MENJAGA SARANA DAN INFRASTRUKTUR INSTITUSI
Seperti yang sudah sering saya ungkapkan bahwa membangun fisik dan insfrastruktur bagi institusi pendidikan agama, seperti IAIN dan STAIN itu luar biasa sulitnya. Untuk membangun satu bangunan saja terkadang butuh waktu tiga tahun, karena kecilnya anggaran dari APBN untuk pembangunan fisik. Bisa dibayangkan, bahwa dalam satu tahun terkadang pengembangan fisik hanya kurang lebih Rp. 2 milyard. Padahal harga bangunan terkadang senilai Rp. 7 milyard. Jadi, dalam pembangunan fisik harus menggunakan skema multiyears.
Anggaran pembangunan fisik dan insfrastruktur yang sangat kecil itu, tentu saja disebabkan oleh anggaran Kementerian Agama yang tidak mencukupi secara kuantitas untuk membiayai seluruh program pembangunan di kementerian ini. Jika dibandingkan dengan Kementerian Pendidikan Nasional, misalnya di tahun 2009, maka anggarannya berkisar Rp. 71 M, sedangkan Kementerian Agama sekitar Rp. 27 M. artinya bahwa anggaran Kementerian Agama, kira-kira hanya 30%-nya anggaran Kementerian Pendidikan Nasional. Padahal Satuan Kerja (Satker) di Kementerian Agama kira-kira 4000 satker lebih.
Disebabkan oleh anggaran yang relative belum berimbang tersebut, maka akibatnya pengembangan fisik bagi lembaga pendidikan agama, termasuk institusi pendidikan tinggi Islam menjadi kecil sebab harus dibagi-bagi. Padahal seperti diketahui bahwa sumber pendanaan pendidikan di institusi pendidikan agama, seperti IAIN dan STAIN hanyalah mengandalkan APBN untuk pembangunan fisik dan insfrastrukturnya.
Jika dibandingkan dengan beberapa perguruan tinggi umum, seperti UI, ITB, IPB, UGM, UNAIR dan sebagainya, bahkan dengan Perguruan tinggi umum yang dikelola swasta seperti President University, Universitas Pelita Harapan, Universitas Kristen Petra, Universitas Surabaya dan sebagainya, maka sumber pendanaannya memang sudah sangat bervariasi. Jika PTS di atas bisa menjual program studinya dengan harga mahal atau BHMN bisa menggandakan pendapatannya, maka IAIN dan STAIN tentu masih sangat tergantung kepada APBN untuk pembiayaan pendidikan.
Bahkan para alumni pun berkepentingan untuk membantu bagi pengembangan sarana di PT tersebut. Misalnya, di Universitas Airlangga, maka salah satu bangunan fisik di Fakultas Ekonomi adalah bantuan dari alumninya. Demikian pula di ITB, Universitas Pajajaran dan sebagainya. Dengan demikian, seluruh civitas akademika di PT tersebut memiliki rasa untuk mengembangkan PT-nya. Hal ini tentu masih jauh bagi PTAIN yang memang belum menyentuh dimensi rasa memiliki terhadap PT-nya. Masih butuh waktu untuk mengembangkan kesadaran agar semua memiliki PTAIN-nya tersebut.
Makanya, menjaga sarana fisik dan insfrastruktur bagi IAIN dan STAIN adalah suatu hal yang sangat penting. Di dalam keadaan apapun, sarana dan prasarana itu harus dijaga agar jangan menjadi rusak. Bukankan Islam juga menganjurkan agar kita tidak merusak property yang dimiliki bersama. Bahkan semua agama juga mengajarkan agar kita bersikap seperti itu. Sarana itu hanya boleh dihapus ketika memang akan dihadirkan sarana baru yang memang lebih baik dan menjanjikan.
Saya menjadi sedih melihat mahasiswa IAIN yang melakukan perusakan terhadap kampusnya sendiri. Saya tercengang melihat mahasiswa IAIN merusak gedung rektorat. Padahal untuk membangun gedung itu tentu menggunakan anggaran pemerintah yang sangat sedikit itu. Sebagai mantan aktivis, saya merasakan bahwa demonstrasi memang bisa terjadi di sebuah lembaga atau institusi. Berdemontrasi adalah bagian dari proses demokrasi. Namun demonstrasi tentu juga harus menggunakan koridor kesopanan dan keislaman yang memang menjadi pedoman untuk melakukan tindakan. Keberislaman kita ini menjadi ukuran apakah kita itu menjadi bagian dari peradaban Islam atau tidak. Saya selalu menjadi ingat Pak Hasyim Muzadi, kenapa beliau tidak pernah mau ikut demonstrasi di Indonesia, karena demonstrasi di Indonesia identik dengan kekerasan. Katanya, beda dengan demonstrasi yang dilakukan atau diorganisir di negara-negara barat.
Property yang dimiliki oleh PTAIN itu jauh lebih mahal harganya karena dibangun dengan susah payah. Ibaratnya membangun fisik di PTAIN itu harus dimulai dengan memprioritaskannya dan mengalahkan lain-lainnya. Itulah yang saya sebut dengan mahal harganya. Maka ketika bangunan fisik yang didirikan dengan susah payah itu dirusak, maka hati juga menjadi remuk.
Cobalah sebelum kita tidur lalu kita renungkan. Apakah tindakan merusak sarana dan prasarana itu sesuai atau tidak dengan hati nurani kita. Saya berkeyakinan bahwa merusak apapun, termasuk tindakan merusak fasilitas umum adalah tindakan yang tidak tepat.
Kita semua harus berkomitmen untuk mengembangkan dimensi akademis, sarana, prasarana dan juga kualitas dalam semua aspek. Dan untuk itu bisa didiskusikan secara memadai. Dan orang yang memahami tentang hal ini tentu adalah orang yang berpikiran ke depan dan bukan hanya berpikir sekarang. Salah satu di antara ciri orang modern menurut Alex Inkeles, adalah orang yang memperhitungkan masa depan dan bukan hanya sekarang apalagi masa lalu.
Jadi, marilah kita jaga property kita secara memadai, karena itu adalah hasil usaha maksimal yang dilakukan oleh semua untuk semua.
Wallahu a’lam bi al shawab.