• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENEGASKAN LAGI INTEGRATIVE TWIN TOWER

Saya bertemu dengan Prof. Imam Suprayogo dalam acara Launching Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Perguruan Tinggi Agama Islam (SPMB-PTAIN) di Hall Kementerian Agama, 3 Mei 2010. Dan sekali lagi beliau mengingatkan saya tentang pengembangan Islamic Studies dengan konsep twin tower. Beliau masih beranggapan bahwa melalui model twin tower itu, maka dikhotomi ilmu masih tampak. Sehingga ciri khas keilmuan Islam itu belum sepenuhnya mengedepan.

Diskusi singkat dengan Prof. Imam Suprayogo itu tentu membuat saya harus terus berpikir untuk mematangkan konsep tentang integrative twin tower. Tentu saja setiap model memiliki kekuatan dan kelemahannya sendiri-sendiri. Tidak ada sebuah model yang begitu sempurna, yang bisa menggambarkan seluruh ide yang terkandung di dalamnya. Makanya, setiap model pengembangan ilmu keislaman juga masih menyisakan persoalan ontologis atau epistemologis yang nyata-nyata tak seluruhnya terakomodasi.

Pohon ilmu secara ontologis tampak sempurna, sebab dia dibangun dari satu konsepsi ontologis bahwa ilmu bersumber dari tauhid (Keesaan Tuhan). Akar ilmu adalah tauhid, sedangkan pohonnya bisa menggambarkan sumber dasar ilmu pengetahuan, yaitu al-Qur’an dan hadits. Akan tetapi model ini pun mengandung kelemahan epistemologis, sebab masing-masing lalu bercabang sendiri-sendiri tanpa ada saling keterkaitan. Setiap cabang memang secara natural tidak bisa saling disatukan. Sebab penyatunya adalah batang pohonnya.

Problem ini tentu saja menghasilkan ilmu pengetahuan sebagai cabang ilmu yang tidak saling menyatu melalui model atau gambaran realitas integrative. Ranting-ranting itu tetap saja berdiri sendiri, sebab masing-masing berakhir di daun-daun yang merupakan tema-tema penelitian dalam bidang ilmu. Jika dirinci, maka ada tiga cabang pohon, yaitu  ilmu alam, ilmu social dan humaniora. Masing-masing cabang menghasilkan ranting-ranting yang berbeda-beda, maka hasilnya tetap bukan merupakan integrasi puncak, akan tetapi integrasi batang dan akar.

Jadi, menurut saya bahwa model pohon ilmu juga menyisakan persoalan pada level epistemologisnya atau pendekatannya, tetapi kekuatannya pada sisi ontologisnya atau hakikat keilmuannya. Dengan demikian, setiap model akan memiliki kelemahan basis model yang ditampilkannya. Itulah yang saya sebutkan bahwa tidak ada model sempurna untuk mewakili ide yang sangat brilian. Selalu ada plus minusnya.

Model integrative twin tower pun juga bukan model yang sangat sempurna. Kekuatan model ini adalah pada kemenyatuan pada puncaknya. Menara kembar yang kemudian dipersatukan melalui jembatan penyeberangan atau pendekatan sehingga menghasilkan keilmuan yang bercorak khas. Masing-masing menara memang merupakan bidang atau disiplin ilmu yang berbeda. Antara yang satu dengan lainnya berada di ruangnya sendiri-sendiri. Hal itu tentu disebabkan oleh masing-masing obyek kajiannya yang berbeda. Obyek ilmu alam tentu saja berbeda dengan ilmu social. Demikian pula humaniora dan ilmu budaya.

Makanya, sebagai bidang ilmu yang berdiri sendiri tentunya harus ditempatkan di dalam rumahnya sendiri-sendiri. Sehingga gambaran realitas empirisnya menjadi sangat kuat. Kemudian, di antara menara tersebut disambungkan dengan pendekatan atau bagan epistemologis yang saling mengkaitkan dua bidang yang berbeda tersebut. Jembatan pendekatan akan  menghasilkan bidang ilmu yang berciri khas.  Inilah  yang menurut saya menjadi kekuatan dari integrative Twin Tower. Ia merupakan gabungan dari dua bidang ilmu yang memang berbeda, tetapi dipertemukan menjadi satu melalui pembuatan atau konstruksi epistemologis yang memang disengaja untuk itu.

Salah satu di antara model  realitas yang belum memberikan gambaran secara menyatu adalah pada fondasi atau basis ontologis keilmuannya. Makanya, agar menjadi menyatu juga basis ontologisnya atau sumber keilmuannya, maka  dua tower ini juga harus menyatu di pondasinya. Jadi, jika di bawah menyatu di dalam pondasinya, maka di atas menyatu melalui jembatan yang menghubungkan di antara dua tower dimaksud.

Dengan demikian, maka kemenyatuan antara bawah dan atas, antara pondasi dan puncak, antara aspek ontologis dan epistemogis, maka akan menghasilkan ilmu keislaman multidispliner. Ilmu inilah nantinya yang akan membedakan antara universitas Islam dengan universitas umum dalam melihat realitas empiris di masyarakat. Islamic studies multidisipliner merupakan puncak dari cita-cita mendirikan institusi pendidikan Islam.

Jadi,  memang agak sulit untuk menemukan model atau gambaran realitas tentang ide yang sempurna kecuali memang ada titik kelemahannya. Berbagai model yang dikembangkan oleh masing-masing institusi pengemban ilmu keislaman memang menandakan bahwa ada dinamika yang sangat kuat untuk menampilkan sosok ilmu keislaman masa depan.  

Baik model integrative twin tower atau pohon ilmu, keduanya memang merupakan upaya untuk menterjemahkan gambaran realitas pengembangan ilmu keislaman masa depan. Dan jika diperhatikan tentunya memang merupakan upaya untuk menghasilkan ilmu keislaman yang saling menyapa dengan ilmu lainnya, yang disebut sebagai ilmu keislaman multidisipliner.

Saya sungguh bergembira bahwa di antara kita selalu ada kritikan tentang pengembangan ilmu keislaman dalam relasinya dengan ilmu lain, dan itu menggambarkan bahwa perbincangan ilmu keislaman akan selalu menarik.

Semoga menjadi jembatan ke arah upaya memperkuat bidang Islamic studies.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini