NASIONALISME DI PERSIMPANGAN JALAN?
Beberapa hari terakhir saya banyak berdiskusi dengan Sukowidodo, dosen Universitas Airlangga dalam kapasitas kami berdua menjadi anggota Tim Seleksi Komite Penyiaran Daerah (KPID) Jawa Timur. Selain mendiskusikan tentang hal yang utama, seleksi calon anggota KPID, kami juga mendiskusikan tentang rencana untuk menyelenggarakan berbagai workshop yang secara khusus membincang tentang nasionalisme dan kebangsaan. Ada apa?
Seperti diketahui bahwa bangsa ini telah selama bertahun-tahun, semenjak proklamasi menjadikan NKRI, Pancasila dan UUD 1945 sebagai bentuk dan landasan dasar dalam kehidupan bernegara bangsa. Dalam kurun waktu panjang itu tidak terbersit di kalangan bangsa ini untuk mengubah ketiganya itu ke dalam bentuk dan dasar lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika ada riak-riak kecil, maka segera saja bisa diselesaikan oleh negara. Memang ada beberapa yang mempertanyakan dan bahkan melakukan tindakan untuk melakukan perubahan tentang NKRI di era Orde lama, akan tetapi ternyata bisa diselesaikan dengan cara yang sebaik-baiknya. Di dalam sejarah tentu dapat dipahami bagaimana telah terjadi perubahan menjadi Republik Indonesia Serikat dan sebagainya.
Kemudian, di era Orde Baru juga ada sebagian kecil masyarakat Indonesia yang pernah bermimpi lain tentang bentuk Negara Indonesia, misalnya yang tergabung ke dalam Komando Jihad dan sebagainya, yang intinya juga sama akan menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Gerakan Komando Jihad, yang pernah menjadi bagian dari sejarah kehidupan bangsa ini adalah contoh bahwa masih ada di masa yang sangat represif sekalipun untuk bersuara lain tentang bentuk dan dasar negara.
Di era Orde Reformasi, suara untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agama menjadi semakin nyaring. Melalui munculnya gerakan-gerakan keagamaan yang transplanted –dari luar negeri—yang semakin kokoh tancapan kakinya di Indonesia, maka suara untuk mengubah bentuk negara menjadi Negara Islam semakin kuat.
Di dalam banyak diskusi, seminar, media-media informasi dan juga rapat umum didapati keinginan mendirikan khilafah Islamiyah dari sekelompok umat Islam yang dilabel sebagai Islam fundamentalisme. Jika di masa Orde Baru mereka ini mati suri, karena kuatnya cengkeraman negara terhadapnya, maka di era reformasi ini maka kondisinya sangat berbeda. Sekarang ini sangat terbuka luas bagi siapa saja untuk menyatakan apa saja. Termasuk juga menyuarakan keinginan untuk mengubah bentuk dan dasar negara.
Dan tentu saja yang harus dicermati adalah kemampuan mereka ini untuk merekrut anak-anak muda untuk menjadi eksponen pendukung setianya. Dunia perguruan tinggi yang dianggap sebagai tempat di mana anak mudanya paling sadar tentang nasib bangsa Indonesia ke depan, juga sangat marak dipenuhi oleh paham dan gerakan Islam fundamental. Pola rekruitmen dan pola pembinaan yang dilakukan dengan sangat rapi dan menjanjikan ternyata bisa memperoleh banyak simpati dan kemauan untuk menjadi eksponen gerakan ini.
Oleh karena itu rasanya memang penting untuk melakukan sesuatu bagi anak-anak muda terutama di kalangan perguruan tinggi agar mereka memiliki semangat nasionalisme sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para pendahulunya, yaitu para founding fathers negeri ini. Bukankah mereka telah mengorbankan semuanya untuk menjadikan Indonesia sebagai NKRI yang bertujuan untuk memerdekakan masyarakat dari semua belenggu ketertinggalannya.
Rasanya memang harus ada gerakan untuk membangun kembali hiruk pikuk akademis dan nonakademis bagi organisasi kemahasiswa di negeri ini. HMI, PMII, GMNI, PMKRI, GMKI dan juga organisasi-organisasi kemahasiwaan daerah harus kembali kepada khittahnya untuk mengembangkan dinamika akademis kampus dan kegiatan yang mendorong agar mereka memiliki kemampuan menjadi pemimpin di masa depan, yang tetap berpegang teguh kepada kesepakatan nasional.
Di tengah nuansa untuk memberikan masukan atau kesadaran baru tentang pentingnya menjadikan Pancasila sebagai dasar Negara dan NKRI sebagai bentuk final keinginan bersama untuk berbangsa dan bernegara, maka rasanya memang diperlukan suatu sarana untuk merevitalisasi kesadaran berbangsa tersebut.
Di sinilah sinergi organisasi kemahasiswaan, baik intra dan ekstra kampus perlu ditata ulang. Kita semua harus memiliki kesadaran kembali bahwa merajut persatuan dan kesatuan bangsa bukan sesuatu yang mudah. Dan seperti yang kita ketahui, sejauh ini NKRI, Pancasila dan UUD 1945 bisa menjadi perekat kehidupan bangsa.
Maka, membangun kebersamaan untuk terus mewujudkan semakin mantapnya kesadaran berbangsa dan bernegara yang berdasarkan atas kesepakatan masa lalu dari founding fathers itu dirasakan sebagai sesuatu yang sangat urgen.
Wallahu a’lam bi al shawab.
