• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

INDONESIA SEBAGAI CONTOH KERUKUNAN BERAGAMA

Di dalam pembukaan Konferensi Umat Islam Indonesia (KUII), ke 5, 07/05/2010 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta,  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan bahwa “muslim Indonesia tampilkan wajah yang ramah”. Presiden menyatakan: “Alhamdulillah, kaum muslimin dapat menampilkan wajah Islam yang ramah dan toleran. Hal ini harus senantiasa kita jaga, sehingga Islam benar-benar dapat ditempatkan sebagai rahmat bagi semesta”.  Lebih lanjut beliau menyatakan: “sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia bisa mensejajarkan antara Islam, demokrasi dan modernitas. Dunia Islam sangat tergantung kepada Indonesia dalam mencitrakan wajah Islam sesungguhnya yang damai dan toleran” (Suara Karya, 08/05/10).

Memang harus diakui bahwa umat Islam Indonesia merupakan umat Islam terbesar di dunia. Umat Islam Indonesia juga merupakan umat Islam yang dapat berdampingan dengan umat lain di negeri ini. Di tengah penduduk Indonesia yang plural dan multikultural, maka umat Islam senyatanya bisa membangun relasi yang memadai bagi bangsa. Jadi, menjadi pantas jika dalam banyak hal, maka umat Islam Indonesia bisa dijadikan sebagai prototipe bagi kerukunan umat beragama.

Di tengah kehidupan dunia yang semakin kompleks dengan berbagai benturan kepentingan, kita sungguh tidak paham bahwa di dunia ini masih banyak terjadi berbagai tindakan kekerasan, seperti pengeboman dengan berbagai variannya. Kejadian pengeboman di berbagai belahan dunia, seperti Amerika Serikat, Rusia, India, dan di belahan dunia lainnya tentu menggambarkan bahwa di dunia ini masih dibayangi oleh kekerasan. Seakan-akan kekerasan merupakan bagian penting di dalam kehidupan ini. Padahal kita tahu bahwa kekerasan hanya akan menghasilkan kekerasan baru.

Kekerasan pasti kontra kekerasan. Dunia kemudian dipenuhi dengan siklus kekerasan. Jika dirunut bahwa sesungguhnya yang menyebabkan terjadinya berbagai tindakan kekerasan adalah kekuasaan. Nafsu untuk menguasai satu atas lainnya, dalam banyak hal menjadi pemicu utama terjadinya kekerasan. Penguasaan yang dilakukan oleh satu kelompok atas kelompok lainnya ternyata menjadi variable penting di dalam terjadinya berbagai tindakan kekerasan.

Kekuasaan memang semenjak semula dijadikan sebagai sarana untuk mengeksploitasi satu atas lainnya. Makanya dalam kenyataannya bahwa terjadinya kekerasan dengan dalih apapun, jika dirunut pastilah sumber utamanya adalah kekuasaan tersebut. Coba tanyakan kepada kelompok Taliban yang dalam banyak hal dinyatakan sebagai pengebom di berbagai wilayah di dunia, termasuk di New York, maka sumber penyebabnya adalah ketidakpuasan akan kekuasaan yang sedemikian besar dari Amerika Serikat terhadap dunia.

Di dalam pandangan kaum radikalis, termasuk kaumTaliban, bahwa Amerika Serikat adalah sumber masalah di dunia ini. Akibat kekuasaannya yang gigantic and powerfull, maka Amerika Serikat bisa melakukan apa saja dan mendikte negara mana saja.  Factor kebencian Kaum Taliban terhadap Amerika Serikat sama halnya dengan kelompok  radikalis lain, bahwa satu-satunya hal yang bisa memberikan efek jera kepada Amerika Serikat adalah lewat bom bunuh diri (suicide bombing) yang mengejutkan.

Kaum Taliban tentu tahu bahwa dengan hanya bom bunuh diri tidak akan dapat melumpuhkan Amerika Serikat dengan kekuasaannya yang besar itu. Akan tetapi tentu hanya itulah yang bisa dilakukannya. Hal ini sama dengan orang Palestina yang  melawan orang Israel yang kaya senjata perang dengan hanya ketapel, kayu atau batu.  Pasti tidak seimbang. Akan tetapi itulah yang bisa dilakukan.

World order rasanya memang masih menjadi problem hingga hari ini. Keteraturan dunia yang ditandai dengan pengakuan akan pluralitas dan kekuasaan yang melingkarinya memang masih menjadi masalah bagi dunia. Dunia yang damai dengan segenap keteraturan yang terjadi memang masih menjadi dambaan bagi semua orang. Dan saya juga yakin termasuk orang Taliban sendiri.

Akan tetapi kebencian yang telah menjadi “darah daging” tentunya terus memburu kehidupannya. Dia diburu oleh perasaan akan kebencian yang telah menjadi archetipe di dalam hidupnya. Apa yang pernah dialami dalam relasinya dengan dunia barat menjadikan mereka terus berkubang masalah. Itulah sebabnya, dunia hingga sekarang masih dibayang-bayangi oleh tindakan kekerasan atas nama agama, ekonomi dan politik.

Untunglah bahwa masyarakat Indonesia yang mayoritas berhaluan Islam rahmatan lil alamin tidaklah memiliki sikap dan tindakan kebencian sebagaimana yang dilakukan oleh kaum radikalis. Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah umat yang memiliki toleransi yang sangat kuat.

Makanya di mana-mana selalu dijumpai adanya tindakan saling memahami relasi intern umat beragama dan juga relasi dengan umat lainnya dalam bingkai kesadaran mengedepankan kerukunan. Sungguh bahwa kerukunan tidak akan dapat dicapai tanpa ada toleransi di antara mereka.

Memang, kaum radikal di Indonesia masih ada dan  akan terus eksis. Akan tetapi jumlahnya yang tidak signifikan dibandingkan dengan umat Islam rahmatan lil alamin, maka keberadaan mereka tentu tidak mempengaruhi umat Islam Indonesia secara umum.

Namun demikian, kita semua juga tidak boleh mengurangi kewaspadaan terhadap gerakan-gerakan radikal ini. Sebab keyakinan tentang radikalisme itu tidak akan ada kata akhir. Patah satu tumbuh lainnya. Makanya, menjaga kewaspadaan terhadapnya dirasakan sebagai sesuatu yang sangat penting. Umat Islam Indonesia harus tetap di dalam cirinya yang menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.

jika kita terus mempertahankan diri sebagai umat Islam yang berciri khas Islam rahmatan lil alamin, maka kita  akan bisa menjadi contoh dalam pergaulan dunia yang  lebih damai dan aman dimasa depan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini