PASCA REFORMASI, ANGIN SEGAR BAGI PENDIDIKAN NU
Saya kemarin diundang oleh Pengurus Yayasan Pendidikan NU dalam rangka launching Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAI NU) di Madiun. Acara ini dihadiri oleh segenap pengurus NU, baik Syuriah maupun Tanfidziyah NU Cabang Madiun dan juga seluruh Badan Otonom (Banom) NU Cabang Madiun. Selain itu juga hadir Bupati Madiun, H. Muhtarom dan segenap jajaran SKPD Kabupaten Madiun. Memang, pada akhir-akhir ini, mulai muncul dan berkembang institusi pendidikan yang didirikan oleh orang NU dengan melabelnya sebagai institusi pendidikan NU. Misalnya, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah NU Pacitan (SITNUPA) dan juga Sekolah Tinggi Agama Islam NU Madiun dan tentu juga yang lainnya.
Seperti diketahui bahwa di era Orde Baru, lembaga pendidikan yang melabel dirinya dengan nama NU seakan tidak diperkenankan. Meskipun tidak ada aturan atau bahkan konvensi tentang larangan mendirikan institusi pendidikan NU, akan tetapi senyatanya bahwa hampir seluruh lembaga pendidikan yang didirikan oleh orang NU akan menemui kendala ketika mengajukan ijin operasionalnya dengan nama lembaga pendidikan NU. Makanya, secara kreatif orang NU lalu mendirikan lembaga pendidikan dengan nama yang variatif tergantung kepada kesepakatan antar mereka.
Di dalam hal ini, maka nama lembaga pendidikan NU lalu menjadi sangat variatif. Bisa saja namanya diambil dari nama pahlawan atau nama tokoh atau kyai atau nama pendirinya atau nama lembaga pesantrennya. Cobalah kita simak nama-nama lembaga pendidikan tersebut. Di Tulungagung, STAI Diponegoro. Di Jombang, Insititut Keislaman Hasyim Asy’ari. Di Sumenep, Sekolah Tinggi Keislaman An-Nuqayah (STIKA). Di Gresik, Institut Keislaman Abdullah Faqih. Di Tuban, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Mahdum Ibrahim. Di Lamongan, Universitas Islam Lamongan. Di Probolinggo, Sekolah Tinggi Agama Islam Zainul Hasan. Di Situbondo, Institut Agama Islam Ibrahimi Salafiyah Syafiiyah. Di Banyuwangi, Sekolah Tinggi Agama Islam Ibrahimi. Di Ponorogo, Insitut Agama Islam Sunan Giri (Insuri). Di Surabaya, Universitas Sunan Giri (Unsuri). Di Lumajang, Sekolah Tinggi Agama Islam Syarifuddin, dan sebagainya. Demikian pula nama-nama lembaga pendidikan yang didirikan orang NU di Kementerian Pendidikan Nasional.
Semua peguruan tinggi ini didirikan pada era Orde Baru. Mengapa bisa seperti ini? Maka penjelasannya adalah penjelasan politik. NU di era itu adalah eksponen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang secara langsung menjadi rival Golongan Karya yang merupakan partai pemerintah. Di era ini, maka semua aktivitas NU mulai dari masjid, pengajian, seminar, pendidikan dan sebagainya dianggap sebagai bagian dari aktivitas politik. Makanya ketika mendirikan masjid saja juga namanya tidak berani mencamtumkan nama NU. Apalagi nama lembaga pendidikan.
Bayangkan dengan Muhammadiyah yang tidak pernah terlibat secara langsung dengan politik, maka nama institusinya secara keseluruhan adalah nama Muhammadiyah. Lembaga pendidikan, kesehatan dan usaha ekonomi semuanya menggunakan nama Muhammadiyah. Bahkan nama masjid juga hanya ada empat saja: Masjid Muhajirin, Al Ikhlas, At-Taqwa dan An Nur. Sebuah prestasi yang harus diapresiasi, sebab Muhammadiyah berhasil membakukan nama organisasinya dalam semua level aktivitas yang dijalaninya.
Era Orde Baru adalah era di mana NU sebagai organisasi terus dipinggirkan. Bahkan meskipun NU sudah memberikan sumbangan luar biasa dalam penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua organisasi tahun 1984, sementara masih banyak organisasi lain yang tidak menyepakatinya, akan tetapi persoalan keterlibatan NU dalam politik dan tentu juga kebijakan politik yang mengiringinya tidak serta merta memberikan ruang gerak bagi NU untuk mengaktualkan potensinya.
Di tambah lagi, sebagai akibat sulitnya mendirikan institusi berlabel NU juga telah memasuki ranah psikhologis mendalam, sehingga kemudian menghadirkan keinginan di kalangan warga NU bahwa ketika yang bersangkutan akan membuat atau mendirikan institusi juga dinamai dengan nama lain sesuai dengan seleranya. Jadinya, nama-nama lembaga yang didirikan orang NU tersebut sangat bervariasi dan antara satu dengan lainnya sangat independen. Bahkan misalnya, Al-Maarif sebagai wadah korporasi lembaga pendidikan NU juga tidak memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk menghandle lembaga pendidikan yang didirikan oleh orang NU.
Ketika era reformasi, maka segala sesuatunya sudah berubah. Di era ini, maka angin reformasi itu memberikan ruang gerak yang sangat luas bagi akses orang NU dalam berbagai bidang. Orang NU bisa menjadi bupati, walikota, gubernur, menteri, presiden, politisi, birokrat, pengusaha dan sebagainya. Orang NU telah merasa berada di rumah sendiri. Mereka bisa berkompetisi dengan lainnya secara fair dan memadai. Akibatnya, maka menjadi Orang NU juga bangga.
Ada banyak prestasi yang diukir Orang NU. Hasyim Muzadi menjadi orang yang berpengaruh di dunia dalam peringkat 18. Musdah Mulia menjadi Woman of the Year, 2010. Abdurrahman Wahid bisa menjadi penarik gerbong keislaman dan kemodernan, dan masih banyak lagi lainnya. Karya-karya akademik dengan tema NU juga marajai pasaran buku nasional.
Makanya, di era ini juga harus banyak Orang NU yang berani untuk mendirikan lembaga-lembaga dalam aspek apapun dengan nama NU. Di era ini, relasi antara NU, Pemerintah dan lembaga lainnya sudah sangat cair, sehingga sudah waktunya aktualisasi potensi tersebut dimaksimalkan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
