• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PTAIN SEBAGAI CENTER OF EXCELLENCE

 PENGANTAR

Saya merasa sangat senang diberi kesempatan untuk menjadi narasumber dalam acara yang sangat prestisius untuk mendiskusikan tentang “Renaisans Pendidikan Tinggi Islam” di UIN Syarif Hidayatullah (Syahid) Jakarta, 19/05/2010.  Sebab bagaimanapun juga UIN Syahid Jakarta adalah barometer keunggulan PTAIN di bawah Kementerian Agama.

Apa yang saya sampaikan di dalam tulisan ini sebagian adalah mimpi dan sebagian lainnya adalah mimpi yang sudah menjadi kenyataan atau paling tidak sudah mulai kelihatan implementasinya. Mungkin bukan mimpi besar, akan tetapi itulah sekurang-kurangnya yang bisa dimimpikan.

Memang harus diakui bahwa untuk bermimpi saja susah di tengah berbagai keterbatasan yang selalu menggelayuti usaha untuk berkembang maju. Hal inilah yang terkadang membuat orang tidak berani bermimpi. Akan tetapi bagi kita semua, bahwa mimpi memang harus ada sebagai bagian dari keinginan untuk berkembang tersebut. Mimpi adalah sebagian cita-cita, cita-cita adalah sebagian usaha dan  usaha adalah sebagian keberhasilan. Jadi mimpi adalah sebagian keberhasilan.

TANTANGAN PTAIN KE DEPAN

Di dalam bukunya Asrori S. Karni, Etos Studi Kaum Santri, 2009, yang membicarakan tentang wajah baru pendidikan Islam di Indonesia, ada hal yang membuat saya menjadi berpikir bahwa belum ada sesuatu yang baru sebagai trend yang dapat dibicarakan tentang IAIN termasuk IAIN Sunan Ampel. Jika UIN dibahas panjang lebar bahkan dalam catatan khusus, maka IAIN hanya dibicarakan secara selintas. Ada tiga UIN yang dibahas, yaitu UIN Jakarta, UIN Jogyakarta dan UIN Malang. Ini menandakan bahwa membicarakan UIN dengan konsep-konsep integrasi keilmuan dengan berbagai variasinya ternyata jauh lebih menarik, sementara cerita tentang IAIN tidak ada yang bisa dirajut secara khusus.

Ini tentu saja adalah pandangan subyektif saya tentang perbandingan antara UIN dan IAIN yang memang tersaji akhir-akhir ini. Meskipun orang bisa saja berbeda pendapat, akan tetapi gambaran tentang menariknya UIN dengan berbagai varian program studi dan cita-cita pengembangan ilmu keislaman yang multidisipliner,  memang jauh lebih atraktif. Sehingga membincang UIN dengan pernik-perniknya juga menjadi lebih menarik.

Dunia memang sudah sangat berubah, sehingga siapapun yang tidak merespon perubahan tersebut, maka akan tertinggal. Memang harus diakui, bahwa ada perubahan orientasi orang dalam pendidikan. Maksud saya, bahwa ada perubahan orang dalam menentukan pilihan pendidikan bagi anak-anaknya. Program studi yang memiliki kedekatan dengan dunia kerja jauh lebih diminati dari pada yang berjauhan dengan dunia kerja. Tantangan ini tentunya harus direspon secara memadai oleh semua pengambil kebijakan di dunia pendidikan tinggi.

Tantangan lain adalah ketatnya persaingan di antara perguruan tinggi, baik yang negeri di bawah Kementerian Agama (Kemenag) atau Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas)   maupun yang swasta di bawah keduanya. Ketatnya persaingan tersebut dapat dilihat dari semakin banyaknya perguruan tinggi yang mengembangkan program studi umum, seperti Perguruan Tinggi (PT) di bawah Kemenag, misalnya UIN atau IAIN yang memperoleh wider mandate, sementara Universitas atau Institut di bawah Kemendiknas juga membuka program studi ilmu-ilmu agama (Islamic Studies) yang semakin menguat, seperti Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Airlangga (UA), Universitas Gajah Mada (UGM), bahkan Universitas Trisakti untuk program studi Ekonomi Syariah.

