• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PENDIDIKAN TINGGI PASCA BHP

Pasca dicabutnya UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi, 31 Maret 2010, maka ada hal yang memantik perbincangan di seputar pendidikan tinggi. Di antaranya adalah tentang tarif biaya pendidikan tinggi. Hal itulah yang dirisaukan oleh Mendiknas, Mohammad Nuh, tentang semakin mahalnya pembiayaan pendidikan.

Sesuai  rencana, BHP akan diberlakukan pada tahun 2013 atau selambat-lambatnya tahun 2014. Makanya banyak perguruan tinggi yang sudah berancang-ancang untuk menjadi Pendidikan Tinggi (PT)  BHP. Namun demikian, juga ada sebagian kecil perguruan tinggi yang memasuki PT BLU. Baginya,  PT BLU akan dijadikan sebagai tangga untuk memasuki PT BHP. Ibaratnya, menjadi PT BLU merupakan  tangga kedua dan kemudian bersiap-siap untuk memasuki tangga ketiga, PT BHP.

Memang semenjak diterbitkan, UU BHP menuai berbagai protes. Salah satu diantaranya adalah kekhawatiran akan terjadinya kapitalisme pendidikan. Hal ini disebabkan oleh keinginan lembaga pendidikan untuk memperoleh anggaran pendidikan yang besar. Selain itu juga adanya kekhawatiran akan munculnya seragamanisme pengaturan kelembagaan pendidikan, yang ujung-ujungnya dikaitkan dengan upaya mengembalikan orde baru dalam pengelolaan pendidikan.

Masyarakat memang belajar dari implementasi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Tidak dapat dipungkiri bahwa melalui BHMN maka biaya pendidikan tinggi menjadi mahal. Memang masih ada jalur pendidikan tinggi yang murah misalnya melalui SNMPTN, akan tetapi jumlahnya hanya 15-20% total penerimaan mahasiswa baru.

Sedangkan sejumlah 85-85% direkrut dari system jemput bola, misalnya jalur PMDK, Mandiri dan lainnya. Jika jalur SNMPTN menggunakan tariff sebagaimana Perpres tentang tariff biaya pendidikan tinggi, yaitu SPP dan praktikum yang murah sesuai standart yang dipilih oleh PTN, maka melalui jalur lainnya atau jalur ekstensi, maka biaya pendidikan tinggi menjadi lebih mahal.

Untuk penetapan tarif SPP dan praktikum, maka PTN bisa melakukannya sendiri atau sesuai dengan keputusan rektornya. Maka ada varian yang sangat tajam antara satu PTN dengan PTN lainnya. Tentu tergantung pada kualitas lembaga pendidikan tingginya. Semakin tinggi kualitas lembaga pendidikannya, maka semakin mahal harganya.

Akibatnya,  biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat ternyata jauh lebih besar. Perguruan tinggi yang memiliki kualifikasi unggul, bisa melakukan penarikan biaya pendidikan (SPP)  yang jauh lebih tinggi, Rp 3-5 juta. Sedangkan sumbangan pendidikan non SPP bisa Rp. 10-20 juta. Bandingkan dengan SPP untuk mahasiswa regular yang hanya Rp. 600 – Rp.900 ribu. Untuk memasuki program ekstensi, harus orang kaya, sekurang-kurangnya kaum menengah ke atas.

 Dewasa ini banyak pemikiran yang menginginkan agar pendidikan lebih memihak kepada masyarakat luas. Di dalam hal ini, maka pembiayaan pendidikan harus mampu dijangkau oleh masyarakat secara umum.

Di tengah suasana seperti ini, maka pantaslah jika masyarakat merasakan bahwa UU BHP akan sama maknanya dengan BHMN. Makanya, jika banyak orang yang menolak BHP maka itu adalah bagian dari pengalaman masyarakat tentang implementasi BHMN yang bisa jadi salah kaprah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini