MENGURAI PROBLEM INSTITUSIONAL DI UIN, IAIN DAN STAIN
Secara factual, ada beberapa problem yang dapat dirasakan akhir-akhir ini terkait dengan relasi internal kelembagaan di Kementerian Agama maupun eksternal dengan lembaga atau institusi lain.
Jika digambarkan, maka problema tersebut adalah sebagai berikut:
- A. Problem akademis
- Problem pengembangan prodi baru
Pengembangan prodi umum di IAIN dan STAIN ternyata mengalami beberapa kendala, antara lain adalah ketiadaan aturan yang menjadi dasar bagi pengembangan prodi umum di IAIN dan STAIN. Hingga saat ini, tidak didapati aturan yang menjadi dasar pengembangan prodi umum dimaksud. Yang ada hanyalah konsep wider mandate yang tidak diikuti oleh selembar aturan tentang penyelenggaraan prodi umum tersebut. Yang ada hanyalah surat rekomendasi dari Kementerian Pendidikan Nasional –direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi—dan kemudian ditindaklanjuti dengan SK Izin Operasional dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.
Pasca dicabutnya UU BHP oleh Mahkamah Konstitus, maka terjadi ketiadaan aturan formal yang mengatur tentang pendidikan, secara khusus pendidikan tinggi. Kementerian Agama –Dirjen Pendidikan Islam—telah memanggil beberapa UIN, IAIN dan STAIN untuk merumuskan tentang semacam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) yang akan menjadi dasar bagi penyelenggaraan pendidikan di bawah Kementerian Agama.
Pasca pencabutan UU BHP tersebut, maka ada tindakan yang dirasakan bisa menjadi penyebab kesulitan pengembangan prodi umum di PTAIN. Salah satu diantaranya adalah dipendingnya sejumlah usulan prodi baru. Menurut informasi, ada sebanyak kurang lebih 30 usulan prodi umum yang dipending. Menghadapi kenyataan ini, maka mesti harus dipikirkan tentang adanya semacam SK bersama antara Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Nasional tentang penyelenggaraan prodi umum di Kementerian Agama.
SK bersama antara Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Nasional ini juga bisa dikaitkan dengan semakin banyaknya Pendidikan Tinggi Umum (PTU) yang menyelenggarakan pendidikan Keislaman. Misalnya, Unair, UGM, UNJ, Unijoyo, Universitas Trisakti dan sebagainya. Di dalam penyelenggaraan pendidikan keagamaan tersebut, maka dipastikan bahwa PTU harus memperoleh rekomendasi dari Kementerian Agama dan sebaliknya PTAI yang menyelenggarakan pendidikan umum juga harus memperoleh rekomendasi dari Kementerian Pendidikan Nasional. Basis aturan ini sangat diperlukan.
- Problema kualitas kelembagaan. Kualitas kelembagaan di PTAIN memang masih termasuk lembaga pendidikan tinggi Klas 3. Jika kita menggunakan ukuran kualitas kelembagaan itu dari rangking pendidikan tinggi di Indonesia, maka belum ada yang masuk ke dalam 50 besar perguruan tinggi unggul di Indonesia. Jika PTN sudah banyak yang memiliki rangking dunia, maka belum ada PTAIN yang mampu memasukinya. UI, UGM, ITB, IPB, Unair, Undip, UNS, UB, Unhas, dan sebagainya sudah memasuki World Class University (WCU). Sedangkan belum ada satupun PTAIN yang memasuki kawasan itu. Ukuran yang banyak dipakai adalah Time Higher Education Supplement (THES) dan juga Webometrics. Jika kita mengambil contoh UNS, maka rangking yang dibanggakan adalah peringkat Webometrics dan THES yang memang sudah diperolehnya. Dalam kurun waktu lima tahun ke depan tentu harus sudah ada yang memiliki rangking di WCU sebagai bukti akan keberhasilan pengembangan pendidikan di Kementerian Agama.
- Kualitas lulusan pendidikan di PTAIN. Harus diakui bahwa kualitas lulusan PTAIN memang kalah dibandingkan dengan lulusan PTU dalam mengakses dunia pekerjaan. Hal itu bukan semata-mata disebabkan oleh kualitas lulusan PTAI, akan tetapi karena lapangan pekerjaan yang diakses sangat terbatas. Berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh Bappenas, bahwa lulusan PTAIN dan Ilmu-Ilmu social memang menjadi penyumbang terbesar bagi banyaknya lulusan yang tidak terserap oleh dunia kerja. Berdasarkan kenyataan ini, maka perlu ada upaya agar lulusan PTAI kemudian memiliki akses agar dapat bekerja di sector yang relevan. Ada usulan tentang pengembangan soft skill melalui pemberian lembar kompetensi. Misalnya, memberikan keahlian di bidang bahasa, computer, dan keahlian lain yang memiliki relevansi dengan kebutuhan masyarakat. Hingga hari ini, kita belum memiliki data tentang berapa lama masa tunggu alumni PTAIN untuk memasuki dunia kerja. Melalui data ini, maka kita akan tahu tentang arah dan kecenderungan pasar kerja terhadap alumni PTAIN.