Ke depan, tantangan IAIN yang hanya khusus mengembangkan Islamic Studies tidak hanya datang dari UIN dan STAIN tetapi juga datang dari perguruan tinggi ternama di negeri ini, yang membuka program studi ilmu-ilmu keislaman.  Dan seperti yang dapat dilihat, maka program studi ilmu keislaman yang digelar oleh PTN atau PTS ternama jauh lebih diminati dibandingkan dengan yang di IAIN. Masyarakat kita memang masih melihat kulitnya dari pada isinya. Meskipun ahli-ahli keislaman atau guru besar keislaman tentu jauh lebih mapan di IAIN atau UIN akan tetapi masyarakat lebih bangga menjadi alumnus UA atau UNJ atau UGM dalam bidang studi Islamic Studies dibanding dengan alumnus IAIN.

Di dalam kerangka mengejar ketertinggalan pengembangan keilmuan keislaman tersebut mereka juga sangat agresif. UNJ misalnya, harus mengembangkan Program Studi Keislamannya dengan menggandeng Perguruan Tinggi Islam ternama di luar negeri. Maka, mereka melakukan kerjasama dengan Cairo University, Minea University, Canal Suez University dan juga Al Azhar University. Kurikulum program Studi Islamic Studies  direview oleh Cairo University. Selain mereka juga aktif melakukan peningkatan kualitas dosen ilmu-ilmu agama Islam melalui program short course Bahasa Arab atau pertemuan ilmiah yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi di Mesir. Pada akhir tahun 2009, misalnya mereka mengirimkan dosennya untuk pendidikan Bahasa Arab dan juga mengikuti pertemuan ilmiah di Minea University tentang pengembangan Islamic Studies. Melalui pengembangan kualitas program studi dan kualitas dosennya serta keunggulan imaje yang dimiliki oleh perguruan tinggi tersebut, maka tantangan IAIN tentu akan menjadi semakin banyak.

Tantangan ini tentunya tidak boleh dibiarkan. Akan tetapi harus dijawab. Jawabannya adalah melalui pengembangan dan penguatan program studi di IAIN. Jika PTN di bawah Diknas sedemikian ekspansif dalam pengembangan program studi keislaman, maka IAIN harus memberikan jawaban dengan cara mengubah institusinya menjadi lebih terbuka dan luas, yaitu menjadi UIN. Melalui perubahan ini, maka tantangan perubahan zaman, tantangan kelembagaan dan tantangan kualitas ke depan akan dapat diminimalisasikan.

Untuk itu, maka pengembangan kualitas dosen –dalam hal ini disebut sebagai internasionalisasi dosen—dan pengembangan kelembagaan atau penguatan kelembagaan harus dilakukan. Jika tidak, maka IAIN hanya akan menempati PT kelas ke empat seperti yang kita rasakan dewasa ini.

PTAIN HARUS GO INTERNASIONAL

Salah satu tantangan PTAIN ke depan adalah globalisasi pendidikan tinggi. Di tahun 2014, tantangan Perguruan Tinggi (PT) adalah bagaimana PT harus hidup di tengah dunia kompetisi global yang semakin nyata. Makanya di tahun 2010 harus menjadi titik awal dalam kerangka menjemput berbagai macam kompetisi yang memang menjadi awal pertarungan di dunia PT. Di dalam kerangka itulah maka semua komponen PT harus bekerja keras untuk bersiap melakukan kompetisi baik di tingkat nasional maupun internasional.

Untuk menyongsong 2014 tersebut, maka IAIN Sunan Ampel sudah mencanangkan lima hal utama atau prioritas program yang akan dikedepankan, yaitu: pertama,  penguatan dan pengembangan kelembagaan. Saya menangkap ada keinginan yang sangat kuat di kalangan dosen-dosen muda untuk menjadikan IAIN Sunan Ampel sebagai suatu lembaga yang kuat dan berwibawa. Penguatan kelembagaan tersebut dilakukan tidak hanya dengan penambahan program studi dan penguatan program studi yang sudah ada dan eksis, akan tetapi juga dengan mengembangan wider mandate menjadi universitas. Sebuah tim yang melibatkan dosen-dosen muda yang visioner sudah bekerja dan diharapkan di paroh pertama tahun 2010 ini sudah dapat menyelesaikan proposal untuk pengembangan tersebut. Saya sungguh bersyukur bahwa di tahun 2009, ada  tambahan prodi baru, yaitu prodi Sastra Inggris dan sedang dalam proses prodi Ilmu Perpustakaan. Selain itu juga terdapat penguatan tiga prodi yang diharapkan akan menjadi ikon klas internasional, yaitu prodi Pengembangan Masyarakat Islam (Islamic Community Development), Sejarah Peradaban Islam (The History of Islamic Civilizations) dan Tafsir Hadits (Hadits and Qur’anic Exegesis).

