MENTALITAS PERUSUH
Saya sesungguhnya tidak tega untuk menulis dengan tema seperti ini. Sebab bagaimanapun juga mereka yang melakukan kerusuhan social itu adalah bagian dari bangsa Indonesia. Di dalam kesehariannya dan dari lubuk hatinya yang paling mendalam pastilah mereka adalah orang yang mendambakan kedamaian dan keamanan. Akan tetapi karena factor social politik, maka mereka menjadi keras dan cenderung merusak. Cobalah simak beberapa kerusuhan yan terjadi akhir-akhir ini, pastilah penyebabnya karena ketidakpuasan politik atau ekonomi.
Hampir setiap hari terjadi pilkada di Indonesia. Tahun ini sebanyak 244 pilkada. Dan setiap hari pula terjadi demonstrasi yang cenderung mengandung kekerasan. Jika di masa lalu, demonstrasi itu hanya meneriakkan yel-yel, mengacungkan tangan, menampangkan tulisan dan sejauh-juahnya membakar bas bekas, maka sekarang cenderung anarkhis dengan merusak fasilitas umum. Bahkan mahasiswa yang selama ini dikenal sebagai orang yang paling cerdas di negeri ini juga melakukan hal yang sama. Seakan sudah tidak ada lagi batas antara rasionalitas dan emosionalitas. Demonstrasi anarkhis telah menjadi tujuan di dalam memperjuangkan kepentingan social dan politik.
Kita tentu menjadi ngeri, bahwa Mojokerto yang selama ini menjadi wilayah yang damai dan tenteram, tiba-tiba menjadi sangat rawan. Kerusuhan di Mojokerto, 21/05/2010, tentu menyebabkan kerugian dalam jumlah besar. Sejumlah 33 mobil hancur terkena bom Molotov. Ada sebanyak 25 mobil berplat merah, dan 8 mobil berplat hitam. Kemudian 12 mobil terbakar dan lainnya dengan kerusakan yang bervariasi. Belum lagi kerusakan kantor Dewan yang juga disebabkan oleh demonstrasi anarkhis tersebut.
Dengan menggunakan analisis kasar saja tentu kita bisa paham bahwa demonstrasi anarkhis itu memang disiapkan. Bagaimana tidak bahwa mereka melempar mobil dengan bom-bom Molotov yang sudah dipersiapkan. Mereka melakukannya dengan kesadaran bahwa yang mereka lakukan sebagai kebenaran dan membela orang yang dizalimi. Dalam pandangan mereka bahwa ketidaklolosan salah seorang calon bupati Mojokerto, Dimyathi, adalah sebuah rekayasa yang dilakukan oleh sekelompok orang, khususnya lawan politiknya.
Kita menjadi bagian dari orang yang selalu menganggap sesuatu adalah rekayasa, terutama rekayasa politik (political engineering). Jadi ketika kalah atau menang juga persoalan rekayasa politik. Orang tidak lagi menghargai atas kemenangan atau kekalahan. Tampaknya, pengalaman pahit selama bertahun-tahun menjadi orang yang kalah atau pecundang, telah menjadikan kita untuk euphoria kemenangan ketika kran untuk menang itu dibuka. Orang lalu ingin menjadi pemenang dengan cara apapun.
Untuk menang dalam perhelatan politik, maka digunakanlah money politics. Orang mengeluarkan sejumlah uang untuk memperoleh kemenangan. Untuk memperoleh kursi calon melalui partai politik, maka seorang calon harus menyediakan sejumlah uang. Saya teringat ketika almarhum Cak Nur mencoba mengikuti konvensi salah satu partai, maka yang dipersoalkan adalah kontribusinya dalam partai. Salah satu kontribusi itu adalah uang untuk kepentingan kampanye dan sebagainya.
Kita patut menduga, bahwa kengototan para calon bupati atau wakil bupati tentu disebabkan oleh banyaknya uang yang sudah dikeluarkan untuk proses pencalonan. Biaya politik yang dikeluarkan tentu sudah banyak, misalnya dana untuk konvensi partai agar memperoleh kendaraan politik. Kemudian anggaran konsolidasi. Bagi orang yang akan mencalonkan diri menjadi bupati atau walikota, wabup atau cawabup maka harus melakukan sejumlah perjalanan politik untuk membangun akseptabilitas pemilihan. Mereka harus menjaring massa pemilih sebanyak-banyaknya. Bisa lewat pertemuan, makan bersama, pengajian dan juga bantuan-bantuan kegiatan.
Masyarakat kita juga semakin canggih dalam memanfaatkan kesempatan. Jika ada pilkada, maka banyak aktivitas yang diselenggarakan mulai dari seminar, workshop, sosialisasi, nonton bola bareng, sampai cangkruan. Semuanya bisa didanai oleh sang calon. Makanya, baru mencalonkan saja, belum untuk menjadi pasangan tetap, maka uang yang harus dikeluarkan sudah sangat banyak. Bukan hanya ratusan juta rupiah, tetapi bisa milyaran rupiah. Makanya, tahun yang lalu ada calon bupati yang gagal dan menjadi stress, bahkan gila karena kalah di dalam pilkada. Calon bupati Ponorogo ini sempat jalan-jalan hanya menggunakan celana dalam saja pasca pilkada.
Dalam kasus calon bupati Mojokerto yang dinyatakan gagal menjadi cabup, maka baginya menganggap ada rekayasa politik. Cabup ini gagal karena tidak lolos tes kesehatan. Karena dugaan rekayasa politik tersebut, maka calon dan pendukungnya melakukan tindakan anarkhis yang direncanakan.
Yang tentu dapat disayangkan adalah tindakan anarkhis yang direncanakan itu. Di antara mereka mungkin sampai pada tahapan pemikiran bahwa hanya dengan cara anarkhis saja sebuah pemujaan kepentingan dapat dicapai. Pandangan seperti inilah yang seharusnya dikoreksi oleh masyarakat dan individu di dalamnya.
Jika ketidaklolosan seorang calon karena kesehatan, maka yang mesti dipertanyakan adalah ketidaklolosan karena kesehatannya. Maka harus dipertanyakan kepada para dokter yang memeriksanya. Bukankah dokter sudah disumpah untuk tidak melakukan rekayasa apapun di dalam pemeriksaannya. Jika perlu dapat dilakukan second opinion untuk kepastiannya. Demikian seterusnya.
Dengan demikian, mestinya bukan cara demonstrasi anarkhis yang seharusnya dipilih.
Wallahu a’lam bi al shawab.
