk membangun kesamaan visi tentang makna pendidikan dalam arti generiknya, sehingga tidak ada kotak-kotak konsepsi pendidikan antara yang diselenggarakan di diknas maupun di tempat lainnya. Makanya, di manapun pendidikan tersebut diselenggarakan tentu maknanya adalah pendidikan juga.
Jadi, ke depan yang penting adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengakses pendidikan di manapun, bisa di kemendiknas dan juga di kemenag selama program tersebut memenuhi kualifikasi yang standart. Salah satu ukurannya adalah akreditasi yang memadai.
Dengan demikian, ketika Senat IAIN SA sudah menetapkan bahwa IAIN SA akanmelangkah menjadi UIN, maka tugas berikutnya adalah merumuskan berbagai hal yang terkait dengan keinginan berubah tersebut sekaligus dibarengi dengan upaya untuk mengubah mindset agar ke depan institusi ini tetap menjadi yang terbaik.
Wallahu a’lam bi al shawab.
