MENGUATKAN KOMPETENSI
Salah satu tantangan penting di era yang akan datang adalah kompetensi. Seseorang, meskipun sarjana atau bahkan lebih yang tidak memiliki kompetensi, maka yang bersangkutan akan bisa dikalahkan oleh yang lain. Makanya, saya mengapresiasi terhadap konsep “Higher Education Long Term Strategy” yang pernah diungkapkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, yaitu pendidikan harus membangun nation’s competitiveness atau membangun kompetisi bangsa. Hal ini tentu bukan tanpa dasar pemikiran, sebab dalam banyak hal memang kompetisi bangsa kita memang masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain.
Di era global, maka dunia perdagangan, kompetensi sumber daya manusia (SDM) dan juga kompetisi pendidikan, dan sebagainya akan terbuka bebas. Di dunia global tidak ada lagi kata “proteksi”. Bahkan kira-kira kata ini harus dihapus di dalam kamus globalisasi. Yang ada adalah kompetensi dan kompetisi. Dua kata ini akan menjadi semakin menguat di tengah dunia global. Yang pasti bahwa dunia global itu mengandaikan bahwa setiap manusia harus memiliki kompetensi agar bisa bersaing bebas dengan manusia lainnya.
Dunia global tentu juga akan ditandai dengan ketatnya persaingan untuk memperebutkan akses dalam kehidupan. Bisa saja ekonomi, pendidikan, politik, social dan sebagainya. Akses pendidikan memang terbuka luas, demikian pula akses ekonomi juga terbuka sangat lebar. Akan tetapi tingkat persaingan untuk masuk juga luar biasa kuat. Di dunia pendidikan tinggi saja, misalnya maka mereka yang berkompetisi untuk memasuki 15% masuk SNMPTN juga luar biasa. Mereka yang dapat memasukinya adalah mereka yang benar-benar kompetitif dan yang tidak tentu harus rela untuk antri di tempat lain. Jika yang bersangkutan kalangan the have, maka bisa masuk ke perguruan tinggi lain yang baik, akan tetapi yang tidak kompetitif, maka akan masuk ke perguruan tinggi apa adanya.
Dalam dunia ekonomi jauh lebih ketat. Keterbatasan peluang kerja yang terkait dengan jumlah pencari kerja yang sangat besar tentu akan menghasilkan ketimpangan antara keduanya. Membludaknya tenaga kerja termasuk tenaga kerja terdidik lulusan perguruan tinggi, yang tidak dibarengi dengan percepatan penciptaan lapangan kerja tentu akan menyebabkan gap yang semakin menganga. Makanya akan menghasilkan sejumlah besar kaum pengangguran terdidik. Kenyataan ini yang tentunya memprihatinkan, sebab semestinya kaum terdidik itu dapat diserap oleh pasar kerja. Akan tetapi karena keterbatasan akses ke dunia pasaran kerja, maka mereka menjadi penganggur.
Di tengah keterbatasan lapangan kerja seperti ini, maka muncullah konsep soft skill. Bahwa seorang sarjana tidak hanya dibekali dengan kemampuan akademik yang memamg diunggulkan, akan tetapi juga kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dunia kerja di sector lain. Di tengah kecenderungan kompetisi yang akan sangat menguat ke depan, maka yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana mengedepankan kompetensi untuk lulusan perguruan tinggi.
Berbicara tentang kompetensi bagi mahasiswa IAIN dan STAIN memang harus penuh perhitungan. Sebab kebanyakan program studi di institusi ini adalah prodi yang memiliki keterkaitan tidak langsung dengan dunia kerja dalam arti luas. Katakanlah, misalnya prodi Islamic studies, maka yang menjadi kompetensinya adalah menjadi ahli agama yang responses terhadap problem masyarakatnya. Maka, keahliannya adalah ahli agama yang bersentuhan dengan dunia actual masyarakatnya. Mengamati terhadap kenyataan ini, maka menjadi ahli agama adalah basis utama kompetensinya, akan tetapi yang bersangkutan juga harus memiliki basis kompetensi tambahan atau pendukung yang terkait dengan dunia sosialnya.
Ke depan yang sungguh-sungguh harus dipikirkan oleh pengelola lembaga Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTAI) adalah bagaimana membangun basis kompetensi bagi mahasiswanya. Selain kompetensi dasar yaitu penguasaan keilmuan agama, maka juga wajib dipikirkan tentang basis kompetensi pendukung. Jika tidak maka alumni PTAI akan menjadi tertinggal di dalam mengakses dunia pasar kerja yang semakin luas tetapi kompetitif tersebut.
Makanya, gagasan tentang praktikum yang terstruktur, setiap semester, bukan satu kali selama perkuliahan harus dimaksimalkan sebagai wahana membangun basis keahlian pendukung. Tentu kita tidak ingin alumni PTAI menjadi penonton di pasaran kerja di era yang akan datang.
Semua tenaga dan pikiran mesti dicurahkan untuk membangun kompetensi alumni PTAI. Dengan begitu, maka institusi pendidikan tinggi agama Islam akan menjadi bermakna dan fungsional. Menurut konsepsi teori fungsional dinyatakan bahwa sebuah institusi social akan terus bertahan manakala institusi social tersebut bermakna dan bermanfaat bagi masyarakat.
PTAIN akan terus eksis jika bermanfaat bagi penggunanya.
Wallahu a’lam bi al shawab.