KOMITMEN BERKOMPETISI
Kita sedang hidup di era global, yang ditandai dengan semakin meningkatnya nilai apresiasi barang, meningkatnya nilai jasa dan melemahnya nilai-nilai tradisional. Apresiasi terhadap nilai barang tentu saja terkait dengan kapitalisme yang semakin menemukan tempatnya. Meskipun kapitalisme rentan problem sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini, seperti ambruknya beberapa bank di Amerika Serikat dan di beberapa negara lain, akan tetapi magnit kapitalisme hampir tak pernah surut daya tariknya.
Kemudian nilai jasa juga meningkat. Hal ini juga terkait dengan perkembangan dunia kapitalisme yang sarat dengan jasa. Banyak kegiatan yang diserahkan kepada layanan jasa. Bahkan orang tidak mau susah untuk mengerjakan sesuatu yang bisa dikerjakan orang lain. Event organizer saja sekarang menjamur untuk melayani orang yang tidak mau repot untuk urusan yang memang bisa dikerjakan biro jasa tersebut.
Layanan jasa sudah menjadi kebutuhan orang, terutama kaum eksekutif yang pekerjaannya menyita banyak waktu. Mereka cukup membayar layanan jasa yang dibutuhkan. Tentu saja ada manfaat positif dari dibutuhkannya layanan jasa ini. Paling tidak bisa memberikan pekerjaan kepada yang lain. Taqsimul arzaq atau membagi-bagi rezeki.
Akan tetapi melemahnya preferensi tradisional juga menguat. Meskipun hal ini masih bisa dipertanyakan, namun jika menggunakan anak-anak muda sebagai sasaran pengamatan, bisa jadi hal ini memang benar. Jika menggunakan konsepsi Weber, memang semakin modern sebuah masyarakat, maka akan semakin jauh dari aura spritual. Namun tesis Weber juga bisa dipertanyakan, sebab secara realistis bahwa banyak masyarakat yang menjadi modern, akan tetapi justru aura spiritualitasnya semakin kuat. Komodifikasi agama akhir-akhir ini memberikan gambaran bahwa shalat, haji, ziarah makam suci, dzikir bersama pun bisa dikomodifikasikan. Mengamati bahwa yang terlibat di dalam acara-acara seperti itu adalah orang kaya dan terpelajar, maka konsep melemahnya preferensi tradisional tentu menyisakan untuk dipertanyakan.
Lalu apa relevansi semua ini dengan kompetisi yang harus dilakukan oleh manusia. Manusia di era global haruslah manusia yang memiliki kemampuan kompetitif. Nilai kompetitif tersebut sangat tinggi. Jika manusia tidak memiliki kemampuan kompetisi yang memadai, maka dia tidak akan mampu mengakses kehidupan ini. Orang akan tersisih dari dunianya ketika yang bersangkutan tidak bisa mengakses dunianya tersebut. Bahasanya Marx disebut teralienasi.
Di tengah kehidupan yang seperti ini, maka pendidikan sering dianggap sebagai human capital. Jadi bukan hanya economic capital akan tetapi juga human capital. Diibaratkan bahwa pendidikan itu sama dengan ekonomi. Human capital memang menjadi varian lain disamping economic capital. Jika modalitas ekonomi terpengaruh oleh konsep positivistik, maka modalitas manusia dipengaruhi oleh konsepsi agensi. Manusia memiliki kemampuan agensi dalam rangka mengoptimalkan peran dan fungsinya di dalam kehidupan.
Pendidikan sebagai human capital mengimperasikan tentang out put pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Hukum pasarlah yang menentukan terhadap penyediaan tenaga profesional yang dibutuhkan. Makanya lembaga pendidikan yang tidak bersentuhan dengan dunia pasar, maka akan sepi peminat.
Inilah problem pendidikan agama secara umum. Program pendidikan agama tidak terkait langsung dengan kebutuhan market. Layaknya hukum pasar, maka semakin tinggi kebutuhan akan semakin tinggi penyediaan atau pasokan yang dibutuhkan. Makanya memaksa program studi agama agar dibanjiri peminat tentu tidak relevan dengan konsep pendidikan sebagai human capital. Pendidikan agama merupakan pure academic intention.
Makanya, ke depan harus dipersiapkan bagaimana agar pendidikan agama juga bisa berkompetisi dengan lainnya dalam dunia pasar yang semakin terbuka. Mahasiswa program studi agama harus memiliki seperangkat pengetahuan praksis untuk bersentuhan dengan pasar kerja. Di dalam kerangka pemikiran pragmatis tersebut, maka mahasiswa prodi agama harus dibekali dengan pengalaman praksis agar mereka bisa bersentuhan dengan dunia pasar.
Misalnya, mahasiswa harus memperoleh tambahan pengalaman, misalnya pendidikan kewirausahaan, sertifikasi computer, sertifikasi bahasa, sertifikasi keahlian jurnalistik, sertifikasi mendidik, sertifikasi keahlian lain yang menjadikannya bisa mengakses kehidupan secara luas. Dan inilah yang nanti akan menjadi unggulan prodi agama dalam kompetisinya dengan dunia global yang memang tidak bisa ditahan atau dilawan.
Wallahu a’lam bi al shawab.