- Penguatan praktikum. Di banyak tempat, praktikum sering menjadi problema mendasar. Sudah berulangkali dilakukan demonstrasi oleh mahasiswa tentang kejelasan status uang praktikum. Memang tarikan praktikum didasarkan atas Peraturan Pemerintah . Sehingga kedudukan praktikum di dalam system pendidikan di PTAIN sangat kuat. Akan tetapi mahasiswa melakukan penolakan terhadap praktikum disebabkan oleh ketidakjelasan menu praktikum tersebut. Oleh karena itu, diperlukan adanya pendoman praktikum yang komprehensip dan dapat diberikan kepada mahasiswa di semester pertama. Pedoman praktikum tersebut akan dijadikan sebagai standart pelayanan praktikum yang memadai bagi para mahasiswa.
Bahkan praktikum sesungguhnya juga bisa dijadikan sebagai instrument untuk meningkatkan kualitas kompetensi lulusan, dengan merancang secara serius terhadap program praktikum dimaksud.
- B. Problem Keuangan
- Problema Pengelolaan Keuangan
Yang juga harus menjadi perhatian dalam penyelenggaraan pendidikan adalah terkait dengan pengelolaan keuangan. Standart tariff keuangan selama ini menggunakan Standart Biaya Umum (SBU) yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Standart Biaya umum ini ternyata juga belum menyentuh terhadap semua tariff did alam pengelolaan pendidikan tinggi. Tariff biaya pendidikan tersebut masih banyak yang beraksentuasi pada program pendidikan strata satu. Program pendidikan pasca sarjana belum ditentukan tarifnya secara memadai. Hingga hari ini belum ada aturan tentang pembiayaan bagi pengelolaan pendidikan pasca sarjana. Berapa honor untuk mengajar bagi para doctor dan guru besar yang mengajar di PPs dan juga berapa biaya transportasi bagi mereka. Demikian pula untuk tariff kepanitiaan, menguji proposal, ujian tertutup dan ujian terbuka. Tentu masih ada pembiyaan lainnya yang tidak didapatkan di dalam tariff SBU.
Di dalam keadaan ketiadaan aturan ini, maka semua PPs membuat aturan yang didasarkan atas SK Rektor melalui Petunjuk Operasional (PO) dan tariff pembiayaan pendidikan. PO ini memang disesuaikan dengan logika bahwa pembelajaran di Strata tiga dan Strata dua tentu lebih rumit dan berat dibanding dengan mengajar di Strata satu. Meskipun bervariasi akan tetapi kisarannya tentu sangat jauh dibanding dengan honor mengajar dari strata satu.
- Problem pengelolaan keuangan yang juga masih krusial adalah belum semua institusi pendidikan tinggi Islam telah memasuki Pola Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU). Sebagaimana yang dikehendaki oleh Sekjen Kementerian Agama, maka diharapkan bahwa semua PTAIN harus memasuki PKBLU. Melalui pola ini, maka akan didapati kemudahan dalam pengelolaan keuangan, meskipun di awal akan mengalami proses transpormasi yang agak ruwet. Melalui PK-BLU, maka akan didapati gairah untuk memperoleh anggaran melalui bermacam-macam variasi, misalnya melalui unit-unit usaha. Jika di masa lalu, masing-masing individu bisa berusaha di insitusi ini, maka melalui PK-BLU maka semuanya akan menjadi unit usahanya institusi.
- Problem Dosen
- Problem rangkap jabatan.
Di Indonesia terdapat sebanyak 400 lebih PTAIS dan 2500 PTS. Di antara sebanyak lembaga pendidikan tinggi tersebut, maka banyak diantaranya yang menggunakan jasa dosen PTAIN, baik sebagai dosen maupun pimpinan di PTAIS atau PTS. Sebagai konsekuensi dari pemanfaatan jasa para dosen di PTAIS atau PTS, maka tentunya akan dijumpai banyak dosen yang merangkap jabatan sebagai dosen PTAIN dan juga dosen dan pimpinan PTAIS atau PTS. Jika hanya mengajar saja, mungkin tidak ada masalah, sebab yang bersangkutan tetap dapat melaksanakan tugas pendidikannya secara memadai. Akan tetapi jika yang bersangkutan menjadi pimpinan PTAIS atau PTS, maka dianggaplah bahwa yang bersangkutan memperoleh penerimaan ganda atau double accounting. Akibatnya, ada sementara anggapan bahwa yang bersangkutan melakukan penyimpangan dalam tugas profesi sebagai dosen PTAIN. Ada PTAIN yang diperiksa oleh inspektorat jenderal Kementerian Agama dan menyalahkan tindakan para dosen untuk menjadi pimpinan PTAIS atau PTS.
- Problem kualifikasi dosen. Kualitas dosen juga perlu didongkrak. Salah satu syarat untuk menjadi dosen adalah memiliki kualifikasi akademik. Dosen sekurang-kurangnya harus memiliki pendidikan strata dua dan bahkan ke depan harus doctor. Jika dicermati, maka juga jumlah dosen yang bergelar doctor juga belum memadai. Banyak PTAIN yang belum memiliki jumlah doctor yang memadai. jika menggunakan ukuran PTU yang sudah masyhur, seperti UI, UGM, ITB dan sebagainya, maka jumlah doctor di PTAIN masih tergolong sedikit. Mungkin baru UIN Jakarta yang jumlah doktornya relative banyak, akan tetapi proporsinya juga belum seimbang.
Di dalam kerangka memberikan pengalaman kepada dosen tentang pendidikan dan institusi di luar negeri, maka para dosen harus diberi kesempatan agar bisa mengikuti program workshop, seminar, pelatihan dan sebagainya dalam rentang waktu tertentu di luar negeri. Bahkan juga diperlukan semacam lecturer exchange (pertukaran dosen) dan juga student exchange (pertukaran mahasiswa) antar universitas atau institute baik di dalam maupun di luar negeri.
- D. Problem Sarana dan Prasarana Pendidikan
- Sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mengusung semangat besar untuk mengembangkan kualitas out put pendidikan, maka sudah selayaknya jika PTAI berkeinginan untuk melengkapi sarana dan prasarana kependidikannya. Jika dicermati maka ada banyak kesenjangan antara satu PTAIN dengan lainnnya dalam kelengkapan sarana dan prasarana kependidikannya. Seluruh UIN sudah memiliki sarana dan prasarana yang relative lengkap dan juga akses untuk mengembangkan lembaga secara sangat memadai. Oleh karena itu, ke depan tentu harus dipikirkan ulang tentang bagaimana melengkapi sarana dan prasarana pendidikan di seluruh kawasan Indonesia. Diharapkan agar ada pemihakan kepada lembaga pendidikan Islam yang memiliki potensi untuk berkembang terutama dalam sarana dan prasarananya yang memadai.
- 2. Pengembangan laboratorium, perpustakaan, information and communication technology (ICT), klas multimedia, dan sebagainya harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari program pengembangan sarana pendidikan tinggi Islam. Perpustakaan adalah jantungnya pendidikan tinggi. Demikian pula laboratorium. Di tengah dunia global seperti ini, maka diharapkan agar semua pendidikan tinggi harus menjadi bagian dari dunia global tersebut melalui penerapan ICT. Makanya semua lembaga pendidikan tinggi harus memiliki website yang nantinya akan memiliki klas dunia.
- Apa yang bisa dilakukan
- Perlunya berbagai aturan atau perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai back up penyelenggaraan pendidikan di kementerian agama. Kiranya diperlukan peraturan bersama antara Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Nasional dalam penyelenggaraan pendidikan di kementerian agama.
- Perlunya pemihakan Kementerian Agama. Di dalam hal ini Dirjen Pendidikan Islam harus melakukan pemihakan terhadap institusi pendidikan tinggi Islam. Semestinya, dirjen pendidikan Islam memiliki prioritas untuk pengembangan SDM, sarana dan prasarana dan juga kualitas akademik di PTAIN.
- Perlunya Kementerian Agama untuk merumuskan kebijakan anggaran yang seimbang antara Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional. Harus diusahakan agar terdapat anggaran yang dialokasikan oleh Kemendiknas untuk pengembangan PTAIN dalam berbagai aspeknya.
- Perlunya Inspektorat jenderal merumuskan pedoman di dalam pemeriksaan keuangan bagi PTAIN, sehingga terdapat pedoman yang dijadikan pegangan bersama di dalam pengawasan dan pembinaan pengelolaan keuangan.
- Perlunya keberpihakan PTAIN untuk merumuskan kebijakan pengembangan dan memprioritaskan hal-hal mendasar sesuai dengan kebutuhan. Harus dirumuskan program prioritas yang menyangkut tiga hal mendasar sesuai dengan kebutuhan dasar, yaitu pengembangan kelembagaan, pengembangan SDM dan pengembangan sarana dan prasarana.
- Perlunya PTAIN merumuskan system pembelajaran dan pendidikan dalam berbagai aspeknya, sehingga system pembelajaran dan pendidikan tersebut secara transparan dapat diketahui oleh semua stakeholders PTAIN.
- PTAIN juga harus mengedepankan usaha agar dapat memasuki kawasan World Class University (WCU) misalnya melalui Webometrics, THES, dan sebagainya.
- Harus ada pemetaan yang mendasar tentang kualitas kelembagaan, dosen, alumni dan posisi PTAIN di tengah kompetisi antar PT di era yang akan datang.
