IJTIHAD POLITIK KYAI
Di Indonesia, nama kyai telah menjadi bagian penting dalam konsepsi sosiologis. Kyai merupakan pemimpin informal yang memiliki basis masa relatif kuat dan jelas. Hal itu tidak lain karena masyarakat Indonesia yang paternalistik, selalu terkait dengan pemimpin informal dalam kehidupannya. Dulu, bahkan kyai memiliki peran polimorphik, yaitu seseorang yang memiliki fungsi bermacam-macam sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh kliennya. Hampir semua persoalan bisa diselesaikan oleh kyai. Baik itu menyangkut urusan duniawi maupun ukhrowi.
Seirama dengan perubahan zaman, maka peran itu semakin berkurang. Ada wilayah-wilayah yang kemudian diambil oleh struktur sosial lainnya. Jika dulu orang sakit datang ke kyai untuk minta didoakan sembuh, maka sekarang lebih cenderung ke dokter. Jika dulu orang bermasalah datang kepadanya, sekarang bisa ke psikhiater. Jiika dulu orang berdagang tidak laris, maka datang ke kyai. Akan tetapi sekarang datang ke konsultan usaha dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai ada perubahan menuju peran monomorphik.
Yang lebih kentara lagi adalah dalam wilayah politik. Disebabkan oleh watak kharisma kyai, maka hingga saat ini masih banyak para tokoh partai politik (parpol) yang beranggapan bahwa dengan mendekati kyai, maka massa kyai akan patuh kepadanya. Sehingga mereka banyak berharap para kyai bisa menjadi vote getter. Menjelang pilbub, pilgub, pileg dan pilpres, maka kyai-kyai kharismatis akan selalu memperoleh kunjungan dari tokoh parpol apakah di level lokal, regional maupun nasional. Semuanya berebut untuk memperoleh “pengakuan” akan siapa dirinya dalam relasinya dengan para calon pemilih.
Namun demikian, masyarakat ternyata sudah semakin cerdas dalam pilihan-pilihan dimaksud. Dalam beberapa ritual politik di negeri ini ternyata tindakan politik warga masyarakat sudah mulai kelihatan independen. Massa tidak lagi bisa diarahkan seperri seorang pemelihara itik, yang kemana kemauan penggembalanya, maka ke situlah itik tersebut mengikuti. Dewasa ini, masyarakat sudah mulai berpikir “untung rugi”. Siapa yang datang kepadanya dengan “sesuatu”, maka dia kemungkinan yang akan dipilih. Oleh karena itu, akhirnya juga didapati kyai yang tidak terjun ke masyarakat untuk mengajak secara langsung, maka juga didapati adanya ketiadaan pengaruh kyai tersebut di dalam berbagai pilihan politik.
Di dalam pilgub Jawa Timur dan Pilpres yang baru lalu akan memberikan bukti bahwa sudah ada perubahan “kepatuhan” masyarakat terhadap para kyai dalam bidang politik. Ketika kyai-kyai mendukung calon tertentu ternyata masyarakat mendukung yang lain. Bahkan untuk Jawa Timur di dalam pilgub kemarin juga memberikan citra yang lain yaitu “pertarungan” antara kyai NU struktural dan kyai NU kultural. Dalam pertarungan yang “keras” ini, maka kyai NU kultural kelihatannya masih relatif digdaya. Meskipun hal ini bukan “kemenangan” mutlak karena ada banyak variabel yang terlibat di dalam pilgub ini.
Dalam kasus pilpres kemarin, maka ada juga hal yang unik. Banyak kyai yang mendukung Pak JK dan Pak Wiranto, bahkan melihat dukungan kyai-kyai dimaksud rasanya Pak JK dan Pak Wiranto akan bisa leading dalam pilpres. Namun sesuatu yang dramatis pun terjadi. Dukungan kyai dan struktur NU yang sedemikian besar ternyata tidak menghasilkan perolehan suara yang signifikan. Akhirnya hipotesis yang menyatakan bahwa kyai sudah kehilangan pamor politiknya seperti terbukti. Memang harus dibuktikan secara empiris melalui penelitian, akan tetapi “pembenaran” konseptual ini cukup menjadi bukti awal.
Kyai memang sudah melakukan ijtihad politik. Dalam pilpres, kyai tentu sudah memiliki alasan-alasan logis dan ideologis mengapa mengarahkan masyarakat untuk memilih calon tertentu. Alasan logis dan ideologis itu secara awam tentu saja dapat dibaca. Kesamaan ideologis, keberanian dan dukungan yang akan diberikan serta kemampuan untuk melakukan perubahan tentu bisa menjadi alasan yang masuk akal. Tetapi tentu saja ada dunia noumena yang tidak mudah ditangkap dengan mata awam kecuali dengan memasuki ”kawasan” mendalam dari para kyai.
Tetapi yang jelas, bahwa para kyai sudah melakukan ijtihad politik. Di dalam pilihan politik memang hanya ada dua kata: menang dan kalah. Dan kali ini memang kyai sedang dalam posisi kalah. Tetapi ini semua lantas menjadi petunjuk awal, bahwa memang sedang ada perubahan luar biasa dalam perilaku memilih masyarakat.
Jadi semuanya lalu mesti berpikir ulang bahwa dunia relasi kyai dan masyarakat sedang mengalami proses perubahan yaitu relasi kyai dan masyarakat dalam bidang politik sudah mulai independen.
Wallahu a’lam bi shawab.