Kedua, pengembangan sarana dan prasarana. Tidak bisa dipungkiri bahwa prasarana dan sarana pendidikan tinggi harus ekselen. Saya menganut paham bahwa sarana yang sangat baik akan menjadi wadah yang kondusif dalam rangka program pembelajaran yang baik. Ketersediaan ruang laboratorium, ruang kuliah, ruang administratif, ruang pelayanan, ruang ibadah, ruang perpustakaan, ruang komputer, ruang ICT, ruang pelatihan, dan ruang lain yang terkait dengan eksistensi PT haruslah sangat memadai.   Di dalam kerangka inilah maka percepatan pengembangan fisik menjadi sangat mendasar. Tahun 2011 diharapkan bahwa loan dari IDB akan dapat membantu tercapainya pengembangan fisik IAIN Sunan Ampel. Makanya pada tahun 2010 harus dimaksimalkan untuk melakukan  negosiasi dengan berbagai pihak untuk mengakses pengembangan fisik IAIN Sunan Ampel.

Ketiga, mengembangkan ICT sebagai bagian penting dari upaya untuk menjadi perguruan tinggi yang memiliki peringkat dunia. Tentu IAIN Sunan Ampel masih harus melakukan persiapan matang untuk mengarah ke World Class University (WCU), sebab untuk masuk ke peringkat tersebut harus memiliki kapasitas yang memadai. Capaian ke arah itu masih panjang, tetapi bukan berarti tidak bisa. Dalam perbincangan di Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) bersama empat perguruan tinggi lainnya: UIN Jakarta, UIN Jogyakarta, UIN Malang dan IAIN Sunan Ampel, maka diputuskan agar ada sekurang-kurangnya di tahun depan sebuah perguruan tinggi Islam yang masuk peringkat webometrics. Perburuan peringkat ini mesti dilakukan dengan merumuskan persiapan-persiapan ke arah itu. IAIN Sunan Ampel telah memiliki sejumlah kapabilitas  untuk memasuki peringkat tersebut.

Keempat, internasionalisasi dosen  IAIN Sunan Ampel. Ke depan harus semakin banyak dosen IAIN Sunan Ampel yang memiliki pengalaman internasional. Melalui kerjasama dengan Melbourne University, maka sampai tahun 2012 akan dikirim sebanyak 45 orang dosen untuk mengambil shortcourse dalam bidang penelitian, pengajaran bahasa Inggris dan manajemen. Kemudian juga kerjasama dengan Cairo University di Mesir yang dalam kurun waktu tiga tahun akan dikirim sejumlah 45 orang dosen dalam rangka short course Bahasa Arab. Berarti dalam jangka tiga tahun akan terdapat sebanyak 90 dosen yang memiliki pengalaman internasional. Dengan demikian akan semakin banyak dosen yang akan memiliki pengalaman internasional dalam bentuk pendidikan degree maupun non degree. Apalagi program SILe juga akan dilaksanakan tahun 2010 yang salah satu programnya adalah pengiriman dosen untuk belajar di luar negeri. Jadi dalam kurun waktu tiga tahun ke depan akan terdapat sekurang-kurangnya 40% dosen yang memiliki pengalaman internasional. Program ini dilakukan setelah semakin banyak dosen yang bergelar doktor dan sedang mengambil program doktor, sehingga mereka harus memiliki pengalaman internasional dalam kerangka melengkapi pengetahuan akademiknya.

Kelima, internasionalisasi mahasiswa. Institusi pendidikan tinggi harus menjadi center of exellence bagi semua mahasiswa di tingkat nasional maupun internasional. Makanya, salah satu program yang dicanangkan mulai tahun 2010 adalah bagaimana IAIN Sunan Ampel dapat menjadi ajang pendidikan bagi mahasiswa asing. Di dalam hal ini, maka jaringan dengan lembaga-lembaga pendidikan di negara asing harus ditingkatkan. Misalnya dengan Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, Filipina dan sebagainya. Maka, semua pimpinan institusi pendidikan tinggi ini harus memprioritaskan kerjasama dengan lembaga pendidikan selevel sekolah menengah atas (high school) di luar negeri agar bisa mengirimkan calon mahasiswa untuk menimba ilmu pengetahuan di IAIN Sunan Ampel.

