INTEGRATIVE TWIN TOWER: ARAH ISLAMIC STUDIES KE DEPAN
Di dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh PPs IAIN Palembang dengan Forum Cendekiawan Ummah Serumpun (FOCUS) ke tiga, secara berkelakar saya sampaikan bahwa arah pengembangan epistemology keilmuan Islam ke depan adalah berbentuk twin tower. Namun demikian, agar tidak sama dengan Twin Tower yang dimiliki dan menjadi ikon Malaysia, maka saya nyatakan bahwa yang akan dibangun adalah Integrative Twin Tower.
Akhir-akhir ini memang ada sejumlah masalah antara Indonesia dan Malaysia terkait dengan beberapa klaim yang dilakukan. Menurut pemerintah Indonesia bahwa ada sejumlah tarian, motif batik, kesenian dan sebagainya yang diklaim oleh Malaysia. Sehingga ketika saya menggunakan istilah twin tower atau menara kembar yang selama ini telah diklaim sebagai milik dan ikon Malaysia yang sangat prestisius, maka ketika nama itu dijadikan sebagai ikon pengembangan Islamic studies, rasanya ada kekhawatiran dianggap sebagai sebuah klaim atas hak istilah tersebut.
Dalam menghadapi realitas empiris seperti itu, maka istilah integrative twin tower dianggap tepat. Selain bisa menggambarkan realitas yang ingin diungkapkan, maka juga secara etimologis tidak sama dengan apa yang ada di Malaysia. Konsep integrasi dapat menggambarkan bagaimana dua tower tersebut dapat dipersatukan. Bukan tower yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri tanpa bisa saling disapakan. Tower itu menggambarkan jenis dan macam bidang studi yang memang beda, akan tetapi bisa dipertemukan melalui jembatan pendekatan yang relevan.
Istilah ini memang tidak muncul begitu saja. Akan tetapi melalui perenungan dan pendalaman. Hal ini tentu didasari oleh beberapa kritik yang disampaikan oleh Prof. Imam Suprayogo dan juga Dr. Affandi Muchtar, bahwa pola twin tower masih menyisakan adanya perbedaan antara ilmu keislaman dan ilmu umum. Di dalam banyak kesempatan kemudian saya nyatakan bahwa menara kembar itu dihubungkan oleh jembatan yang saling bertemu. Jika tower yang satu berisi ilmu alam, ilmu social, ilmu budaya & humaniora, maka di tower yang satu berisi ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqh, ilmu tasawuf dan sebagainya. Dua pembidangan ilmu ini kemudian saling disapakan atau dihubungkan dengan jembatan pendekatan (approach) yang kemudian menghasilkan ilmu keislaman multidisipliner.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa memang ada perbedaan obyek kajian antara bidang ilmu yang berbeda. Ilmu alam yang memiliki obyek kajian peristiwa atau fenomena alam, ilmu social yang memiliki obyek kajian masyarakat dan perilakunya, ilmu budaya dan humaniora yang memiliki obyek kajian manusia dengan budaya dan kemanusiaannya.
Sedangkan di sisi lain, ilmu-ilmu keislaman memiliki obyek kajian yang berupa teks-teks agama yang sacral dengan berbagai variasinya. Makanya, realitas empiris ini pun harus dibaca secara jeli. Tidak cukup dengan menyatakan bahwa semua ilmu adalah ilmu Islam. Sejauh yang bisa dinyatakan adalah semua ilmu adalah bersumber dari sumber yang sama, yaitu Tuhan dengan konsepsi tauhidnya.
Fondasi semua ilmu adalah tauhid atau pengesaan Tuhan. Semua obyek kajian ilmu alam, social, culture and humaniora serta ilmu-ilmu keislaman bersumber dari Tuhan dan bukan lainnya. Makanya, semua bisa disapakan, disandingkan atau diintegrasikan. Mengintegrasikannya adalah melalui program pendekatan di antara ilmu-ilmu dimaksud.
Jembatan yang menghubungkan antara satu menara dengan menara lainnya disebut sebagai pendekatan, yang di dalam filsafat ilmu dinyatakan sebagai pendekatan antar bidang atau antar disiplin atau lintas bidang atau lintas disiplin. Satu bidang atau disiplin menjadi pendekatan dan lainnya menjadi obyek kajian. Al-Qur’an bisa didekati dengan berbagai pendekatan di dalam ilmu-ilmu modern. Demikian pula fiqh, hadits, tasawuf dan sebagainya.
Kita tidak secara serampangan menyatakan bahwa semua ilmu adalah ilmu Islam. Secara ideologis pernyataan bahwa semua ilmu adalah ilmu Islam adalah sebuah pernyataan yang benar, sebab tidak ada sesuatu di dunia ini yang tidak Islam. Hal ini merupakan klaim universal, bahwa semua ilmu adalah bersumber dari Tuhan. Namun demikian juga harus diperhatikan bahwa memang ada obyek kajian yang harus dibedakan secara rigit. Dimensi parsialitas ilmu pun harus diperhatikan.
Makanya, melalui keberadaan tower yang masing-masing menyajikan parsialitas ilmu, maka kita tidak mengingkari akan obyek kajian ilmu yang memang berbeda-beda. Namun meskipun berbeda obyek kajiannya, akan tetapi semuanya memiliki basis ontologis yang sama, yaitu hakikat ilmu adalah bersumber dari Allah. Makanya, keduanya juga bisa dipersandingkan melalui pendekatan dimaksud.
Dengan demikian, klaim bahwa semua ilmu adalah Islam adalah basis ontologisnya, sedangkan ilmu keislaman multidisipliner adalah basis epistemologisnya.
Ke depan, semua bidang atau disiplin keilmuan harus dikembangkan dengan mengesampingkan antara satu dengan lainnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.