PERAN SIGNIFIKAN KEBANGSAAN KAUM PESANTREN
Membicarakan pesantren memang mengasyikkan. Sebab banyak hal yang signifikan telah dilakukan oleh pesantren dalam pembangunan manusia Indonesia. Meskipun dunia pesantren sering disebut sebagai lembaga pendidikan tradisional, namun perannya baik di aras lokal, nasional dan bahkan internasional tidak dapat dipandang sebelah mata. Dunia pesantren yang di masa awal kental dengan sebutan institusi pendidikan keagamaan ternyata telah menghasilkan banyak orang yang mempunyai peran besar dalam perjuangan di era kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan.
Jika kita menunjuk beberapa nama yang memiliki peran besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, maka tentunya nama itu tidak asing lagi, seperti Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari –pendiri pesantren Tebuireng dan NU—yang dedikasinya terhadap kemerdekaan bangsa tentu tidak diragukan. Hal ini tentu dibuktikan bahwa Beliau merupakan penerima gelar Pahlawan Kemerdekaan. NU yang hingga sekarang menjadi pilar “nasionalisme Indonesia” adalah karya besar kyai tradisional yang memiliki visi bagi pengembangan Indonesia modern sekarang ini. Putranya, KH. Wahid Hasyim adalah tokoh penerus kyai tradisional yang sumbangannya bagi kemerdekaan tidak diragukan lagi. Bersama tokoh-tokoh bangsa ini, beliau yang sangat konsisten mengembangkan multikulturalitas dan pluralitas bangsa. Ketika ada pemikiran menjadikan “Piagam Jakarta” sebagai pilar kebangsaan maka beliaulah yang menyatakan bahwa membangun kebersamaan jauh lebih penting dibanding mempertahankan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Tujuh kata yang akan menjadikan Indonesia tidak bersatu padu lalu dihilangkan. Hal ini menggambarkan bahwa pandangan tentang multikulturalitas dan pluralitas itu telah menjadi sikap hidup bagi kyai tradisional tersebut. generasi pesantren tradisional tahun 40-an telah terlibat di dalam proses mempersatukan bangsa Indonesia.
Di era kemungkinan terpecah-pecahnya negara bangsa akibat ideologi yang saling bertentangan, yaitu Islamisme, Nasionalisme dan Komunisme, maka kyai-kyai NU kemudian mengambil jalan tengah mendukung konsep Nasakom yang digagas oleh Soekarno yang saat itu sangat powerfull. Kyai-kyai NU juga mendukung terhadap keputusan Presiden Soekarno untuk melakukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai cara untuk mengakhiri perdebatan di dalam Sidang Konstituante yang berlarut-larut selama 3,5 tahun. Perdebatan itu tidak menghasilkan keputusan tentang dasar negara apakah Islam, Komunisme atau Pancasila. Dekrit Presiden untuk kembali ke Pancasila, UUD 1945 dan NKRI merupakan keputusan yang harus diambil karena menghindarkan keterpecahbelahan kesatuan dan persatuan bangsa.
Di era Orde Baru, hubungan NU, Pesantren dan Pemerintah juga sempat saling mencurigai bahkan antagonistik. Puncaknya adalah ketika Pemerintah Orde Baru, Soeharto, menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh organisasi di Indonesia. NU dengan kyai pesantrennya kemudian tampil lagi dalam kerangka untuk mencairkan hubungan antara Pemerintah dengan organisasi sosial keagamaan, yang kala itu masih enggan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Melalui musyawarah nasional (Munas) di Pesantren Salafiyah Syafiiyah Situbondo, maka dengan tegas NU menyatakan bahwa NU menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dan kemudian diikuti oleh organisasi sosial keagamaan lainnya. Bahkan saya berasumsi bahwa melalui penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas tersebut kemudian membuat peluang hubungan antara Islam dan negara menjadi mencair, sehingga kemudian lahirlah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang pernah bervisi tentang Islamisasi birokrasi. Meskipun proyek ICMI ini gagal, tetapi sejarah mencatat bahwa akhir Orde Baru adalah masa yang paling mesra dalam hubungan Islam dan Pemerintah di era Orde Baru.
Ketika orang ribut tentang tidak perlu lagi menjadikan Pancasila sebagai pemersatu bangsa, dasar negara dan NKRI, maka sekali lagi orang pesantren, Kyai Sahal Mahfudz, pimpinan Pesantren Maslakul Huda Pati Jawa Tengah, di dalam pidatonya menegaskan bahwa Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah sesuatu yang final sebagai dasar negara, landasan yuridis dan bentuk negara Republik Indonesia. Kaum pesantren yang dilabel dengan tradisional ternyata adalah pembela republik ini di dalam situasi yang krusial. Makanya, pesantren memiliki peran signifikan dalam percaturan nasionalisme kebangsaan di negeri ini.
Peran pesantren, NU dan para kyainya seperti ini tentunya didasari oleh semangat keagamaan yang rahmatan lil ‘alamin, agama yang memberi keselamatan kepada semuanya.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