INTEGRATIVE TWIN TOWER: ARAH ISLAMIC STUDIES KE DEPAN

Di dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh PPs IAIN Palembang dengan Forum Cendekiawan Ummah Serumpun (FOCUS) ke tiga, secara berkelakar saya sampaikan bahwa arah pengembangan epistemology keilmuan Islam ke depan adalah berbentuk twin tower. Namun demikian, agar tidak sama dengan Twin Tower yang dimiliki dan menjadi ikon Malaysia, maka saya nyatakan bahwa yang akan dibangun adalah Integrative Twin Tower.

Akhir-akhir ini memang ada sejumlah masalah antara Indonesia dan Malaysia terkait dengan beberapa klaim yang dilakukan. Menurut pemerintah Indonesia bahwa ada sejumlah tarian, motif batik, kesenian dan sebagainya yang diklaim oleh Malaysia. Sehingga ketika saya menggunakan istilah twin tower atau menara kembar yang selama ini telah diklaim sebagai milik dan ikon Malaysia yang sangat prestisius, maka ketika nama itu dijadikan sebagai ikon pengembangan Islamic studies, rasanya ada kekhawatiran dianggap sebagai sebuah klaim atas hak istilah tersebut.

Dalam menghadapi realitas empiris seperti itu, maka istilah integrative twin tower dianggap tepat. Selain bisa menggambarkan realitas yang ingin diungkapkan, maka juga secara etimologis tidak sama dengan apa yang ada di  Malaysia. Konsep integrasi dapat menggambarkan bagaimana dua tower tersebut dapat dipersatukan. Bukan tower yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri tanpa bisa saling disapakan. Tower itu menggambarkan jenis dan macam bidang studi yang memang beda, akan tetapi bisa dipertemukan melalui jembatan pendekatan yang relevan.   

Istilah ini memang tidak muncul begitu saja. Akan tetapi melalui perenungan dan pendalaman. Hal ini tentu didasari oleh beberapa kritik yang disampaikan oleh Prof. Imam Suprayogo dan juga Dr. Affandi Muchtar, bahwa pola twin tower masih menyisakan adanya perbedaan antara ilmu keislaman dan ilmu umum. Di dalam banyak kesempatan kemudian saya nyatakan bahwa menara kembar itu dihubungkan oleh jembatan yang saling bertemu. Jika tower yang satu berisi ilmu alam, ilmu social, ilmu budaya & humaniora, maka di tower yang satu berisi ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqh, ilmu tasawuf dan sebagainya. Dua pembidangan ilmu ini kemudian saling disapakan atau dihubungkan dengan jembatan pendekatan (approach) yang kemudian menghasilkan ilmu keislaman multidisipliner.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa memang ada perbedaan obyek kajian antara bidang ilmu yang berbeda. Ilmu alam yang memiliki obyek kajian peristiwa atau fenomena alam, ilmu social yang memiliki obyek kajian masyarakat dan perilakunya, ilmu budaya dan humaniora yang memiliki obyek kajian manusia dengan budaya dan kemanusiaannya.

Sedangkan di sisi lain, ilmu-ilmu keislaman memiliki obyek kajian yang berupa teks-teks agama yang sacral dengan berbagai variasinya. Makanya, realitas empiris ini pun harus dibaca secara jeli. Tidak cukup dengan menyatakan bahwa semua ilmu adalah ilmu Islam. Sejauh yang bisa dinyatakan adalah semua ilmu adalah bersumber dari sumber yang sama, yaitu Tuhan dengan konsepsi tauhidnya.

Fondasi semua ilmu adalah tauhid atau pengesaan Tuhan. Semua obyek kajian ilmu alam, social, culture and humaniora serta ilmu-ilmu keislaman bersumber dari  Tuhan dan bukan lainnya. Makanya, semua bisa disapakan,  disandingkan atau diintegrasikan. Mengintegrasikannya adalah melalui program pendekatan di antara ilmu-ilmu dimaksud.

Jembatan yang menghubungkan antara satu menara dengan menara lainnya disebut sebagai pendekatan, yang di dalam filsafat ilmu dinyatakan sebagai pendekatan antar bidang atau antar disiplin atau lintas bidang atau lintas disiplin. Satu bidang atau disiplin menjadi pendekatan dan lainnya menjadi obyek kajian. Al-Qur’an bisa didekati dengan berbagai pendekatan di dalam ilmu-ilmu modern. Demikian pula fiqh, hadits, tasawuf dan sebagainya.

Kita tidak secara serampangan menyatakan bahwa semua ilmu adalah ilmu Islam.  Secara ideologis pernyataan bahwa semua ilmu adalah ilmu Islam adalah sebuah pernyataan yang benar, sebab tidak ada sesuatu di dunia ini yang tidak Islam.  Hal ini merupakan klaim universal, bahwa semua ilmu adalah bersumber dari Tuhan. Namun demikian juga harus diperhatikan bahwa memang ada obyek kajian yang harus dibedakan secara rigit.  Dimensi parsialitas ilmu pun harus diperhatikan.

Makanya, melalui keberadaan tower yang masing-masing menyajikan parsialitas ilmu, maka kita tidak mengingkari akan obyek kajian ilmu yang memang berbeda-beda. Namun meskipun berbeda obyek kajiannya, akan  tetapi semuanya memiliki basis ontologis yang sama, yaitu hakikat ilmu adalah bersumber dari Allah. Makanya, keduanya juga bisa dipersandingkan melalui pendekatan dimaksud.

Dengan demikian, klaim bahwa semua ilmu adalah Islam adalah basis ontologisnya, sedangkan ilmu keislaman multidisipliner adalah basis epistemologisnya. Ke depan, semua bidang atau disiplin keilmuan harus dikembangkan dengan tanpa mengesampingkan antara satu dengan lainnya.

MENGUATKAN KOMPETENSI

Salah satu tantangan penting di era yang akan datang adalah kompetensi. Seseorang, meskipun sarjana atau bahkan lebih yang tidak memiliki kompetensi, maka yang bersangkutan akan bisa dikalahkan oleh yang lain. Makanya, saya mengapresiasi terhadap konsep “Higher Education Long Term Strategy” yang pernah diungkapkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, yaitu pendidikan harus membangun nation’s competitiveness atau membangun kompetisi bangsa. Hal ini tentu bukan tanpa dasar pemikiran, sebab dalam banyak hal memang kompetisi bangsa kita memang masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain.

Di era global, maka dunia perdagangan, kompetensi sumber daya manusia (SDM) dan juga kompetisi pendidikan, dan sebagainya akan terbuka bebas. Di dunia global tidak ada lagi kata “proteksi”. Bahkan kira-kira kata ini harus dihapus di dalam kamus globalisasi. Yang ada adalah kompetensi dan kompetisi. Dua kata ini akan menjadi semakin menguat di tengah dunia global. Yang pasti bahwa dunia global itu mengandaikan bahwa setiap manusia harus memiliki kompetensi agar bisa bersaing bebas dengan manusia lainnya.

Dunia global tentu juga akan ditandai dengan ketatnya persaingan untuk memperebutkan akses dalam kehidupan. Bisa saja ekonomi, pendidikan, politik, social dan sebagainya. Akses pendidikan memang terbuka luas, demikian pula akses ekonomi juga terbuka sangat lebar. Akan tetapi tingkat persaingan untuk masuk juga luar biasa kuat. Di dunia pendidikan tinggi saja, misalnya maka mereka yang berkompetisi untuk memasuki 15% masuk SNMPTN juga luar biasa. Mereka yang dapat memasukinya adalah mereka yang benar-benar kompetitif dan yang tidak tentu harus rela untuk antri di tempat lain. Jika yang bersangkutan kalangan the have, maka bisa masuk ke perguruan tinggi lain yang baik, akan tetapi yang tidak kompetitif, maka akan masuk ke perguruan tinggi apa adanya.

Dalam dunia ekonomi jauh lebih ketat. Keterbatasan peluang kerja yang terkait dengan jumlah pencari kerja yang sangat besar tentu akan menghasilkan ketimpangan antara keduanya. Membludaknya tenaga kerja termasuk tenaga kerja terdidik lulusan perguruan tinggi, yang tidak dibarengi dengan percepatan penciptaan lapangan kerja tentu akan menyebabkan gap yang semakin menganga. Makanya akan menghasilkan sejumlah besar kaum pengangguran terdidik. Kenyataan ini yang tentunya memprihatinkan, sebab semestinya kaum terdidik itu dapat diserap oleh pasar kerja. Akan tetapi karena keterbatasan akses ke dunia pasaran kerja, maka mereka menjadi penganggur.

Di tengah keterbatasan lapangan kerja seperti ini, maka muncullah konsep soft skill. Bahwa seorang sarjana tidak hanya dibekali dengan kemampuan akademik yang memamg diunggulkan, akan tetapi juga kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dunia kerja di sector lain. Di tengah kecenderungan kompetisi yang akan sangat menguat ke depan, maka yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana mengedepankan kompetensi untuk lulusan perguruan tinggi.

Berbicara tentang kompetensi bagi mahasiswa IAIN dan STAIN memang harus penuh perhitungan. Sebab kebanyakan program studi di institusi ini adalah prodi yang memiliki keterkaitan tidak langsung dengan dunia kerja dalam arti luas. Katakanlah, misalnya prodi Islamic studies, maka yang menjadi kompetensinya adalah menjadi ahli agama yang responses terhadap problem masyarakatnya. Maka, keahliannya adalah ahli agama yang bersentuhan dengan dunia actual masyarakatnya. Mengamati terhadap kenyataan ini, maka menjadi ahli agama adalah basis utama  kompetensinya, akan tetapi yang bersangkutan juga harus memiliki basis kompetensi tambahan atau pendukung yang terkait dengan dunia sosialnya.

Ke depan yang sungguh-sungguh harus dipikirkan oleh pengelola lembaga Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTAI) adalah bagaimana membangun basis kompetensi bagi mahasiswanya. Selain kompetensi dasar yaitu penguasaan keilmuan agama, maka juga wajib dipikirkan tentang basis kompetensi pendukung. Jika tidak maka alumni PTAI akan menjadi tertinggal di dalam mengakses dunia pasar kerja yang semakin luas tetapi kompetitif tersebut.

Makanya, gagasan tentang praktikum yang terstruktur, setiap semester, bukan satu kali selama perkuliahan harus dimaksimalkan sebagai wahana membangun basis keahlian pendukung. Tentu kita tidak ingin alumni PTAI menjadi penonton di pasaran kerja di era yang akan datang.

Semua tenaga dan pikiran mesti dicurahkan untuk membangun kompetensi alumni PTAI. Dengan begitu, maka institusi pendidikan tinggi agama Islam akan menjadi bermakna dan fungsional. Menurut konsepsi teori fungsional dinyatakan bahwa sebuah institusi social akan terus bertahan manakala institusi social tersebut bermakna dan bermanfaat bagi masyarakat. PTAIN akan terus eksis jika bermanfaat bagi penggunanya.

WORLD CLASS UNIVERSITY BAGI PTAIN?

Di kalangan perguruan tinggi agama Islam (PTAI) di bawah Kementerian Agama, maka IAIN Sunan Ampel boleh sedikit berbangga sebab telah masuk peringkat World Class University (WCU) dalam bidang website yang dinilai oleh Webometrics.  IAIN Sunan Ampel berada di dalam top 8000 Perguruan Tinggi di dunia. Meskipun peringkatnya belum sangat membanggakan, yaitu di peringkat 57 PT di Indonesia dan 7717 di level dunia, akan tetapi dengan masuk ke WCU versi Webometrics tentu  sudah memberikan gambaran tentang peta kekuatan PTAI di dunia dan Indonesia.

Akhir-akhir ini, kementerian Agama sedang getol untuk mendorong PTAIN agar bisa memasuki rangking WCU. Dorongan ini tentu sangat rasional sebab dengan memasuki peringkat  WCU, maka tentu ada yang bisa dibanggakan oleh Kementerian Agama dalam rangka pengembangan pendidikan tinggi. Bukankah dengan peringkat dunia bagi PTAIN, maka hal itu menunjukkan betapa pembinaan dan pengembangan pendidikan tinggi di kalangan Kementerian Agama menunjukkan perkembangan yang signifikan.

Di Kementerian Pendidikan Nasional tentu saja sudah banyak PT yang masuk rangking dunia, misalnya UI, UGM, ITB, IPB, Unair, UB, UNS dan sebagainya melalui rangking Times Higher Education Supplement (THES), selain rangking di Webometrics. Tentu saja dengan semakin banyak lembaga pendidikan tinggi yang memiliki rangking dunia, maka akan menjadi indicator bagi perkembangan PT tersebut.

Untuk menjadi PT yang memiliki rangking dunia, tentu harus diperhatikan beberapa hal yang terkait dengan persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi peringkat. Misalnya tentang kualifikasi dosen, kerjasama internasional, perkembangan program studi, jumlah mahasiswa asing, banyaknya penelitian yang berperingkat nasional dan internasional,  kehebatan laboratorium, perpustakaan, tata kelola dan sebagainya. Masing-masing memiliki ukuran yang sudah ditetapkan oleh pemberi peringkat.

Makanya, paling tidak ada tiga hal yang harus diperhatikan: pertama, PTAIN harus menjadi pusat keunggulan akademik. Di dalam hal ini, maka PTAIN  harus menciptakan prodi unggulan yang bisa bersaing di dunia internasional. Untuk melakukan pemetaan tersebut, maka yang perlu diperhatikan adalah seberapa banyak dosen dalam sebuah prodi sehingga bisa menjadi prodi unggulan. Guru besar  tentu adalah orang yang memiliki konsern bagi pengembangan keilmuan sesuai dengan prodi yang disebut unggulan tersebut. Melalui banyaknya guru besar yang memiliki kualifikasi unggul karena karya-karya akademiknya, dan kemudian berpengaruh terhadap kualifikasi kelembagaan, maka akan menjadikan prodi dimaksud akan dapat menjadi rujukan bagi masyarakat akademis dunia.

Sebagai lembaga yang mengembangkan ilmu keislaman, maka unggulan tersebut tentu dikaitkan dengan mayor kajian itu. PTAIN mestilah memiliki dan menjadi unggulan dalam bidang ilmu keislaman. Jika di masa lalu, sudah terdapat pesantren-pesantren dengan unggulan-unggulan yang disebabkan oleh keahlian kyainya, maka mestinya PTAIN bisa juga menjadi unggulan karena program studi yang dikembangkannya oleh para guru besarnya. PTAIN  juga harus menjadi pusat pengembangan kerjasama dengan berbagai institusi. Di tengah dunia yang semakin global, maka ciri keunggulan tersebut dapat dilihat dari seberapa banyak lembaga lain memberikan support terhadap sebuah lembaga. Itulah sebabnya kerjasama institusional bisa menjadi factor penting di dalam pengembangan pendidikan tinggi.

Kedua, menjadi pusat riset yang unggul.  Sebagai sebuah institusi yang mengembangkan dunia akademis tertinggi, maka PTAIN mestilah menjadi pusat pengembangan akademis dimaksud melalui riset yang outstanding. Kajian-kajian penelitian, misalnya  di Program Pascasarjana (PPs) mestilah menggambarkan bagaimana kualifikasi akademis yang terdapat di dalamnya. Disertasi dan tesis haruslah menggambarkan citra PPs sebagai lembaga pendidikan unggul. Di sini banyak ditemukan teori dan konsep baru sebagai ciri khas penelitian selevel doctor. Temuan-temuan baru tersebut kemudian dapat dipublikasikan di dalam jurnal-jurnal ilmiah yang berlevel tinggi, sehingga hasil kajian dimaksud dapat menjadi referensi akademis di berbagai kalangan. Makanya, mengembangkan riset yang berbasis keunggulan akademis mestilah menjadi kesadaran mendasar seluruh insan akademis.

Ketiga, menjadi pusat pelayanan prima. Pengembangan akademik yang unggul serta pengembangan riser yang andal tentu tidak ada artinya jika tidak dibarengi dengan pelayanan prima. Oleh karena itu, PPs juga harus mengembangkan pelayanan prima di dalam tata kelola kelembagaannya. Sebagai pelayan akademik tertinggi, maka seluruh bangunan system manejemen harus ditata agar menjadi pelayanan prima. Di sinilah arti pentingnya ISO atau peringkat lainnya.

KESIMPULAN

Berdasarkan atas pengembaraan mimpi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengembangan PTAIN sesungguhnya sangat tergantung kepada tiga hal saja, yaitu adanya komitmen untuk mengembangkan kualitas akademik dan kelembagaan PTAIN, kemudian kerjakeras dan cerdas, yaitu kemauan untuk bekerja keras untuk mencapai tujuan dan target yang sudah disepakati melalui forum kebersamaan dan kemudian kerjasama, yaitu adanya kemauan untuk saling bekerja bersama-sama dan saling  mensupport agar tujuan dan target bersama tersebut dapat dicapai tepat pada waktunya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini